Inspirasi

Lorong Masa Kecil Tak Boleh Hilang [“Main Yuk, Sebelum Jadi Orang Tua Serius!”]

ist

Sumselterkini.co.id – Sore kemarin lorong Blok C1, Perum Pesona Harapan Jaya Tahap I RT 50 Kalidoni Palembang, Sumsel, seperti biasa riuh, ramai, dan… gaduh. Tapi jangan buru-buru misuh, karena keributan ini bukan hasil rempong ibu-ibu arisan atau bapak-bapak debat soal skor bola, ini suara anak-anak yang sedang bermain umpet, hampir setiap sore aktivitas itu mereka lakukan menjelang petang.

“Hei, Inaaa! Gak boleh ngintip, wey!” teriak Diva sambil tutup mata pakai tangan, padahal jari-jarinya bolong kayak saringan teh.

Inara tertawa, “Lah aku cuma liat dikit, kok. Sikit bae!”

Di ujung lorong, Acong dengan napas ngos-ngosan berusaha masuk ke balik tong sampah depan rumahku. “Tunggu duluu, aku belom siap ngumpet [tongkopan-bahasa Palembangnya], bah!”

Dan di sinilah letak keajaibannya.

Di tengah jalan gang yang sempit, dengan sandal jepit berserakan dan suara tawa tumpah ruah, terjadi sebuah peristiwa besar dalam hidup seorang anak kebahagiaan yang sederhana namun tulus.

Kalau kau tanya, siapa yang sedang belajar di situ? Bukan cuma bocah-bocah itu. Tapi juga kita, yang kadang lupa caranya hidup tanpa beban. Bak pepatah lama bilang, “Anak yang tertawa hari ini, adalah orang dewasa yang kuat esok hari.”

Bermain bukan cuma perkara fisik, tapi latihan kehidupan. Saat Diva menutup mata dan mulai menghitung, dia sedang belajar kepercayaan. Saat Inara sembunyi dan diam tak bergerak, dia sedang belajar disiplin. Saat Acong keburu ketahuan padahal belum siap, dia sedang belajar menerima kekalahan dengan tertawa ngakak.

Merujuk pada teori perkembangan kognitif Jean Piaget, seorang psikolog asal Swiss yang sangat berpengaruh dalam bidang psikologi pendidikan dan perkembangan anak.

Secara khusus, ide bahwa anak memahami dunia melalui pengalaman langsung dan bermain aktif, bukan dari ceramah atau hafalan merupakan bagian penting dari tahap-tahap perkembangan kognitif yang dijelaskan Piaget dalam beberapa karyanya.

“Play, Dreams and Imitation in Childhood” [1951], buku ini secara khusus membahas peran bermain dalam perkembangan mental anak. Piaget menekankan bahwa bermain adalah ekspresi nyata dari cara anak-anak memahami dan mengasimilasi dunia di sekitar mereka.

Singkat kata teori Piaget, anak usia 2–7 tahun berada dalam tahap praoperasional, di mana mereka belajar melalui bermain simbolik, imitasi, dan eksplorasi. Piaget percaya  pembelajaran anak terjadi melalui tindakan langsung, bukan hanya dengan mendengarkan, bermain adalah alat belajar, anak “berpikir” dengan seluruh tubuh dan inderanya, bukan hanya otaknya.

Menurut Kak Seto, legenda hidup dunia anak Indonesia, “Bermain adalah hak dasar anak, kalau anak tidak bermain, sama saja seperti orang dewasa tidak makan.” Lah, kalau orang dewasa bisa lapar karena belum sarapan, maka anak-anak bisa gersang jiwanya kalau tak diajak bermain.

Di Finlandia, anak-anak TK lebih banyak bermain daripada belajar formal, bahkan ada taman bermain di atap gedung parkir! Di sana, pepatah lokal berbunyi “Lapset oppivat leikkimalla”, maksudnya anak-anak belajar lewat bermain.

Sementara di Indonesia, beberapa kota sudah mulai melek, di Bandung ada Taman Sejarah, anak-anak bisa main air, lari-larian di tengah kota, dan selfie sama patung pahlawan sambil basah kuyup.
Di Surabaya, ada Taman Prestasi, Taman Harmoni, yang bukan cuma estetika, tapi benar-benar buat anak bermain tanpa takut ditertibkan Satpol PP.

Lalu kita di Kalidoni termasuk [maaf yang masih marjinal] ini? Ya, taman bermain kadang cuma lapangan di jalan blok, atau pelataran masjid jadi seluncuran alami.

Tapi jangan salah! Imajinasi anak-anak ini udah mengalahkan fitur terbaru media sosial. Kardus bekas bisa jadi kapal bajak laut. Galon kosong dijadikan benteng pertahanan dan tiang listrik dijadikan markas alien. Hebat nian!!!.

Kata pepatah Minang “Anak dipangku, kamanakan dibimbiang, urusan kampuang diselesaikan.”
Artinya, anak itu prioritas, kalau masa kecilnya dirampas, masa depannya bisa keropos kayak fondasi rumah kena rayap.

Pernyataan tentang pentingnya bermain bebas (free play) untuk regulasi emosi dan keterampilan sosial memang sesuai dengan pemikiran Vera Itabiliana Hadiwidjojo, seorang psikolog anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan UI (LPT UI).

Dia bilang, bermain bebas itu penting buat regulasi emosi. Anak belajar sabar, giliran, ngalah, dan menyelesaikan konflik kecil hal-hal yang kelak berguna saat dia dewasa dan harus rapat sambil nahan emosi karena rekan kerja nyebelin.

Dalam buku “The Importance of Play” oleh David Elkind, dijelaskan anak-anak yang punya waktu bermain tumbuh lebih kreatif, mandiri, dan punya rasa percaya diri lebih tinggi. Mereka lebih tahan banting dalam menghadapi tantangan hidup.

Jadi kalau hari ini kita melarang anak tertawa terlalu keras, atau menyuruh mereka anteng terus karena “ganggu tetangga,” maka kita sedang menciptakan generasi yang takut mengekspresikan diri.

Kebahagiaan masa kecil

Dari Kalidoni Perum Pesona Harapan Jaya Tahap I Blok C sampai Helsinki, dari lorong sempit sampai taman bergaya Skandinavia, satu hal tetap sama, yakni bahasa anak-anak adalah bahasa bermain.

Kebahagiaan masa kecil tak perlu wahana 5 juta per tiket. Cukup lapangan kosong, jalan blok kosong,  pohon rindang, dan teman yang bisa diajak joget “hompimpa alaium gambreng” sampai langit sore berubah jingga.

Kelak ketika anak-anak itu tumbuh, mungkin mereka lupa nama teman mainnya, lupa siapa dulu yang jago ngumpet di balik tandon. Tapi yang pasti takkan pernah mereka lupa adalah tawa itu. Tawa yang tumbuh di antara debu jalanan, tawa yang meledak meski cuaca panas ngalah-ngalahi setrika, dan tawa yang tulus yang pernah mereka mainkan sendiri.

Bahagia itu bukan soal tempat yang megah, tapi tentang kebebasan mengekspresikan diri, berimajinasi, dan berkeringat bersama. Mari lindungi tawa-tawa kecil itu, karena kalau masa kecil kita rusak, dewasa kita akan kehausan kasih sayang yang sudah menguap.

Kita yang dewasa ini, bukan cuma dititipi untuk memberi makan dan pakaian. Kita juga dititipi tawa-tawa kecil yang sedang tumbuh. Jangan sampai kita jadi penjaga gerbang kebahagiaan yang malah menutup pintunya.

Biarkan anak-anak main, lari, tertawa, saling lempar sandal, dan teriak “Ngintip, aku liat, kenaaa!” he..he…he!!.
Karena itulah bentuk kecil dari manusia yang sedang belajar menjadi besar.

Kalau masa kecilnya utuh, dewasa mereka akan kuat. Kalau hari ini mereka bebas berimajinasi, kelak mereka akan menciptakan dunia yang lebih baik dari kita, jadi saat kau dengar suara gaduh dari gang sebelah, jangan buru-buru ngeluh. Mungkin itu adalah suara masa depan……yang sedang main umpet, dan sedang menang.

Kawan, jangan remehkan suara cempreng dan tawa bocah. Itu bukan polusi suara, tapi puisi kehidupan. Itu bukan gangguan, tapi pengingat bahwa masa kecil adalah fase paling jujur dalam hidup kita.

Anak-anak di Perum Pesona Harapan Jaya I, Kalidoni tidak sedang berpura-pura bahagia untuk konten. Mereka tidak sedang mencari likes. Mereka hanya ingin berlari, bersembunyi, dan tertawa karena itu yang alamiah. Yang manusiawi.

Kelak, mungkin Acong akan tumbuh jadi pegawai bank, Diva mungkin jadi dosen, Diah bisa jadi bupati, termasuk bocah lainnya. Tapi ingatan soal sembunyi di balik tandon, lemparan sandal meleset ke kucing, dan suara yang memantul ke seng rumah kosong itu… akan jadi harta paling mahal dalam hidup mereka.

Jadi, jika kau hari ini merasa capek, kehilangan arah, atau merasa dunia terlalu rumit, datanglah ke sore, seperti di Perum Pesona Harapan Jaya I blok 1, Kalidoni Palembang.

Duduk sebentar, dengarkan suara cempreng itu, mungkin, dari suara-suara itulah kita sadar bahwa hidup tak harus selalu serius, kadang, cukup ngumpet di balik kotak sampah dan teriak, “Woy! kau ketahuan!”. Dan percaya atau tidak, itulah terapi terbaik yang tak akan pernah ditawarkan oleh klinik mana pun.

Hari-hari ini, banyak orang tua sibuk cari mainan edukatif, tablet canggih, dan game online yang katanya bisa bikin anak jadi jenius. Tapi, apakah benar bahagia harus mahal? Harus digital?

Di Perumku yang marjinal, sore itu membuktikan, imajinasi anak-anak jauh lebih unggul dari algoritma TikTok. Mereka tak butuh baterai, cukup semangat. Tak ada sinyal? Tak masalah. Asal ada kawan, ada suara cempreng Diva dan tawa Acong CS yang kayak motor mogok, hidup terasa lengkap.

Main umpetan bukan sekadar sembunyi. Itu pelajaran. Di sana ada taktik, solidaritas, kebohongan kecil yang manis, dan tentu saja seni bertahan hidup dari lemparan sandal Inara.

Anak-anak butuh ruang. Ruang bukan hanya tanah lapang, tapi ruang untuk berteriak, untuk jadi “ribut”, untuk jatuh dan tertawa. Sayangnya, ruang ini makin sempit. Tergantikan pagar-pagar tinggi, peringatan “Dilarang Berisik”, dan gadget yang membuat anak-anak jadi pendiam tapi galau.

Diva dan kawan-kawan memberi kita tamparan halus atau mungkin cukup keras bahwa kebahagiaan itu sederhana. Tak perlu WiFi. Tak perlu saldo ShopeePay. Cukup satu suara. “Satuuuu…dua…tiiiigooo!!”. Lorong masa kecil yang tak boleh hilang [“Main yuk, sebelum jadi orang tua serius!”], selamat bermain bocah.[***]

Terpopuler

To Top