Program Safari Wukuf ibarat odong-odong rohani. Membawa lansia, orang sakit, dan disabilitas ke Arafah secara terorganisir, aman, nyaman, dan penuh kasih sayang. Layaknya anak cucu yang menggendong nenek ke acara kondangan kampung, ini bukan sekadar logistik, tapi juga soal cinta dan penghormatan.
Pak Dirjen Hilman Latief bahkan sampai memantau langsung evakuasi jemaah dari hotel transit ke hotel asal. Ini mirip kepala rombongan kawinan yang ngecek tamu udah makan semua apa belum. Lengkap dengan senyuman tulus dan dagu yang kadang ikut angguk-angguk penuh syukur.
“Sebagian jemaah sudah balik ke hotel asal, sisanya menyusul malam ini,” katanya dengan tenang. Dan kita tahu, di balik kalimat itu tersembunyi peluh, lelah, dan logistik yang lebih ribet dari pindahan rumah pas musim hujan.
Jangan lupakan 120 lebih petugas yang mendampingi 477 jemaah safari wukuf. Kalau bukan karena cinta, mana ada orang rela bolak-balik ngurusin lansia, ngelapin peluh, nyari tempat teduh, sambil meyakinkan mereka bahwa Arafah itu bukan tempat ujian akhir hidup. Siapa yang sabar, dia pasti bisa menidurkan kakek di atas kasur hotel dengan nyaman setelah wukuf.
Para petugas ini mungkin tak masuk kamera TV, tapi bagi jemaah mereka adalah bintang film laga versi lembut dan berbau minyak kayu putih. Uniknya, meski program ini sukses besar, Pak Dirjen malah berharap jumlah jemaah safari wukuf bisa menurun tahun depan. Lah, kok?. Ternyata ini bukan program diskon yang ingin diulang terus-menerus, tapi lebih ke solusi darurat.
Harapan menurun itu semacam doa terselubung agar kondisi kesehatan jemaah makin kinclong dari tahun ke tahun. Kalau bisa, jemaah lansia tahun depan sudah ikut yoga dulu di Tanah Air sebelum berangkat. Atau minimal minum jamu tiap hari dan rajin jalan pagi keliling kompleks.
Istithaah kemampuan fisik dan mental jemaah adalah kata kunci. Kalau ini meningkat, berarti Safari Wukuf bisa disimpan dulu. Seperti payung di musim panas berguna, tapi lebih enak kalau cuacanya adem.
Safari Wukuf membuktikan bahwa ibadah haji tak harus menjadi ajang survival kayak reality show di tengah gurun. Dengan pendekatan penuh empati dan layanan personal, ibadah menjadi terasa lebih manusiawi. Karena haji bukan sekadar soal fisik kuat, tapi hati yang mantap dan niat yang lurus.
Dan seperti kata pepatah lama, “Yang tua dihormati, yang muda dibimbing, yang sakit dilayani”, maka Safari Wukuf adalah manifestasi konkret pepatah itu dalam bentuk program unggulan.
Kalau boleh menutup dengan gaya orang tua kampung. “Nak, haji itu bukan main kuat-kuatan, tapi kuat-kuat main sabar. Dan Safari Wukuf ini contoh sabar yang dipaketin sama pelayanan”.
Siapa sangka, di balik tenda-tenda ber-AC dan hotel transit itu, terselip kisah tentang kasih sayang, pelayanan tulus, dan semangat untuk terus memperbaiki cara kita beribadah. Haji bukan lagi monopoli orang kuat, tapi hak semua umat termasuk yang dengkulnya bunyi tiap naik tangga.[***]