Sumselterkini.co.id, – Kalau orang tua zaman dulu bilang, “Jangan menanam padi di atas awan, nanti panennya nyasar ke planet lain”. Nah, perumpamaan ini mungkin cocok buat kita renungkan saat Microsoft dengan gagah perkasa meluncurkan Indonesia Central Cloud Region belum lama ini. Awan digitalnya sudah menggelayut megah di langit teknologi kita, tapi pertanyaannya hujan manfaatnya bakal merata atau cuma numpang lewat kayak pesawat yang ketinggalan jadwal?
Bayangkan begini, Microsoft datang ke Indonesia bawa koper gede-gede berisi USD1,7 miliar (sekitar Rp27 triliun). Itu uang bukan main-main, Bung. Kalau dikonversi ke pecel lele, bisa buka warung sampai ke Planet Mars. Tapi jangan sampai investasi ini cuma jadi taman bermain buat para elite digital yang sudah punya kartu VIP sejak lahir. Anak-anak kampung yang baru belajar Excel jangan ditinggal di emperan warung, nungguin sinyal sambil nyusuin hotspot dari tower sebelah.
Menkomdigi Meutya Hafid tampil elegan, menyambut peluncuran cloud region bak duta besar dari Kerajaan Teknologi. Beliau bilang ini bukti bahwa Indonesia siap masuk ke orbit digital dunia. Syahdan, Indonesia sudah seperti gadis desa yang dipinang konglomerat kota. Tapi jangan sampai kita cuma kebagian undangan, tanpa ikut potong kue.
Cloud region ini katanya akan jadi kapalis pembangunan nasional. Waduh, bahasa seperti ini cocok dimasukin ke skripsi mahasiswa jurusan Futuristik Multiverse. Tapi baiklah, mari kita terjemahkan kapalis artinya kapal besar, tempat seluruh rakyat Indonesia bisa numpang naik agar nggak kelelep di samudera digital. Asal jangan sampai rakyat cuma disuruh dayung, tapi nggak diajak makan nasi bungkus di geladak.
Salah satu janji paling manis dari cloud region ini adalah penguatan pelatihan digital dan kecerdasan buatan alias AI. Targetnya? Satu juta orang dilatih. Yang sudah jalan katanya 840 ribu. Mantap!. Tapi perlu diingat, AI itu ibarat ilmu bela diri. Kalau nggak diajarin moralnya juga, bisa-bisa dipakai buat nipu CV.
Yang lebih penting lagi AI ini bukan buat gaya-gayaan di seminar. Ini harus jadi jalan bagi anak-anak daerah supaya bisa naik kelas dari operator warnet menjadi arsitek digital. Kalau tidak, kita hanya akan punya robot canggih, tapi manusianya tetap disuruh fotokopi KTP lima kali untuk daftar bansos.
Data center itu ibarat rumah besar tempat segala informasi tinggal. Nah, kalau rumahnya ada di Indonesia, ya jangan sampai jadi kayak kos-kosan elit yang isinya cuma bule digital. Kita perlu pastikan bahwa data-data kita nggak cuma jadi ATM untuk perusahaan asing, tapi juga jadi tambang emas pengetahuan buat generasi muda.
Apalagi Indonesia ini punya kelebihan yang luar biasa. Menkomdigi sebut energi terbarukan dari matahari dan panas bumi bisa tembus ratusan gigawatt. Itu artinya, kita bisa bikin cloud yang bukan cuma pintar, tapi juga ramah lingkungan.
Tapi ingat, “sepandai-pandainya data melompat, akhirnya kembali juga ke servernya.” Maka dari itu, jangan sampai semua infrastruktur kita hanya jadi alas kaki buat pebisnis luar, sementara rakyat cuma bisa selfie di depan gerbang pusat datanya.
Peluncuran Indonesia Central Cloud Region dari Microsoft ini ibarat mendirikan rumah kaca superbesar di tengah ladang yang dulu hanya ditanami singkong. Ini peluang emas, bukan sekadar buat investasi, tapi juga buat transformasi. Tapi kita harus waspada, jangan sampai rumah kaca itu cuma buat pameran tanaman import, sementara petani lokal tetap dipalak harga pupuk dan nggak paham cara nanem bayam pakai algoritma.
Ayo kita pastikan talenta digital bukan cuma numpang nama di daftar pelatihan, tapi benar-benar dapat ilmu yang bisa dipakai di pasar kerja, infrastruktur bukan cuma berdiri megah, tapi bisa dipakai semua kalangan, dari pelajar madrasah sampai tukang service laptop pinggir jalan dan pemerintah nggak cuma jadi pengiring musik dalam pernikahan teknologi ini, tapi juga penari utama yang tahu kapan harus mengatur tempo dan kapan mengatur anggaran.
Seperti kata pepatah lama, “Siapa yang menanam di awan, jangan lupa panennya harus dibagi merata di tanah”. Jangan sampai awan Microsoft mengguyur kemakmuran ke negeri orang, tapi cuma meneteskan gerimis motivasi di negeri sendiri.
Kalau hujan emas di negeri orang, mari kita bikin pelatihan AI kita bukan sekadar hujan brosur. Biar digitalisasi ini bukan hanya bikin kita jadi penonton, tapi pelakon utama di panggung cloud dan kecerdasan buatan.
Maka dari itu, hadirnya Indonesia Central Cloud Region ini ibarat Microsoft ngasih kita tangga menuju langit digital, lengkap dengan anak tangga dari data center, sabuk pengaman cloud, dan peta petunjuk AI. Tapi, tangga ini tak akan berarti apa-apa kalau kita masih takut naik, atau lebih parahnya malah asik main egrang di bawah sambil bilang “nanti aja deh”.
Infrastruktur boleh canggih, investasi boleh mentereng, tapi kalau manusianya masih sibuk berdebat soal “AI itu halal apa enggak”, kita bisa-bisa cuma jadi penonton di panggung digital. Apalagi kalau anak-anak muda kita masih lebih akrab sama AI-AI Gaming daripada AI-AI Research, alamat cloud bakal berfungsi buat simpan meme, bukan inovasi.
Negara ini harus sadar, di tengah derasnya hujan teknologi dari perusahaan global, jangan sampai ember bocor. Jangan pula kita cuma numpang berteduh di teras digital buatan asing tanpa tahu cara bangun rumah sendiri. Seperti pepatah lama dari kakek yang belum sempat bikin startup “Siapa yang menanam awan, dia yang akan menuai badai cuan”.
Oleh karena itu, kita mesti rebut kesempatan ini, bukan rebutan WiFi. Pemerintah harus lebih lincah dari algoritma, kampus harus lebih aktif dari status WhatsApp dosen, dan masyarakat harus lebih paham AI daripada paham kode diskon. Karena di era sekarang, siapa yang terlambat belajar digital, bisa-bisa anak cucunya nanti kerjaannya cuma nyapu server orang lain pakai sapu analog. Jadi, pastikan cloud boleh dari Microsoft, tapi langit masa depan harus tetap punya kita. Bukan cuma jadi panggung numpang lewat, tapi juga ladang panen ide, inovasi, dan ekonomi.[***]