BEBERAPA waktu lalu, pembahasan mengenai Rancangan Undang Undang (RUU) Ketahanan Keluarga tengah menjadi kontroversi, baik di kalangan DPR maupun di masyarakat. Draft RUU Ketahanan Keluarga yang terdiri dari 15 Bab dan 146 Pasal merupakan usulan dari beberapa anggota dewan yang terdiri dari Fraksi Partai Keadilan Sosial (F-PKS), Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (F-Partai Gerindra), Fraksi Partai Golongan Karya (F-Partai Golkar) dan Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.
Substansi RUU Ketahanan Keluarga ini dinilai terlalu masuk ke ranah privat dan menuai banyak kritik, khususnya dari masyarakat. Terdapat beberapa pasal-pasal yang dianggap terlalu mengatur ke ranah privat dan mendapat sorotan dari masyarakat, seperti Pasal 24 yang Mengatur Perasaan, Pasal 25 Istri Wajib Urus Rumah Tangga, Pasal 26 mengatur Penggunaan Sperma dan Ovum, Pasal 33 mengenai Pemisahan Kamar Orang Tua dan Anak, Pasal 31 Larangan Donor Sperma dan Sel Telur Pasal 86 dan 87 tentang Wajib Lapor Penyimpangan Seksual, Pasal 85 Pelarangan Aktivitas Seks Menyimpang, dan pasal lainnya.
RUU Ketahanan Keluarga memang memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya memiliki tujuan agar dapat memperkokoh keluarga dan membentuk keluarga yang berkualitas sebagai pondasi negara yang kuat dan berkualitas. Negara berpendapat bahwa negara yang kuat lahir dari keluarga yang kuat (Strong Families make Strong Nation) karena keluarga merupakan unit sosial terkecil masyarakat yang harus dibina dan dikembangkan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita luhur dan jati diri bangsa. Sisi positif lainnya, dalam Pasal 29 mengenai Hak Cuti Melahirkan dan Menyusui 6 Bulan dijelaskan bahwa ayat (1), RUU ini memberi jatah cuti hamil bagi PNS perempuan selama enam bulan tanpa kehilangan haknya atas upah atau gaji, dan posisi pekerjaan. Tak hanya itu, PNS perempuan juga memiliki kesempatan untuk menyusui, menyiapkan dan menyimpan air susu ibu perah (ASIP) selama waktu kerja bahkan fasilitas khusus menyusui dan rumah pengasuh anak yang aman dan nyaman juga disediakan di gedung tempat bekerja. Selain itu juga dalam Pasal 29 ayat (2), RUU ini juga menjamin hak laki-laki pegawai instansi atau badan usaha pemerintah untuk mendapat cuti saat istrinya melahirkan, istri atau anaknya sakit atau meninggal.
Hal ini menegaskan bahwa perempuan diberi ruang khusus agar dapat tetap bekerja tanpa harus meninggalkan kodratinya sebagai seorang ibu, bahkan RUU ini juga membuka peluang bagi ayah untuk dapat terlibat dalam memberikan dukungan bagi ibu yang baru melahirkan. Sisi positif lainnya, bagi Sodik Mudjahid (F-Partai Gerindra), RUU ini memberikan ruang penyelamatan dari penyimpangan seksual di masyarakat karena penyimpangan seksual dianggap bukan lagi berada pada ranah privasi sehingga aktivitasnya harus diatur dan dilaporkan – seperti sadisme, masokisme, homoseksual (gay dan lesbian), dan incest – karena telah dinilai menyimpang dari nilai dan norma masyarakat. Sodik beranggapan bahwa keluarga adalah lembaga dasar dimana semua etika moral perilaku dimulai dari keluarga sehingga keluarga harus dikuatkan dan terlindungi dari hal yang demikian agar dapat menghasilkan keluarga yang berkualitas.
Peran Suami
Namun, tidak semua orang memiliki kebutuhan dan perasaan yang sama. Kontroversi RUU Ketahanan Keluarga ini dirasakan cukup meresahkan sehingga pembahasan mengenai RUU Ketahanan Keluarga ini dirasa lebih banyak mengandung hal yang tidak berfaedah karena terlalu memasuki ranah privat warga negara, merugikan publik, melanggar HAM, dan diskriminatif. Pada pasal 25 menyebutkan bahwa istri memiliki tiga kewajiban, yaitu mengatur urusan rumah tangga, menjaga keutuhan keluarga, dan memperlakukan suami dan anak secara baik sesuai aturan, norma, dan etika. Hal ini memarjinalkan kaum perempuan karena dalam membentuk sebuah keluarga, tidak hanya membutuhkan peran istri/ibu saja dalam menjaga keutuhan keluarga tetapi juga diperlukan peran suami/ayah.
Pasal ini juga menafikkan emansipasi perempuan yang notabene nya sudah memiliki kebebasan dalam berkarir. Jika RUU ini disahkan maka ranah privat perempuan kembali ke budaya patriarki dimana perempuan hanya diwajibkan mengurus rumah tangga tanpa harus dapat mengembangan potensi dan karir yang dimilikinya dan perempuan pun menjadi terkurung kembali.
Pasal selanjutnya yang menuai kritikan adalah Pasal 31 mengenai Larangan Jual Beli Sperma, baik menjual, membeli, menerima maupun mendonor sperma dengan pidana dalam pasal 139 dan 140. Ada juga pasal 32 mengenai Pelarangan Surogasi (Sewa Rahim) sebagai upaya memperoleh keturunan yang pidananya dicantumkan dalam pasal 141 dan 142. Baik pasal 31 maupun 32 dalam RUU Ketahanan Keluarga ini terlalu masuk ke ranah pribadi, bukankah salah satu fungsi laten pranata keluarga adalah menghasilkan keturunan sebagaimana menurut filsuf Michel Foucalt bahwa pernikahan adalah lembaga yang mengatur fungsi reproduksi di luar relasi seksual. Bahkan bagi setiap pasangan pasti memiliki keinginan untuk mempunyai keturunan sehingga usaha apapun akan dilakukan oleh mereka. Dan beberapa pasal kontroversi lainnya yang juga memiliki sisi negatif.
RUU Ketahanan Keluarga dianggap sebagai intervensi negara yang kebablasan. RUU ini mampu mengancam kiprah perempuan, diskriminatif, dan terlalu mengintervensi kehidupan keluarga di Indonesia. Alangkah baiknya jika substansi dalam RUU Ketahanan Keluarga ini lebih baik dimasukkan dalam materi di dunia pendidikan dibandingkan harus teregulasikan melalui sebuah aturan yang legal. Diharapkan agar pemerintah dapat lebih fokus kepada kondisi dan isu yang tak kunjung selesai di Indonesia, seperti isu HAM, korupsi, kesejahteraan masyarakat dan lain sebagainya yang dirasa masih butuh banyak perhatian dibandingkan harus masuk ke ranah pribadi warga negaranya.[***]
Penulis : Mariatul Qibtiyah, S.Sos, MA.Si
Dosen Ilmu Politik FISIP UIN RAden Fatah Palembang