Palembang Terkini

Songket, Branding Kota & Cita-cita Palembang Jadi Paris-nya Sumatera hingga Hits di Mata Dunia

Sumselterkini.co.id, – Di sebuah ruangan berpendingin udara yang mungkin cukup dingin untuk membekukan niat kalau tidak dibarengi semangat, Wali Kota Palembang Ratu Dewa menerima audiensi dari seorang figur yang tidak asing dalam dunia pertunjukan dan branding Helmy Yahya, kemarin.

Bukan untuk syuting acara reality show atau bikin kuis “Siapa Mau Jadi Miliarder Versi Musi”, tapi untuk ngobrol serius, adu ide, dan merancang strategi jitu agar Palembang bisa naik kelas. Misi mereka mulia bikin city branding Palembang jadi selevel dengan kota-kota yang namanya udah nempel di benak orang dunia macam Paris, Kyoto, hingga Malaka.

Titik awalnya? yakni Songket..

Bukan tanpa alasan dipilihnya warisan budaya Palembang itu, karena songket adalah karya agung. Kain berkarakter yang dirajut bukan cuma dari benang emas, tapi juga dari filosofi, kesabaran, dan cita rasa. Ibarat perempuan yang nggak cuma cantik, tapi juga pintar masak, punya etika, dan tahu bedanya gala dinner sama makan di warteg. Mahal bukan karena harga, tapi karena martabat.

Sayangnya, selama ini songket sering diperlakukan seperti mantan yang cuma diingat pas kangen. Dipakai pas kondangan, lalu dilipat dan disimpan dalam lemari sampai bertahun-tahun. Padahal potensi songket itu seperti bumbu rendang makin lama makin sedap, asal tahu cara mengolah dan menyajikannya.

Maka tercetuslah ide bikin Festival Songket, bukan festival abal-abal yang isinya cuma lomba selfie dan pentas orgen tunggal. Ini festival yang rencananya akan dikemas luar biasa, penuh nilai budaya, glamor dengan cita rasa lokal, dan dibungkus promosi kelas dunia. Targetnya bukan cuma menggaet wisatawan lokal yang nyasar karena salah beli tiket kereta, tapi juga turis luar negeri yang biasanya belanja di Paris dan Milan.

“Kenapa songket? Karena mewah dan punya nilai sejarah,” kata Helmy Yahya, yang tampaknya mulai menghidupkan kembali idealisme kejayaan Sriwijaya yang tertidur seperti putri salju habis makan durian.

City branding, kalau boleh dibahasakan dengan gaya emak-emak, adalah cara bikin kota kita tampil menawan di depan umum. Bukan sekadar cantik luar, tapi juga punya isi. Ibarat perempuan yang bukan cuma jago make-up, tapi juga bisa diskusi soal ekonomi sambil ngulek sambal. Branding kota bukan cuma soal baliho besar dengan senyum wali kota, tapi soal bagaimana kota ini bikin orang betah, bangga, dan ingin balik lagi.

Mari tengok ke luar jendela dunia. Kyoto di Jepang bisa bikin wisatawan rela antre demi lihat upacara teh. Padahal itu cuma air panas dan daun. Bilbao di Spanyol, dulunya kota industri yang dilupakan, berubah jadi pusat seni modern cuma karena satu museum canggih. Chiang Mai di Thailand, dulunya kota biasa aja, sekarang jadi pusat wisata budaya dan meditasi. Kuncinya? Branding yang konsisten, strategi jangka panjang, dan tentu saja: pengemasan yang tidak asal-asalan.

Lalu kita lihat Palembang. Kota yang punya sejarah kerajaan laut terbesar di Asia Tenggara kerajaan Sriwijaya yang dulu bikin negara lain ngiri dan iri hati. Tapi hari ini, orang lebih tahu Palembang dari pempek dan jembatan Ampera. Padahal kalau digali, sejarah dan budaya Palembang itu dalamnya kayak isi dompet emak-emak habis Lebaran penuh dan berlapis.

Masalahnya, selama ini kita sering terlalu malu-malu mempromosikan diri. Seolah takut dibilang sombong kalau mengakui kehebatan sendiri. Padahal kota itu seperti perempuan  kalau terus-menerus rendah diri dan pakai baju yang sama tiap hari, ya susah dapat pasangan mapan. Harus percaya diri, berdandan, dan tahu nilai diri.

Festival Songket ini bisa jadi momentum penting. Tapi jangan sampai cuma jadi festival foto-foto, lalu bubar jalan. Harus ada kesinambungan. Harus ada investasi dalam pelatihan perajin, pembukaan pasar ekspor, kolaborasi dengan desainer dunia, hingga platform digital yang menayangkan songket sebagai fashion dan warisan.

Bayangkan kalau Paris Fashion Week suatu hari menampilkan koleksi “Songket Sriwijaya Couture” karya desainer Palembang. Atau rumah mode di Milan bikin koleksi eksklusif bernama “Sekanak Collection”. Turis dari Jerman dan Korea datang ke Palembang bukan cuma untuk makan pempek, tapi untuk belanja songket dan belajar menenun dari ibu-ibu Jakabaring. Wow, bukan?

Dan kepada pemerintah kota, jangan biarkan ide besar ini kandas hanya karena anggaran dialihkan ke hal-hal receh. Jangan biarkan festival berubah jadi event seremonial standar dengan potong pita dan sound system rusak. Kota ini layak dapat yang lebih megah. Kalau perlu, buat regulasi dan insentif agar usaha tenun songket makin berkembang dan anak muda tertarik berkecimpung di dalamnya.

Jangan sampai anak-anak muda Palembang lebih bangga jadi content creator prank daripada penerus penenun songket. Itu seperti lebih milih jadi badut ulang tahun daripada jadi penerus kerajaan.

Dan terakhir, kepada warga Palembang ayo kita ikut ambil bagian. Karena city branding bukan cuma kerja wali kota dan Helmy Yahya. Ini kerja kolektif. Ini semangat bersama. Mari bangga pakai songket. Mari ajak tamu luar kota bukan cuma makan pempek, tapi juga mampir ke galeri budaya.

Karena kalau Palembang ingin dikenal dunia, kita harus percaya diri. Harus tampil berani. Harus jadi seperti perempuan yang tahu kapan harus pakai kebaya, kapan harus pakai heels, dan kapan harus bilang “Ini aku, cantik, kuat, dan punya sejarah.”

Palembang bukan kota biasa. Ia perempuan cantik yang terlalu lama menyembunyikan kecantikannya di balik selendang sejarah. Sudah waktunya membuka tirai, berdiri di panggung dunia, dan berkata “Ini aku. Kota Sriwijaya. Kota Songket. Kota yang tak hanya mengenyangkan, tapi juga memikat.”.[***]

Terpopuler

To Top