TIDAK banyak orang yang menyadari bahwa “ongkos demokrasi” itu mahal. Istilah ongkos di sini harap dipahami secara apa adanya, yaitu sebagai biaya yang bernilai ekonomis. Negara dengan lebih dari 250 juta penduduknya ini, oleh beberapa kalangan, telah diklaim sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Kendati demikian, pemilihan langsung yang harus digelar untuk memilih pejabat publik mulai dari pasangan bupati/walikota, gubernur, presiden dan dewan perwakilan rakyat (DPR) sangat mencengangkan. Sebagian besar dari biaya ini harus ditanggung secara personal oleh para calon pasangan pejabat ini.
Konon, untuk satu musim pemilihan pejabat setingkat bupati di sebuah daerah di Jawa, dana sebesar empat miliar rupiah adalah estimasi terendah untuk digelontorkan, terhitung mulai dari biaya resmi, setengah resmi, sampai tidak resmi. Belum lagi jika pasangan ini harus menyewa konsultan politik yang mulai menjadi fenomena tersendiri di negeri ini. Biaya dipastikan akan makin meningkat seandainya urusan hasil pemilihan ini lalu mengalir menjadi sengketa di Mahkamah Konstitusi.
Mengingat ongkos yang demikian mahal ini harus ditanggung oleh masing-masing calon pejabat tadi, tidak mengherankan jika mereka secara demonstratif berusaha memikat hati para pemilih sebanyak-banyak. At all cost! Janji-janji yang menyenangkan hati rakyat dengan mudah keluar dari mulut mereka, terkadang tanpa rasionalitas. Namun memang, rakyat lama-lama cerdas juga. Mereka tidak demikian saja percaya dengan Janji yang sekadar janji. Beberapa di antara mereka mencoba mencari pegangan, yang antara lain dilakukan dengan meminta calon menandatangani dokumen yang populer disebut “kontrak politik”.Persoalannya adalah apakah “kontrak politik” itu merupakan kontrak dalam kaca mata hukum? Apakah kontrak semacam ini sah dan dapat dituntut sebagai wanprestasi apabila di kemudian hari dilanggar?
Harap dicatat bahwa “kontrak politik” menjelang pemilihan tentu bukan kontrak perdata. Terminologi “kontrak” di sini hanya dipakai sebagai analogi semata karena bukan kontrak dalam arti sebenarnya.
Kontrak hasil analogi ini diterapkan untuk lapangan hukum publik. Sekalipun demikian, bukan berarti tidak ada kontrak dalam hukum publik. Di dalam ranah hukum publik pun dimungkinkan dilakukan kontrak sebagaimana misalnya terjadi pada area hukum internasional. Perjanjian-perjanjian internasional, semacam traktat, konvensi, atau pakta yang dibuat oleh institusi publik sebagai subjek hukum internasional, adalah suatu kontrak dalam area hukum publik.
Hanya saja, tidak tepat untuk menyebut janji seorang calon pejabat publik menjelang pemilihan sebagai suatu bentuk kontrak, baik dalam hukum perdata maupun publik.
Money politic dalam Bahasa Indonesia adalah suap, arti suap dalam buku kamus besar Bahasa Indonesia adalah uang sogok. Politik uang adalah pertukaran uang dengan posisi/ kebijakan/ keputusan politik yang mengatasnamakan kepentingan rakyat tetapi sesungguhnya demi kepentingan pribadi/ kelompok/ partai.
Politik uang adalah suatu upaya memengaruhi orang lain (masyarakat) dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual-beli suara pada proses politik dan kekuasaan serta tindakan membagi-bagikan uang, baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih. Politik Uang (Money Politic) dapat diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan politik uang sebagai tindakan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan.
Tindakan itu bisa terjadi dalam jangkauan (range) yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan umum suatu negara. Maka politik uang adalah semua tindakan yang disengaja oleh seseorang atau kelompok dengan memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu atau tidak menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon tertentu atau dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak tertentu. Dengan demikian money politic adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya denga cara tertentu pada saat pemilihan umum.
Pemberian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang umumnya dilakukan untuk menarik simpati para pemilih dalam menentukan hak suaranya tiap pemilihan umum.[**]
Penulis : Budina Sofiyan
Politisi Muda Partai Demokrat