Sumselterkini.co.id, -Banjir di Muba ini bukan main-main. Kalau biasanya hujan cuma bikin cucian gak kering, kali ini bikin rumah warga pindah fungsi jadi akuarium. Jalan raya? Udah upgrade jadi kali dadakan. Lengkap dengan bonus kemacetan 10 kilometer lebih panjang dari antrian sembako gratis pas HUT RI.
Tapi di tengah kisah muram itu, muncullah seorang tokoh Wakil Bupati Muba Rohman, yang gak cuma duduk manis di kantor sambil nunggu laporan. Beliau turun langsung ke lapangan, nyebur bareng warga. Bukan buat ngambil foto, tapi buat nunjukin, “Eh, ini loh pemerintah beneran datang, bukan cuma di spanduk.”
Bayangin lagi macet, air setinggi betis, suara klakson bersahut-sahutan kayak konser dangdut gratisan… eh, tiba-tiba muncul rombongan lengkap. Wakil bupati, Kapolres, Dandim, Kadinsos, sampe Kadinkes. Serius, kalau bawa juru masak, bisa langsung bikin sinetron “Dapur Umum Cinta di Tengah Banjir.”
Wabup Rohman bilang, ini semua adalah ujian dari Allah SWT. Dan ya, benar sih. Kadang Tuhan kasih kita ujian bukan biar kita nangis-nangis di pojokan, tapi biar kita inget: sabar itu bukan cuma kata di spanduk pengajian, tapi harus dicoba sambil ngaduk nasi bungkus di posko.
Pemerintah hadir gak cuma kasih instruksi, tapi kasih teladan. Meski akses sulit, mereka tetap jalan. Bahkan kayaknya, mobil dinasnya udah kayak perahu tinggal ganti ban sama dayung, langsung jadi armada tanggap darurat.
Camat Tungkal Jaya, Pak Yudi, juga gak kalah sigap. Warga disuruh ngungsi, dan semua elemen pemkab disulap jadi tim Avengers versi Musi Banyuasin. Ada yang jaga posko, ada yang urus dapur umum, ada juga yang keliling bagi-bagi obat. Kalau ada yang ngantuk di pos jaga, harap maklum. Mereka kerja shift 25 jam sehari.
Tapi di balik semua ini, ada pertanyaan penting Kenapa setiap musim hujan kita masih kebanjiran juga? Ini bukan curhat nyinyir, tapi refleksi. Karena kadang, kita suka sibuk ngelap lantai yang becek, tapi lupa nutup atap yang bocor.
Penting juga buat perangkat desa dan kecamatan mulai ngajarin warga soal kesiapsiagaan. Jangan nunggu air setinggi lutut baru heboh. Banjir itu kayak mertua datang dadakan lebih baik siap dari awal.
Dan hey, ini juga PR buat kita semua gak buang sampah sembarangan, gak bangun rumah seenaknya di bantaran sungai, dan jangan percaya 100% sama peta “daerah aman banjir” yang gambarnya kayak abstrak lukisan Picasso.
Wakil Bupati udah turun. Tim medis udah standby. BPBD udah muter terus. Tapi jangan lupa, masyarakat juga pegang kunci utama. Karena ngadepin bencana itu kayak gotong royong angkat lemari gak bisa satu orang doang yang ngangkat, bisa copot pinggang.
Jadi, kalau kamu masih ngeluh kenapa jalanan macet, coba pikirin. Ada warga yang tidur di balai desa, ada anak kecil yang mandinya pakai gayung dari ember posko, ada relawan yang masaknya pakai tungku darurat sambil ngusir nyamuk.
Dan di tengah itu semua, pemimpin yang basah kuyup demi warganya jauh lebih mulia daripada pidato kering tanpa aksi.
Mari kita doakan banjir segera surut, warga bisa pulang, dan ke depan… kalaupun harus nyebur lagi, semoga bukan karena bencana, tapi karena lomba balap perahu antar desa!.
Oleh sebab itu, ada satu hal yang jarang disebut saat bicara soal banjir pelajaran dari air. Air mengalir, tapi ia juga mengingatkan kita untuk berhenti. Ia memaksa manusia membuka mata, bukan hanya melihat kerusakan, tapi juga siapa yang masih berdiri bersamanya.
Peninggalan bukan hanya nama desa. Ia bisa jadi simbol bahwa kita tak bisa terus meninggalkan jejak-jejak tanggung jawab begitu saja. Karena yang tersisa setelah bencana bukan hanya lumpur dan tangisan, tapi juga komitmen untuk bangkit bersama.[***]