Peristiwa

Drama Laut Penuh Jebakan & Gaji Lima Juta

kkp

Sumselterkini.co.id, – Langit Selat Malaka pagi itu mendung. Angin laut berembus malas, seolah ingin menyampaikan kabar, ada tamu tak diundang sedang nyulap ikan kita jadi ringgit. Tapi sayangnya, hari itu juga jadi hari sial bagi dua kapal berbendera Malaysia yang diam-diam nyari untung di laut Indonesia, lengkap dengan jaring haram dan awak yang bukan warga tetangga, tapi anak-anak kampung sebelah.

“Bang, itu di radar keliatan titik mencurigakan,” ujar Letda Ikan julukan kocak untuk Komandan KP Hiu 16, si kapal pengawas yang sudah kenyang laut asin.

“Kau yakin itu bukan kapal tongkang bawa batu bara?”
“Enggak, Bang. Geraknya zig-zag. Itu bukan tongkang, itu pemain.”

KP Hiu 16 pun menambah kecepatan. Mesin menderu, lambung kapal memecah gelombang. Suasana mendadak seperti film laga. Kalau disinetron, mungkin sudah masuk backsound dramatis dan slow-motion awak kapal yang siap pasang seragam patroli.

Dalam jarak 1 mil laut, tampak dua kapal. Bendera Malaysia berkibar malas di tiang pendek, tapi yang lebih mencolok, jaring trawl menggantung seperti labirin maut bagi ikan-ikan kecil.

KP Hiu 16 memberi peringatan melalui radio, tapi yang di sana malah angkat tangan kayak lomba joget 17-an. Tak lama, kedua kapal disergap.

“Mana surat-surat kapal?”
“Tak ado, Bang,” jawab salah satu awak dengan logat Medan yang kental, sambil ngelirik temannya yang sibuk menyembunyikan rokok seludupan.

“Lah… kau orang Indonesia kok naik kapal Malaysia nyolong ikan di laut sendiri?”
“Ceritanya panjang, Bang. Tapi intinya, gaji di sana lima juta sebulan. Nakhoda bisa sepuluh. Di sini, paling-paling jadi nelayan honorer.”

Dialog itu seperti tamparan pakai sirip ikan pari. Sakitnya bukan di kulit, tapi di rasa harga diri sebagai bangsa yang lautnya kaya tapi dijarah dari dalam.

Rupanya, anak-anak muda dari Tanjung Balai Asahan itu nekad menyeberang secara ilegal ke Malaysia. Modalnya? Seratus ribu untuk rokok dan dua juta buat bayar “agen penyebrang laut bayangan”. Semuanya demi menyambung hidup.

“Kami cuma cari makan, Bang. Trawl itu bukan ide kami, itu bos kapal,” ucap ABK yang masih remaja, wajahnya belum selesai pubertas tapi sudah kenyang garam dan hukum.

Kedua kapal itu pun diamankan. Barang bukti 450 kilogram ikan campur, dua unit kapal, satu tumpuk jaring trawl ilegal, dan segudang alasan.

“Kerugian negara dari dua kapal ini capai 19,9 miliar,” kata Ipunk, si Direktur Jenderal yang kini lebih sering dipanggil “Pak Komando Laut”.

Kepala Stasiun PSDKP Belawan, Pak Syamsu Rokman, sudah bersiap memproses kasus ini dengan Undang-Undang terbaru. Ancaman? Penjara delapan tahun plus denda 1,5 miliar. Ibarat orang mancing, niatnya dapat ikan, ujungnya malah dapat sel besi.

Dalam lima bulan terakhir saja, 13 kapal asing nyaris menjadikan laut kita sebagai dapur rumah tangga mereka. Mulai dari Filipina, Vietnam, China, sampai Malaysia. Tapi syukurlah, KP-KP kita masih sigap. Kalau laut ini gadis cantik, para kapal asing itu adalah mantan-mantan posesif yang ogah move on.

Menteri Sakti Wahyu Trenggono pun sudah tegas: patroli ditingkatkan, satelit dipasang, teknologi disulap jadi mata-mata laut. Semuanya demi satu hal laut bukan tempat buat yang ngutil.

Peristiwa di Selat Malaka ini bukan sekadar soal dua kapal ditangkap. Ini cerminan dari sebuah ironi anak bangsa yang nyari sesuap nasi di negeri tetangga, justru kembali ke tanah air sebagai pelanggar hukum.

Kita perlu lebih dari sekadar kapal patroli. Kita butuh perut yang kenyang di darat, agar anak-anak laut tak lagi melaut ke tempat yang salah. Kita butuh pendidikan, perlindungan, dan harga diri.

Dan seperti pepatah lama “Yang nyolong di kebun orang, bisa kena lemparan. Tapi yang nyolong di kebun sendiri dan pura-pura enggak kenal, itu lebih menyakitkan,”

Kalau laut ini punya mulut, dia pasti sudah teriak, “Hei anakku, jangan cuma jadi penonton saat rumahmu dijarah. Waktunya jadi penjaga. Karena lautmu bukan laut mereka,”[***]

Terpopuler

To Top