Pendidikan

Si Rigger & Lantai Perawatan Sumur

ist

ADA 36 pemuda dan pemudi berdiri gagah dengan ransel besar di punggung, mata berbinar penuh semangat, tapi hati juga deg-degan. Mereka bukan mau piknik atau jalan-jalan ke mal, tapi berangkat ke Cepu untuk belajar migas jadi juru ikat alias rigger dan operator lantai perawatan sumur. Jika seandainya, dari kampung yang tenang seperti sawah berlapis embun, mereka kini siap melangkah ke dunia kerja yang sibuk dan menantang, seperti ikan lele yang tiba-tiba harus berenang di laut lepas.

Bupati H. M. Toha Tohet tersenyum ketika melihat mereka. “Program Keluarga Maju ini bukan sekadar jargon, tapi cara kita menyiapkan pemuda Musi Banyuasin untuk siap kerja. Kalau sekarang kalian belajar, nanti kalian pulang bawa “sayur ekonominya” buat kampung sendiri”.

Seorang peserta bernama Dedi mengangkat tangan, penasaran. “Pak, serius nih, kita bakal bisa langsung kerja setelah pelatihan?”.

“Betul,” jawab Bupati. “Pendidikan vokasi itu seperti pepatah lama “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”. Latihan sekarang mungkin berat, tapi hasilnya akan manis”.

Wakil Bupati Kyai Abdur Rohman Husen menambahkan dengan nada jenaka, “Kalau hanya belajar teori doang, nanti pulang kalian cuma bisa bilang, “Aku tahu, tapi nggak bisa” .Nah, di sini kalian praktek 60%, teori 40%. Jadi nanti nggak cuma tahu, tapi bisa langsung action!”.

Di sisi lain, Herryandi Sinulingga, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, memanggil para peserta untuk membagi jurusan. “Oke, 18 orang akan jadi rigger, kalian tugasnya mengangkat, mengikat, dan menjaga keseimbangan alat berat. 18 lainnya jadi operator lantai perawatan sumur-pastikan sumur migas tetap sehat, jangan sampai kering atau sakit!”.

Bayu, seorang pemuda dengan tubuh mungil tapi semangat besar, menggerutu pelan, “Waduh, Pak… besinya berat banget”.

Seorang teman sambil nyengir menjawab, “Kalau mau ringan, angkat hati ibu kamu yang berat karena hutang”. Gelak tawa pecah, dan suasana sedikit mencair.

Selama perjalanan ke Cepu, mereka saling bercakap-cakap, berbagi canda, tapi juga saling memberi semangat. “Nanti kita pulang nggak cuma bisa cerita soal sumur, tapi juga punya skill yang dicari industri,” kata Dedi sambil menatap ranselnya yang hampir seberat badan.

“Betul, bro…. lagian, siapa tahu bisa buka lapangan kerja sendiri, kan? Bisa jadi bos, bukan cuma karyawan,” sahut Bayu sambil tertawa kecil.

Di tempat pelatihan, mereka belajar mengikat tali, mengoperasikan alat berat, dan memahami mekanisme sumur. Latihan fisik cukup keras, tapi guru-gurunya selalu menyelipkan humor agar tetap semangat.

Rigger jangan cuma kuat tangan, tapi juga harus cerdas kepala dan sigap mata,” kata instruktur sambil menirukan gaya superhero, membuat peserta terpingkal-pingkal.

Selain belajar keterampilan, mereka juga belajar bekerja sama. Seorang rigger yang kuat tapi tidak peduli operator lantai, ibarat satay tanpa sambal hambar.

Begitu pula operator lantai yang hebat tapi nggak peduli rigger, sama saja seperti mesin canggih tanpa operator. Humor dan latihan membangun kekompakan mereka.

Di sela pelatihan, Dedi menatap teman-temannya dan berbisik, “Kalau pulang nanti, kita bisa banggakan kampung. Bisa bilang, “Aku bukan cuma jago mancing, tapi juga jago mancing peluang kerja!”.

Herryandi menambahkan, “Itu dia esensi pendidikan vokasi bukan sekadar hafal teori, tapi mampu praktek dan siap menghadapi dunia nyata. Kurikulum praktik 60% memastikan kalian bisa langsung diterima industri. Dan yang paling penting, kalian pulang dengan pengalaman, bukan sekadar sertifikat”.

Program ini bukan sekadar angka atau statistik. Lebih dari itu, pemerintah daerah ingin pemuda Muba siap kerja, menurunkan pengangguran, dan mendorong ekonomi lokal. Peserta belajar bahwa kerja keras, disiplin, dan kerjasama itu penting. Bahkan humor pun jadi bumbu, agar perjalanan belajar lebih ringan.

Saat bis meninggalkan Cepu setelah beberapa minggu pelatihan, wajah-wajah peserta tampak berbeda. Ada rasa percaya diri, ada kelegaan, dan tentu saja cerita kocak yang bakal mereka bagikan di kampung halaman.

Dedi, Bayu, dan teman-temannya kini punya bekal lebih dari sekadar keterampilan, mereka punya pengalaman, kesiapan menghadapi tantangan, dan keyakinan bahwa masa depan bisa digenggam dengan tangan sendiri.

Oleh karena itu, jangan pernah meremehkan pendidikan terapan. Kadang hal yang terlihat sederhana, mengikat tali, memeriksa sumur, justru menjadi kunci keberhasilan ekonomi besar. Seperti pepatah yang selalu diingat Bupati, “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”. Latihan keras hari ini adalah jalan menuju manisnya masa depan.

Dan begitu bis berputar ke Musi Banyuasin, saya tersenyum melihat mereka melambaikan tangan. Si rigger, si floor man, dan seluruh generasi muda siap mencetak sejarah mereka sendiri dengan tangan, hati, dan tawa.[***]

Catatan redaksi : Tokoh peserta seperti Dedi dan Bayu fiktif gunanya untuk menghidupkan cerita dan pejabat Pemkab Muba serta program pelatihan adalah fakta.

Terpopuler

To Top