Pendidikan

“Helm Mirip Galon, Tapi Bangga!”

ist

HARI masih muda, tapi semangat 36 anak muda Musi Banyuasin udah mendidih kayak minyak di kilang. Mereka datang jauh-jauh dari Muba, bukan buat jalan-jalan, apalagi cari jodoh. Mereka datang buat ngelas masa depan di PPSDM Migas Cepu.

Sore itu halaman asrama rame. Ada yang sibuk nenteng koper, ada yang sibuk nyari colokan, ada juga yang sibuk nyari sinyal biar bisa upload story.  “Bismillah, jadi orang migas dulu, gengs”.

Helm pelatihan mereka kinclong, tapi bentuknya… yah, kalau dari jauh, mirip galon Aqua 19 liter.
Ujang, peserta paling rame, nyeletuk.

Weh.…, ini helm atau dispenser portable, Bang?”

Beni di sebelahnya ngakak, “Diamlah, Jang. Biar mirip galon, yang penting isinya semangat, bukan air bening!”.

Upacara pembukaan berlangsung khidmat (walau beberapa masih ngantuk habis perjalanan panjang). Di depan berdiri Herryandi Sinulingga, AP, Kepala Disnakertrans Muba. Dengan gaya berwibawa tapi senyum hangat, ia berkata lantang

“Anak-anakku, pelatihan ini gratis, dibayar dari duit rakyat Muba. Jadi jangan kalian main-main. Yang kalian bawa bukan cuma nama diri, tapi nama daerah, nama keluarga, dan – “

Belum sempat lanjut, dari belakang terdengar suara pelan tapi jelas. “Nama mantan gak usah, Pak?”

Seluruh ruangan langsung meledak tawa.
Herryandi cuma geleng kepala sambil senyum,

“Itu kalau bisa, ditinggal di Muba aja, Nak, jangan dibawa ke Cepu, nanti ganggu fokus”.

Suasana jadi cair, tapi pesan tetap nyampe, jadi pahlawan buat diri sendiri dan keluarga.

Peserta dibagi dua jurusan, Operator Angkat Angkut & Ikat Beban dan Operator Lantai Perawatan Sumur

Ujang dapet jurusan pertama. Begitu denger “ikat beban”, dia langsung panik,

Lah, ini jurusan latihan jadi tukang ngiket drum?”

Instruktur senyum tipis “Tenang, Nak… yang kamu ikat itu bukan drum, tapi masa depanmu”.

Sementara Beni masuk jurusan perawatan sumur. Hari pertama, instruktur nanya. “Siapa yang tahu cara merawat sumur?”

Beni angkat tangan pede. “Saya, Pak! Di kampung sering nyiram sumur biar gak kering”.
Instruktur tepuk jidat, “Nak, itu sumur belakang rumah. Ini sumur migas, bukan sumur mandi!”.

Malamnya, suasana asrama kayak basecamp prajurit muda.
Ujang dan Beni duduk di lantai, nyeruput kopi sachetan sambil ngelamun.

“Ben, pikiranku campur aduk. Tadi di lapangan lihat alat gede-gede. Takut salah pencet, nanti minyaknya keluar kayak soda”.

Beni nyeletuk santai. “Tenang, Jang, yang penting jangan panik. Kalau panik, kau bukan operator, tapi kandidat viral di TikTok”.

Mereka berdua ngakak.
Lalu Ujang mendadak serius. “Tapi jujur, Ben. Aku bangga, kau tau? Dulu aku cuma anak sawah, sekarang belajar soal migas. Ini mimpi yang dulu cuma kupikir buat orang-orang Jakarta”.

Beni manggut,
“Iya, Jang, kadang hidup tuh kayak sumur minyak, makin dalam kau gali, makin besar hasilnya”.

Hari kesepuluh, mereka udah terbiasa pakai sepatu safety dan baju kerja tebal yang bikin keringetan kayak ayam bakar.
Instruktur teriak dari jauh.

“Keselamatan nomor satu! Fokus!”

Tapi Ujang malah nyeletuk. “Kalau di Muba, keselamatan nomor satu itu ngerem sebelum polisi tidur, Pak!”

Satu tim langsung ngakak lagi. Tapi di balik lawakannya, Ujang ternyata cepat nangkep. Dalam waktu singkat, dia bisa operasikan alat berat dengan lincah.
Instruktur sampai bilang. “Hebat, Nak. kau punya bakat jadi mandor”.

Ujang nyengir,
“Aamiin, Pak, tapi jangan besar mandornya doang, gajinya juga, ya”.

Waktu berlalu kayak kilatan obor gas.
Akhirnya tibalah hari penutupan. Semua peserta berdiri gagah pakai helm galon kebanggaan.
Herryandi datang lagi, kali ini dengan wajah puas.

“Selamat! Kalian sudah menuntaskan 200 jam pelatihan. Ini bukan akhir, tapi awal dari perjalanan kalian sebagai SDM unggul Muba!”

Semua tepuk tangan. Ujang menatap sertifikatnya dengan bangga,

“Ben, lihat nih. Kertasnya kecil, tapi nilainya lebih berat dari drum migas”.

Beni nyengir,
“Yang penting, helm mirip galon kita akhirnya punya arti”.

Semua ketawa, beberapa matanya berkaca-kaca. Karena mereka tahu, mereka bukan lagi penonton hidup, tapi pemain utama masa depan.

Oleh karena itu, memang kalau disadari, hidup itu gak selalu mulus kayak pipa migas. Kadang tersumbat, kadang bocor, tapi kalau sabar dan rajin belajar, tekanan hidup itu justru yang bakal ngeluarin “minyak emas” dari dirimu sendiri.

36 anak muda Muba pulang ke kampung dengan kepala tegak dan semangat membara. Helmnya mungkin mirip galon, tapi semangatnya mirip obor minyak menyala, gak padam, dan siap menerangi masa depan.

Seperti pepatah orang Muba bilang. “Minyak bisa habis, tapi semangat anak muda jangan pernah padam”.[***]

Catatan redaksi: nama dan percakapan tokoh bersifat fiktif untuk memperkaya narasi. Seluruh data kegiatan dan pejabat tetap berdasarkan informasi resmi Disnakertrans Muba.

 

Terpopuler

To Top