Sumselterkini.co.id, – Kalau ada yang bilang jadi Wali Kota itu kerjanya cuma duduk-duduk tanda tangan, maka jelas dia belum lihat acara Karnaval Budaya Nusantara di Surabaya belum lama.
Di situ, para Wali Kota se-Indonesia termasuk Wali Kota Palembang Ratu Dewa dan Wakilnya, Prima Salam bukan cuma berjalan kaki, tapi berjalan hati-hati sambil melambai ala peragawan peragaan, lengkap dengan baju adat khas masing-masing daerah. Pokoknya suasananya bukan kayak rapat nasional, tapi kayak audisi Puteri Indonesia edisi bapak-bapak.
Bayangkan, Jalan Tunjungan yang biasanya dilewati angkot dan ojol mendadak disulap jadi catwalk. Lampu kelap-kelip, musik daerah bersahut-sahutan, dan aroma dendeng balado berbaur dengan wangi bunga melati dari sanggul para pendamping.
“Kalau karnaval ini dikasih nilai, bisa jadi nilai sejarah, seni, budaya, dan sedikit nilai kekompakan… kecuali ada yang salah kostum dan nyasar pakai baju Iron Man,” canda seorang warga yang nonton sambil nyicip sempol.
Wali Kota Palembang sendiri tampil dandanan maksimal, mengenakan pakaian adat Palembang yang bling-bling-nya bisa ngalahin sinar ring light TikTokers. Lengkap dengan songket yang tiap benangnya mungkin bisa ditebus setara cicilan motor, mereka jalan dari Jalan Tunjungan ke Balai Pemuda, seperti rombongan pengantin yang nyasar ke Mal.
Kalau kata pepatah lama “Di mana bumi dipijak, di situ adat dilestarikan.” Tapi dalam acara ini, “Di mana baju adat dikenakan, di situ netizen mulai stalking Shopee-nya.”
Lalu apa makna sebenarnya dari acara ini?
Bukan cuma pamer baju adat, acara ini jadi semacam panggung nasional: ajang unjuk kekayaan budaya, unjuk senyum, dan… ya, unjuk keberadaan. Terkadang, lebih gampang ketemu Wali Kota saat pakai baju adat daripada saat sidak pasar. Tapi tak apa, ini bagian dari diplomasi visual: rakyat senang, Wali Kota senang, penjual kain adat makin senang.
Dari sisi Palembang, ini kesempatan langka. Selain memperlihatkan kekayaan budaya Wong Kito, kehadiran langsung Pak Wali dan Pak Wakil adalah simbol komitmen bahwa Palembang tak hanya hadir dalam forum nasional, tapi juga “berlenggang gemulai” dengan percaya diri di panggung Nusantara.
Acara ini adalah bentuk diplomasi budaya dalam balutan senyum dan selempang. Sekali-sekali, para kepala daerah memang perlu tampil beda dari biasanya baju dinas, menjadi baju adat.
Karena di balik sulaman benang emas itu, ada pesan kuat Indonesia itu satu, tapi rasanya banyak. Seperti es campur satu mangkuk, isinya bisa kelapa, kacang merah, tape, sampai biji selasih. Jangan dianggap enteng, karena dari es campur itu lahirlah harmoni. Asal jangan kebanyakan sirup, nanti keder.
Boleh jadi acara karnaval ini hanya berlangsung 4 jam, tapi efeknya bisa jadi lebih panjang. Dari foto-foto yang viral, dari anak-anak yang melihat langsung kepala daerahnya berdandan seperti raja, dari tamu yang mengangguk melihat ragam adat, dari situ tumbuh benih cinta tanah air. Atau setidaknya… cinta pada songket.
Maka, seperti kata pepatah Palembang yang belum disahkan oleh ahli bahasa”. Biar kaki pegal, asal adat tetap regal. Biar keringat mengucur, asal budaya tetap bercahaya.”[***]