Sumselterkini.co.id, – Seharusnya, langit tak perlu dibersihkan dengan filter, tapi itulah yang terjadi di negeri yang lebih cepat membangun gedung daripada membersihkan udara. Saat Menteri KLH/BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, turun langsung ke lapangan malam-malam seperti Batman versi lingkungan hidup, ada pesan kuat yang ia bawa negara tidak bisa terus menerus mengendus bau busuk industri dari belakang meja.
Penyegelan dua pabrik peleburan logam di Kabupaten Serang PT Jaya Abadi Steel dan PT Luckione Environment Science Indonesia bukan sekadar pencitraan, ini peringatan keras, bukan pakai sirine, tapi dengan garis polisi dan papan segel di tengah bau asap dan limbah. Peringatan bahwa industri yang menganggap udara bersih hanya soal keberuntungan, kini harus bersiap disemprit keras oleh negara.
Kita terlalu lama hidup dalam kompromi asap. Banyak kawasan industri di pinggir kota yang beroperasi seperti dapur tanpa cerobong panas, berasap, dan tidak peduli siapa yang terbatuk. Emisi yang pekat dianggap sebagai tanda ‘produksi berjalan’, bukan bahaya yang mengendap di paru-paru warga sekitar. Bagi sebagian pelaku industri, lingkungan bukan rumah bersama, tapi halaman belakang tempat buang limbah diam-diam.
Maka ketika drone KLH menangkap citra cerobong yang lebih rajin mengepul daripada pabrik tahu tetangga, itu bukan hanya pencitraan teknologi tinggi. Itu cara negara berkata “Kami melihatmu. Bahkan dari udara” dan malam hari dipilih bukan karena romansa bulan purnama, tapi karena banyak industri nakal bekerja seperti hantu muncul ketika pengawas pulang dan rakyat sudah tidur.
Langkah penyegelan ini seharusnya menjadi pembuka dari perubahan besar. Tapi mari jujur dua perusahaan disegel, puluhan lain masih berjalan seperti biasa. Di banyak tempat, bau logam terbakar dan limbah cair seperti sudah jadi bagian dari ‘aroma khas’ kawasan industri. Kalau tidak segera ditindak, bukan hanya paru-paru warga yang sesak, tapi juga kepercayaan publik pada hukum lingkungan.
Kita butuh sistem, bukan seremoni. Roadmap pengawasan terpadu yang digagas KLH/BPLH harus menanamkan satu nilai penting: industri boleh untung, tapi jangan bikin lingkungan buntung. Pemerintah harus jadi pagar, bukan sekadar pita peresmian. Dan masyarakat? Jangan cuma jadi korban harus ikut jadi pengawas. Bila perlu, jadi “detektor hidup” yang bersuara setiap kali langit menghitam tanpa sebab.
Bayangkan jika tiap kawasan industri punya sistem pengawasan terbuka, jika warga tahu indeks kualitas udara di sekitarnya seperti mereka tahu harga cabai. Jika pelaku usaha sadar bahwa cerobong bukan lagi tempat sembunyi, tapi titik pantauan utama. Dan kalau media terus bersuara, maka pelanggaran tidak bisa disembunyikan dengan proposal CSR dan baliho hijau penuh janji manis.
Karena udara bersih adalah hak, bukan kemewahan. Bukan pula hadiah undian yang datang setahun sekali ketika hujan mengguyur polusi. Langit biru harus jadi standar, bukan sekadar foto iklan apartemen. Dan jangan biarkan ia hanya biru dalam render desain arsitek.
Langit Jabodetabek harus kembali biru di luar rumah, di jalan raya, dan di sekolah tempat anak-anak bermain. Kalau langit masih abu-abu karena ketamakan segelintir, maka negara harus lebih keras lagi menegakkan hukum, seperti tukang semir sepatu yang tidak bisa dibiarkan tidur di tengah tugas.
Maka mari kita dukung, tapi juga kita awasi. Jangan biarkan dua penyegelan jadi headline sehari, lalu dilupakan. Karena langit biru itu bukan akhir, itu baru awal. Awal dari perlawanan terhadap industri yang lupa bahwa bumi ini bukan milik pabrik, tapi milik kehidupan.[***]