Nasional

KABAR GREENPEACE INDONESIA : COP26, Lalu Apa?

Foto : GREENPEACE INDONESIA

PERHELATAN COP26 sudah berakhir minggu lalu. Setelah dua minggu berdiskusi dalam forum tentang iklim terbesar itu, para petinggi dunia melahirkan Glasgow Climate Pact (GCP) atau “Pakta Iklim Glasgow” — yang berisi harapan dan kekecewaan.

Let us start with some good news.

Kalau sebelumnya para petinggi negara harus melaporkan update capaian NDC setiap 5 tahun setelah Perjanjian Paris, GCP mempercepat timeline aksi iklim ini. Negara yang terlibat diminta hadir dengan rencana pengurangan emisi yang lebih ambisius di akhir tahun 2022.

GCP juga menyatakan perlunya mengurangi emisi CO2 secara global sebanyak 45% di tahun 2030 dari tingkat tahun 2010 untuk bisa menekan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat.

Kedua hal ini memunculkan kata kunci penting: dibutuhkan peta jalan & kebijakan yang jelas untuk bisa mencapai target di 2030.

Setelah 25 tahun COP terlaksana, akhirnya frasa fossil fuel atau bahan bakar fosil masuk dalam GCP. Frasa ini setidaknya telah mengakui efek bahan bakar fosil terhadap Krisis Iklim yang terjadi saat ini.

Here comes the disappointment: Kalimat asli dalam pakta tersebut bukan phase-out atau penghentian sepenuhnya seperti apa yang dibutuhkan bumi saat ini, melainkan phase-down atau pengurangan bertahap. Padahal dekade ini adalah penentuan untuk mencapai target di bawah 1,5 derajat celcius.

“Di menit-menit terakhir justru sejumlah negara besar seperti India, Saudi Arabia, dan Australia mengusulkan pelonggaran target berdasar kepentingan nasional masing-masing. Padahal upaya memerangi Krisis Iklim membutuhkan kerja sama global yang benar-benar harus berdasarkan bukti saintifik,” ujar Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak.

Tanggapan Greenpeace Indonesia terhadap COP26 bisa kamu baca di sini dan tonton konferensi pers terkait hal ini dengan klik gambar di bawah.

Lalu mungkin kamu bertanya, apa selanjutnya bagi Indonesia setelah COP26?

Target NDC Indonesia dengan bantuan internasional adalah pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 41%. Ini berkaitan dengan pendanaan internasional sebesar 100 miliar US dollar setiap tahun dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang mulai 2020, yang hingga kini belum terealisasi sempurna.

Mengutip Washington Post, masalah pendanaan ini tetap tidak terselesaikan di COP26 karena negara-negara maju tidak mau bertanggung jawab, meskipun perwakilan daerah terdampak mendesak kompensasi atas kerugian yang disebabkan oleh emisi negara-negara maju. GPC mengakui bahwa kerusakan akibat perubahan iklim sudah terjadi, tapi tidak ada pendanaan tambahan terkait ini.

Artinya, Indonesia harus fokus pada pengurangan emisi gas rumah kaca dengan usaha sendiri sebesar 29%. Baik dari sektor energi maupun kehutanan.

Indonesia sudah membuka jalan dengan masuk dalam negara-negara yang berkomitmen melakukan penutupan operasi PLTU batu bara secara bertahap.

Tapi dibutuhkan target & kebijakan yang jelas untuk mendukung rencana ini. No more lip service. Karena rencana moratorium PLTU batu bara pun baru akan dimulai pada tahun 2023, dengan menyelesaikan pembangunan PLTU baru yang telah mendapatkan kontrak.

Di sektor kehutanan, pemerintah harus segera mewujudkan nol deforestasi apalagi setelah menandatangani komitmen bersama 140 negara lainnya. Jangan sampai pembangunan dijadikan alasan untuk terus melakukan deforestasi. Hal ini menjadi penting, tidak hanya untuk menjawab tantangan global tapi juga bagi warga Indonesia yang saat ini menjadi korban banjir akibat deforestasi terus menerus.

Yang juga harus kamu tahu:

  • Para peneliti dari Climate Action Trackermengungkapkan bahwa kenaikan suhu akan mencapai 2,4 derajat celcius pada akhir abad ini, berdasarkan target jangka pendek yang telah ditetapkan negara-negara. Mengutip The Guardian, cuaca ekstrem akan meluas di seluruh dunia jika kita sampai di tingkat tersebut.
  • Penelitian lainnya ungkap bagaimana Kabupaten Berau di Kalimantan Timur jadi saksi naiknya suhu secara signifikan dalam rentang 2002-2018 akibat deforestasi. Jurnal Lancet Planetary Healthmenyebutkan telah terjadi peningkatan suhu maksimum harian rata-rata hampir satu derajat dan menyebabkan risiko kematian dini, seperti dikutip dari Kompas.

Sekali lagi, ini adalah dekade terakhir kita untuk mengurangi dampak Krisis Iklim yang permanen di Bumi. Bersama desak pemerintah pusat dan daerah untuk bergerak nyata dalam upaya mengurangi Krisis Iklim. ACT NOW!

Salam hijau damai,
Greenpeace Indonesia

 

 

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com