SASTRAWAN sekaligus penyair senior Acep Zamzam Noor dalam sebuab seminar Sastra di Bandung mengatakan digitalisasi tak mengubah aspek fundamental sastra, terutama proses kreatif. Kendati untuk keperluan unggahan media sosial, penyair tetap perlu khusyuk dan mempunyai persiapan beserta keilmuan matang saat membuat karya.
Dari statmen itu ada kegundahan dari seorang Asep bahwa era hari ini, dimana semua orang bisa membuat karya sastra namun minim kualitas, karena digitalisasi sastra sama sekali tidak mengubah aspek fundamental sastra, karena minim ilmu dan tidak khusyuk saat mempublikasikan karya sastranya di media sosial.
Namun, Asep mengakui jika proses digitalisasi membantu karyanya untuk dibaca lebih luas, maka dia membiarkan pengguna media sosial mengutip utuh, atau bagian tertentu atas karya puisinya.
“Pengguna media sosial yang mengutip puisi-puisi karya secara serampangan memang merupakan persoalan. Kendati demikian, ibarat dua sisi mata pisau, pengguna media sosial itu membuat sebaran karyanya semakin luas,”katanya.
Disisi lain, kelahiran digitalisasi sastra atau sastra digital merupakan angin segar bagi para penulis pemula. Kemuncul Instagram, Facebook, website hingga blog menjadi sarana yang murah dan mudah bagi penulis untuk membagikan karya. Kehadiran media-media sosial itu memiliki implikasi yang cukup baik terhadap dunia sastra. Media-media itu membuat karya sastra lebih membumi dan tidak lagi terasing. Dengan kehadiran media-media itu, karya sastra makin mudah diakses oleh setiap orang.
Digitalisasi Sastra
Dengan fenomena ini jelas bahwa posisi sastra makin cair dan terbuka karena bisa menjangkau siapa saja selagi masih ada paketan. Lantas apa yang bisa kita ambil dari fenomena ini, ibarat virus corona, dia menyebarkan benih-benih cinta sastra kepada masyarakat yang lebih luas dengan segala pemahaman sastra yang mereka miliki.
Jujur, dulu orang tidak terlalu suka sastra, karena dianggap membaca puisi hanya membuang waktu, sekarang coba lihat baju-baju kaos milinial dipenuhi kutipan-kutipan teks milik penyari top, seperti WS Rendra, Sapardi dan Chairl.. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana adalah kutipan favorit di undangan pernikahaan anak-anak muda. Potongan itu bagian kecil dari kata-kapat puisi milik Sapardi Djoko Damano (SDD).
Nah, tidak berhenti disana, karya-karya yang dipublikasikan di media sosial lebih mendekatkan penulis dengan pembaca karena disana ada kolom komentar dan sebagainya. Poinnya adalah dengan kelahiran sastra digital, akses yang terbatas itu bisa terpangkas. Dan memublikasikan karya sastra memang terbilang sangat mudah pada era teknologi ini. Tak bisa dimungkiri, kehadiran fenomena sastra digital membuat publikasi karya sastra begitu mudah. Sebelum ada internet, para penulis begitu sulit memublikasikan karya.
Era digitla juga memberikan data yang cukup signifikan bahwa Tanda pagar (tagar) atas kata puisi di Instagram mencapai sekitar 2,1 juta. Jumlah tagar nama penyair Chairil Anwar mencapai sekitar 30,8 ribu. Tagar nama sastrawan Sapardi DJoko Damono mencapai 44,4 ribu. Tagar mengenai karya-karya puisi WS Rendra di Instagram juga banyak, mencapai sekitar 24,7 ribu. (pikiran rakyat, 2019)
Ada perdebatan dikalangan akademisi sastra bahwa kemudahan yang ada dalam publikasikan itu tidak sebanding dengan kualitas, sebab pengarang tanpa ada penyaringan terlebih dahulu langsung mempublikasikan, sehingga istilah Asep tadi bahwa minim ilmu dan tak khuyusu dalam publikasi benar adanya, namun bukan berarti karya sastra digital tidak ada yang berkualitas. Mengatasi persoalan ini tentu dengan cara meningkat kualitas dari sastra digital agar dia bisa dikategorikan menjadi sesuatu yang memang layak untuk dibaca bukan hanya sekedar publikasi semata.
Poin lain kemudahan itu adalah interaksi dalam bentuk kolom komentar, sepengamatan kami misalnya, ada di dalam komentar sebuah blog yang menyatakan puisi si penyair A tidak cermat karena banyak typo (kesalahan ketik), tentu komentar ini karena minimnya ilmu yang dimiliki karena dalam puisi bahasa simbolik banyak mewarnai bahasa puisi, seperti tanda seru yang dibuah lebih dari tiga (karena berdasar aturan penulisan minimal !!!) tetapi dalam puisi ada lebih dari itu, hal itu jelas memiliki arti, sama ketika pilihan kata (diksi), luka ku bagaikan diiiris sembilu (bukan pisau (sembilu adalah kulit atau buluh yang tajam seperti pisau).
Akhirnya, mau tidak mau, suka atau tidak suka, maka era digitalisasi sudah harus dilalui, dan kita berharap bahwa proses ini dapat menguntungan semua pihak, terutam dalam kehidupan bersastra. Dari akademik, kami pun juga mempunyai tanggunga jawab untuk mendorong terus dikembangkannya karya-karya sasta melalui media sosial. Kami berpikir bahwa media soial adalah candradimuka untuk menemukan penyair, pengarang dan penulis sastra yang hebat dan bermanfaat. Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang memiliki manfaat baik dari sisi keindahan dan fungsi (dulce and utile).[****]
Oleh Dr. Arif Ardiansyah
Dosen Sastra Pascasarjana UPGRI Palembang