Uncategorized

Mudik & Pulang Kampung, Sebuah Ideologi

Foto : istimewa

SELAMA ini, lema  “mudik” dan “pulang kampung” tak pernah menjadi kontroversi. Ramai dibahas bersamaan di dunia nyata maupun maya. Di media massa maupun media sosial. Paling-paling lema ‘mudik’ yang setiap tahun ramai menjelang lebaran. Karenanya, kemudian penggunaan lema ini diikuti turunannya, pemudik, arus mudik, dan antonimnya arus balik. Sementara, lema “pulang kampung’ sesekali saja digunakan.

Ketika seorang Kepala Negara, Presiden Jokowi membedakan dua lema itu dalam sebuah wawancara Eksklusif bersama Najwa Sihab, sontak dua lema itu menjadi buah bibir. Sampai hari ini, linimasa di daring masih diwarnai pembicaraan mengenai dua lema itu.    Dari masyarakat awam sampai ahli bahasa pun sudah mengurainya.

Inilah kemudian yang mendorong saya mencoba menafsirkanya dari kacamata ilmu bahasa. Bahwa, ada ideologi di perbedaan mudik vs pulang kampung.

Mudik dan pulang kampung itu, termasuk sinonim. Sinonim itu bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk bahasa lain. Menurut beberapa ahli, tidak ada sinonim itu yang sama mutlak seratus persen. Artinya, ada unsur yang membedakan masing-masing bentuk bahasa yang bersinonim.

Makanya wajar dan berterima kalau antara mudik dan pulang kampung itupun sama tetapi juga berbeda. Bisa dilihat persamaannya dan bisa dilihat perbedaannya.

Contoh lain, kata besar, bersinonim dengan akbar, raya, agung. Atau ibu, bersinonim dengan bunda, umi, mami.

Meskipun bersinonim, kata agung pada mesjid agung tidak bisa digantikan dengan mesjid besar. Atau jalan raya, tak bisa digantikan dengan jalan agung atau Alquran akbar tak bisa digantikan dengan Alquran agung. Pun, pada kata hari raya, tidak bisa diganti menjadi hari besar atau hari agung.

Begitupun pada kata ibu pertiwi tidak berterima digantikan bunda pertiwi, atau ibu negara tidak bisa digantikan menjadi mami negara.

Contoh-contoh itu merupakan gambaran bahwa dalam sinonim yang merupakan bentuk bahasa yang mirip atau sma dengan bentuk lain, tidak serta merta  diartikan sama mutlak. Karena unsur yang berbeda, walaupun sedikit/kecil  membuatnya tidak bisa saling menggantikan di semua bentuk.

Mudik dan pulang kampung itu samo tujuannyo, ke kampung. Tapi, beda waktunya. Mudik, menjelang lebaran, pulang kampung bisa kapan saja…. tidak seratus persen sama.

Nah, kembali ke pernyataan Pak Jokowi, sampai ke soal perbedaan antara mudik dan pulang kampung, itu bisa diterima. Tidak keliru beliau menyampaikan itu.

Apalagi, di bagian lain dijelaskan juga maksud dan pengertian dari mudik dan pulang kampung tersebut. Misalnya, “Bagaimana mereka bisa bertahan di kota dengan tinggal di kamar kos berukuran 3×3  atau 3×4  ditinggali  8 sampai 9 orang. Berbahaya mana, di kondisi demikian,  ditambah tidak ada pekerjaan atau usaha lagi, dibanding mereka pulang kampung.”

“Kan di kampung mereka pun, sudah siap karantina sebelum mereka diterima di desanya. Desa-desa, sekarang sudah menerapkan dan menyiapkan itu,” tambah Presiden Jokowi.

Sementara itu, pendapat dan komentar terhadap pernyataan Presiden tersebut, sebagian besar membantah dengan menyebutkan sumber dari kamus. Baik itu KBBI maupun kamus-kamus lainnya.

Di sinilah, persoalan muncul. Sehingga timbul perbedaan persepsi. Dalam komunikasi kalau persepsi antara penyampai dan penerima pesan tidak sama, yang terjadi adalah miskomunikasi.  Memaknai pesan, pemahaman terhadap unsur-unsur  kata yang disampaikan tidak cukup bersandar kepada makna leksilal/leksikon  (makna sesuai kamus). Dalam teori bahasa, yang berhubungan dengan makna itu variatif, ada makna konotasi, makna denotasi, makna struktural, makna gramatikal, dan makna lekiskal.

Kata mati, misalnya, bisa dimaknai konotasi dan leksikal.

Secara leksikal berterima bentuk kalimat-kalimat ini:

  • Pohon jeruk itu sudah mati
  • Batu adalah benda mati
  • Sumur itu sudah mati.
  • Listrik di rumah kami sudah seminggu mati.
  • Pikiranya sudah mati karenanya ia tidak bisa berbuat aap-apa lagi.
  • Jam tangannya mati.
  • Setelah ada swalayan, pasar ini mati.

Tetapi secara konotasi, nilai rasanya kurang pas kalau digunakan untuk manusia. Banyak pilihan untuk menyebut mati bagi manusia. Bisa tewas, meninggal dunia, mengembuskan napas terakhir, dipanggila yang kuasa, kembali ke tempat yang abadi, wafat, mangkat.

Atau makna  struktural. Kata pukul, nomina, mendapat awalana me- menjadi memukul (kata kerja), awalan pe (pemukul) kata benda, artinya bisa alat untuk memukul bisa juga orang yang memukul. Bergantung konteks kalimatnya..

Itu menunjukkan bahwa, memahami pesan, tidak semata-ata mengacu pada makna leksikal. Sesuai dengan makna di kamus (makna leksikal). Apalagi kalau pesan itu berbentuk wacana. Suatu bentuk yang memiliki tujuan dan maksud serta genre tertentu. Paling tidak bisa di kaji dengan analisis wacana kritis (AWK). Yang tahapannya, bisa dengan penetapan konteks (Speaking). Setting, partisipasn, end, act, key, instrumen, dan genre. Dengan AWK ini kita bisa memahami ideologi apa yang termuat dalam sebuah wacana. Ini biasanya berhubungan dengan kekuasaan. Bahasa memang bisa digunakan  oleh penguasa untuk menyampaikan pesan-pesannya.

Lalu, menurut  Fairclough, AWK bisa dilakkan melalui analisis teks, produksi teks, dan sosial budaya. Tetapi, melalui analisis teks sederhana pun, bisa diterapkan. Alat-alat yang digunakan, sinonim, modalitas (ajakan, larangan, mempertentangkan), metafora, dll.

Karenanya, membedakan mudik dan pulang kampung, secara teori bahasa bisa diterima. Tetapi, konteksnya kurang pas diungkapkan saat gencar-gencarnya mengurangi penyebaran Covid19. Itulah penguasa. Nah, memahami kalimat/ wacana tidak cukup dengan pemaknaan harfiah. Ada AWK, supaya kita tahu, apa sebenarnya  dibalik pernyataan itu. Pak Jokowi bersembunyi di penggunaaan sinonim untuk menyampaikan ideologinyo. Ideologi menurut pemerintah, mudik itu yang setelah 24 April, sebelumnyo disebut pulang kampung.

Makanya, di bagian lain dijelaskan oleh Pak Jokowi, di Jakarta tinggal di tempat kos ukuran 3×4 sebanyak 8-9  orang, pekerjaan dan usaha tak ada lagi, bahaya mana, di Jakarta atau di kampung halamannya. Kan di kampung halaman, juga sudah ada karantina sebelum diterima. Ini sekaligus menjawab pertanyaan Najwa Sihab yang menyatakan saat ini sudah ada lebih 900.000 orang yang curi start mudik (Najwa menyebut ini mudik).

Jadi, memang ada unsur politik/ideologi waktu Pak Jokowi membedakan mudik dan pulang kampung.
Selain itu. Penguasa juga lupa, selama ini sudah ada tagar #dirumahsaja artinyo kalau konsisten, tidak ada mudik dan tidak ada pulang kampung. Tapi, itulah penguasa…. Boleh, tapi harus karantina dulu 14 hari.

Sedikitnya 900.000 pemudik yang disebut Najwa mengutip data dari Kementerian Perhubungan, menurut Pak Jokowi, itu pulang kampung. Lalu Pak Jokowi pun menegaskan, beda antara pulang kampung dan mudik.

Karena kalau mudik dan pulang kampung merupakan hal yang sama, berarti dengan telah pulangnya pemudik sebelum tanggal 24 April 2020, menunjukkan pemerintah telah kecolongan. Artinya, membenarkan pernyataan Najwa yang menyebut pemudik telah curi start.

Maka, dipilihlah alat untuk menyampaikan ideologi itu, sinonim. Sangat benar, kalau mudik dan pulang kampung itu  berbeda. Karena dua kata itu bersinonim.  Bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk bahasa lain. Mirip, berarti tidak sama persis. Padahal, inti persoalan adalah bagaimana memutus penyebaran covid19.

Sebenarnya ini menjadi kemudian menjadi  tak sinkron,  dengan ideologi lainnya pada waktu bersamaan, berupa ajakan. Ajakan di rumah saja, ajakan bekerja  dari rumah. #dirumahsaja tapi ratusan ribu warga jakarta sudah pulang kampung. #bekerjadarirumah tapi ternyata warga Jakarta yang pulang kampung,  tidak ada pekerjaan lagi.  Karena di–PHK atau usahanya tidak jalan lagi. Mau mudik atau pulang kampung, itu adalah pergeseran manusia yang berpotensi memperluas penyebaran. Sesuai Permeskes 9 tahun 2020 pasal 1,  PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid19 sedemikain rupa  untuk mencegah kemungkinan penyebaran Covid19.

Persoalan menjadi semakin meluas, manakala tanggal 24 April 2020 pemerintah menetapkan larangan (bagian dari ideologi juga). Menetapkan tidak boleh mudik. Bagi yang pulang ke kampung halamannya menjelang lebaran. Lalu bagaimana dengan mereka yang mau pergi ke kampung halamannya, dengan alasaan tidak ada usaha lagi di Jakarta atau sudah kena PHK. Kan, pemerintah sendiri yang membedakan antara pemudik dan mereka yang pulang kampung.

Idealnya, kalau konsisten, ketika start 24 April 2020 semua akses darat, laut dan udara ditutup, ada standar operasioan prosedur (SOP) yang jelas dan tegas. Sehingga, yang mudik memang tidak bisa keluar dari Jakarta atau tempat lainnya. Tapi, yang pulang kampung tetap boleh. Selayaknya ada pendataan, misal dengan melihat KTP atau KK-nya. Kalau KTP nya masih KTP kampung halaman, berarti mereka boleh pulang kampung meskipun sudah memasuki masa mudik lebaran.

Atau, tidak usah ditegaskan perbedaan antara mudik dan  pulang kampung. Tanpa ditegaskan pun, kedua kata itu memang berbeda. Hanya saja, ketika ditegaskan bahkan oleh kepala negara, persoalan pun menjadi bias.

Bahasa memang bisa dijadikan alat kekuasaan.

Palembang, 25 April 2020

Muhamad nasir,

Kandidat Doktor Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Jakarta

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com