HAMPIR setiap pagi, kabar duka itu selalu datang. Hampir saban hari, baik siang, sore atau malam, sirine ambulan itu selalu terdengar, entah membawa pasien sakit atau mungkin mereka yang diantar ke pemakaman. Pagi ini, saat membuka medsos, ucapan Innalillahiwainnailaihirojiun telah berseliweran.
Semenjak wabah Covid-19 merebak di dunia, peristiwa meninggalnya umat manusia seperti sudah sangat biasa. Tak perlu ditanya lagi mereka meninggal karena apa, persepsi di kepala sudah terbentuk. Bayangan seragam petugas medis berbaju hazmat menggotong jenazah ke pemakaman, sudah jadi hal yang biasa.
Data dari Pusat Informasi COVID-19 menyebutkan sebanyak 27.913 terkonfirmasi positif dalam satu hari pada 4 Juli 2021. Angka ini terus meningkat dari hari-hari sebelumnya. Memang yang dominan ada pada beberapa daerah (seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur). Tetapi semua provinsi sudah terinfeksi wabah menular ini.
Mungkin dari angka-angka tersebut ada nama sanak saudara kita, teman, adik, kakak, orang tua, kakek dan nenek, atau bahkan anak sendiri. Semua sangat mungkin, semua sangat cepat dan sulit diprediksi.
Kemaren kabar duka itu datang dari sosok yang selama ini saya kenal sangat baik. Hanya berselang satu hari sejak dikabarkan beliau sedang dirawat, esoknya sudah terpampang berbagai stiker Turut Berduka Cita, Dr. Eko Harry Sutanto, Pendiri Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM).
Hanya hitungan detik, kabar duka itu muncul pula atas nama Chairilsyah (aktifitas dan sosok penggiat gerakan masyarakat sipil di Sumatera Selatan). Sehari sebelumnya Emmy Hafid, penggiat gerakan lingkungan hidup juga berpulang. Sebelumnya, sebelumnya, dan terus bertambah hitungan keranda jenazah menuju pemakaman. Seakan tak akan pernah berhenti karena waktu terus berjalan, sembari pekuburan terus bertambah.
Memang data dari Gugus Covid menyebutkan bahwa data yang sembuh dan yang meninggal berbanding jauh. 13.282 sembuh dan 555 meninggal. Tapi tetap saja, 1 saja nyawa berpulang, ia adalah bagian dari kita. Ia adalah satu dari bagian sebuah keluarga, yang kehadirannya masih sangat dibutuhkan.
Mungkin ia adalah sosok yang selama ini menjadi tulang punggung nafkah keluarganya, mungkin juga ia adalah satu-satunya anak dalam keluarga tersebut, mungkin juga ia adalah ayah atau ibu dari anak-anaknya yang masih balita. Tak ada yang bisa berbahagia atas kepergian seseorang, semua berduka, dan sekarang semua dirundung rasa cemas. Akankah giliran kita juga datang?
Benarkah Covid 19 bisa menyebabkan kematian? Benarkah virus ini adalah pembunuh? Keterangan para ahli mengatakan bahwa virus ini memang tidak menjadi pembunuh langsung, tapi serangannya mampu menyerang sistem pernafasan. Bagi tubuh dengan tingkat imunitas rendah, apalagi punya riwayat penyakit pernafasan dan diabetes, serangannya akan sangat mematikan.
Bukan virus Covid 19 yang mematikannya, tapi sakit pernafasan akan diperparah oleh virus ini. Ia mampu berkembang cepat pada pasien terkatagori tersebut. Kesimpulannya, virus ini bukan mematikan tetapi serangannya mampu menyerang kekuatan tubuh atau imunitas. Berbagai fakta mereka yang sudah meninggal, adalah bukti bahwa virus ini bukanlah hal yang main-main.
Seliweran berita yang terkatagori hoax berseliweran di media sosial. Ada yang mengatakan bahwa virus ini hanyalah bagian dari konspirasi global, ada yang berkata bahwa ini hanyalah buatan manusia saja, ada pula yang mengatakan tak usah takut dengan Corona, cukup hati-hati saja. Tak ada salahnya ke mall, resepsi pernikahan, keramaian, asalkan kita hati-hati saja. Semua berita itu berbaur jadi satu dengan raungan-raungan ambulan menuju pemakaman. Berita itu berbaur pula dengan keresahan dan kelesuan tenaga medis yang terus menerima pasian datang. Kabar-kabar tak jelas itu berhimpitan pula dengan riuh rendah di warung-warung kopi, pasar tradisional, mall-mall, dan tempat-tempat umum.
Mereka telah pergi, tak akan pernah kembali. Pemerintah sudah sedemikian gencar mengkampanyekan protokol kesehatan, menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan dan menghindari kerumunan. Tapi para korban terus bertambah, yang hari ini hidup, besok sudah pergi. Tak ada yang bisa memprediksi siapa berikutnya.
Mungkin benar ketentuan yang mengatakan bahwa ajal di tangan Tuhan, kalau sudah sampai waktunya tak ada satupun yang bisa menghalanginya, walau anda bersembunyi di dalam bumipun, malaikat maut pasti datang.
Tetapi manusia diwajibkan berusaha, wajib melakukan ikhtiar, dan terpenting sekali, Jangan Pernah Sombong. Kesombongan dipastikan akan memancing murka Sang Pencipta. Sombong dan apalagi takabur adalah sesuatu yang sangat dilarang. Apa wujud kita tidak sombong? Rendah hati dan selalu berusaha, bukan sebaliknya, mengabaikan usaha dan menganggap segalanya tidak ada.
Terlepas dari perdebatan apakah virus ini dibuat atau hasil dari konspirasi, atau masuknya perdebatan politik dan bahkan agama soal penanganan virus, yang jelas virus ini jelas ada. Tidak ada yang bisa membantah bahwa virus itu ada. Sampai saat ini, satu-satunya usaha mencegah virus berkembang, adalah hilangkan sikap sombong dan hilangkan sikap menganggap itu hal yang sepele. Jika itu masih dikembangkan, virus tak akan berhenti, dan para sahabat, kawan, saudara, dan bahkan kita sendiri, besar kemungkinan akan segera pergi pula.
Papan ucapan turut berduka cita berjejer rapi, di medsos berseliweran tak ada henti. Anak-anak menangis kehilangan orang tuanya, istri sesenggukan kehilangan suami, begitupun sebaliknya. Ya mereka telah pergi, semua sedih. [***]
Oleh: Dr. Yenrizal M.Si
Dosen FISIP UIN Raden Fatah