Kembali hujan mengguyur
Biru langit mendaki kelabu
Gundah hati gegana* menggempur
Petir dan angin saling beradu
Apatah pertanda alam
Rintik air memutihkan pandangan
Deras dan semakin lebat mengelam
Tak menyisakan gerimis dan rintik di taman
Jam dinding tua lima kali berdenting
Sedikit pun reda belum terbaca
Air merambah tak ubah sendu seruling
Naik merendam hingga meja kaca
Tiada was-was maupun cemas
Untung tak seperti resep dokter puskesmas
Tiga kali sehari menemani makan
Genangan air hantu menakutkan
Banjir tamu tak diundang warga
Kilas balik cerita lalu
Merendam timbunan muasal rawa
Selalu datang meski tak ditunggu
Kerap dibantah kacap** digelari
Hanya tergenang kilah pemegang tongkat
Wajar terjadi di areal reklamasi
Objek swafoto mereka berpangkat
Salah sesiapa ini semua
tak ada tangan teracung
Karena tak paham rawa
Atau tak mengerti juntrung***
Biar tak pesta ngoyok**** lagi
Kambang senantiasa ditambah
Perda rawa harus lebih bergigi
Musi bukanlah bak sampah
sungai buka Rakus gedung kuliti rawa kini
Pembangunan galati***** resapan kota
Kembang harus selalu bersemi
Terpatri di hati bukan slogan semata
Normalisasi jadi alternatif
Menuju kota metropolis emas
Naturalisasi sungai sebisanya masif
Banjir di bekas rawa pun niscaya tuntas
Palembang, Juni 2019
*yang menimbulkan suara keras atau ledakan (halilintar, dinamit, granat, dsbnya) (KBBI)
**genangan air (bahasa Palembang)
***ujung pangkalnya (KBBI)
****berjalan di genangan air (bahasa Palembang)
*****cacati (KBBI)
Karya Muhamad Nasir