Sumselterkini.co.id – Kalau dulu hukum terasa seperti tamu asing yang hanya mampir di kota dan tak pernah betah singgah di desa, kini Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) sedang merombak peta perjalanan itu. Hukum tak lagi milik orang berjas yang berkantor di pinggir kota, tapi juga milik Pak RT, Bu Lurah, sampai warga yang tiap pagi nyemprot hama di sawah.
Melalui pembentukan Kelompok Keluarga Sadar Hukum (Kadarkum) dan Pos Bantuan Hukum (Posbankum) di 229 desa dan 13 kelurahan, Muba tengah menyulam jaring perlindungan hukum yang merata.
Ibarat menjemur ikan asin, kini hukum dijemur di pelataran desa agar kering dari prasangka dan amis dari ketidaktahuan.
“Banyak perkara hukum lahir dari desa, bukan karena jahat, tapi karena tak tahu,” ujar Dr. Ardiansyah SE MM, Asisten I Setda Muba, mewakili Bupati Muba, dalam rapat resmi yang digelar pada 21 Mei 2025.
Kalimat ini layaknya peribahasa ‘Karena nila setitik, rusak susu sebelanga’ ,satu kesalahan kecil di desa bisa menular jadi konflik besar bila tak ada pengetahuan hukum yang memadai.
Langkah Muba ini bukan sekadar tambal sulam atau pencitraan musim pemilu, ini gerakan strategis. Saat sebagian daerah lain masih sibuk membangun tugu, Muba sibuk membangun kesadaran hukum. Sebuah modal sosial yang nilainya tak bisa dinilai hanya dari jumlah gedung atau panjang jalan yang diaspal.
Dalam konsep ini, Posbankum ibarat pos ronda hukum. Tempat bertanya, mengadu, dan minta solusi sebelum perkara berubah jadi pidana. Di sampingnya, Kadarkum hadir sebagai “komunitas waras” yang menjembatani logika hukum dengan nalar kampung.
Tak semua warga mengerti pasal-pasal, tapi mereka tahu mana yang salah dan mana yang melanggar, asal dijelaskan dengan bahasa sehari-hari.
Lihatlah, 15 kelompok Kadarkum dan Posbankum yang sudah terbentuk kini jadi pilot project. Tak lagi hanya jadi nama di papan, tapi jadi tempat berlindung bagi mereka yang terlanjur masuk pusaran konflik.
Penyuluh Hukum dari Kemenkumham Sumsel, Asnedi SH MH, bahkan menyebut Muba bisa jadi kabupaten pertama di Sumatera Selatan yang tuntas membentuk Posbankum dan Kadarkum. Kalau ini tercapai, bukan hanya rekor administratif, tapi juga sejarah yang akan tercatat dengan tinta hukum rakyat.
Dan jangan lupakan pelatihan paralegal. Ini bukan lomba pidato hukum, tapi pelatihan praktis. Agar nanti, ketika warga desa harus bersuara di hadapan hukum, mereka tak gagap dan tak gentar. Di situlah kedaulatan hukum rakyat lahir.
Pepatah bilang “Bila hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka yang harus diasah adalah kesadarannya, bukan hanya pisaunya.” Maka yang dilakukan Muba adalah mengasah kesadaran itu dari hulu hingga hilir, dari kepala desa hingga warga.
Apa yang dibangun Muba hari ini adalah ladang masa depan. Bukan padi dan sawit yang ditanam, tapi benih keadilan. Di tengah zaman ketika hukum kadang hanya jadi tontonan, Muba memilih menjadikannya tuntunan. Ini bukan sekadar program, ini ikhtiar agar hukum benar-benar hadir dalam kehidupan sehari-hari tak hanya di pengadilan, tapi juga di warung kopi dan musyawarah dusun.
Jika Muba konsisten melangkah, maka tak mustahil suatu hari nanti pepatah ini berubah “Kalau ingin tahu wajah hukum di Indonesia, lihatlah ke Muba.”.[***]