DULU Ratu Sinuhun memimpin Istana, kini beliau memimpin panggung seni Palembang. Begitu kira-kira obrolan setengah bercanda tapi penuh makna di warung kopi belakang Balai Semarak, tempat seniman Palembang biasa ngumpul sebelum acara Sepekan Seni 2025 dimulai. Asap kopi robusta bergulung di udara, bersaing dengan semangat para pelukis, penari, dan pemusik yang sibuk mempersiapkan karya.
Di satu sudut, seorang pelukis sedang menatap kanvas kosong sambil mengeluh,
“Kalau Ratu Sinuhun masih hidup, mungkin beliau udah jadi influencer budaya, Mas”
Temannya menimpali, “Iya, akun IG-nya pasti centang biru, isinya tips kepemimpinan dan tutorial pakai songket!”
Tawa pun pecah. Tapi di balik canda itu, ada semangat serius bagaimana menghadirkan sosok Ratu Sinuhun bukan cuma lewat buku sejarah, tapi lewat warna, irama, dan gerak.
Di aula DKP, sekelompok penari sedang berlatih koreografi bertema “Langkah Ratu”
Setiap gerakan dirancang bukan hanya indah, tapi punya makna. Ada langkah lembut penuh wibawa, ayunan tangan simbol keteguhan, dan lirikan mata yang katanya bisa menenangkan rakyat tapi bikin lawan ciut.
“Ratu Sinuhun ini bukan tokoh yang kaku,” kata seorang koreografer muda, “beliau itu cerdas, lembut tapi berani. Nah, itu yang ingin kami munculkan di tarian feminin tapi tangguh, elegan tapi garang”
Sement.ara itu di ruang lain, pelukis menyiapkan pameran bertema “Warna Ratu”
Kanvas penuh sapuan emas dan ungu, dua warna yang mereka percaya mewakili kebijaksanaan dan kemuliaan. Tapi di beberapa karya, warna merah muda dan jingga ikut muncul simbol bahwa Ratu Sinuhun juga manusia, bukan legenda yang beku di buku sejarah.
Sore harinya, seniman lintas generasi ngopi bareng di warung depan kantor DKP.
Topiknya random dari kebijakan seni sampai soal nasi minyak yang katanya makin mahal.
Tapi begitu nama Ratu Sinuhun disebut, semua langsung serius.
“Beliau itu bukti kalau perempuan Palembang dari dulu sudah berdaya,” ujar salah satu sastrawan senior sambil mengaduk kopi.
Yang muda nyeletuk, “Betul, Pak. Cuma bedanya, kalau dulu beliau perang pakai strategi, kami perang pakai proposal kegiatan”.
Suasana kembali cair.
Dari obrolan itulah, muncul ide-ide spontan, seperti mural bertema Ratu Sinuhun di dinding pasar, teater mini di pinggir sungai, sampai lagu pop etnik berjudul ‘Ratu Musi’ yang katanya bakal debut di malam penutupan.
“Pokoknya Ratu Sinuhun reborn, tapi versi Palembang masa kini lebih kreatif, lebih rame, dan sedikit lebih drama,” ujar Cheirman, Ketua Panitia Pelaksana, sambil terkekeh.
Semangat menghidupkan yang pernah hidup ini seolah menyatu dengan denyut Sungai Musi. Dari arus sungai yang tak pernah berhenti, para seniman belajar bahwa tradisi tak boleh diam. Ia harus mengalir, melenggak-lenggok, menyesuaikan zaman, tapi tetap jernih di hulunya.
Dan mungkin, kalau Ratu Sinuhun masih ada, beliau akan tersenyum melihat warganya yang dulu hanya jadi penonton, kini ikut jadi pemain di panggung kebudayaan.
Seni, di tangan mereka, bukan lagi tontonan tapi tonggak ingatan.
Kalau Ratu Sinuhun hidup di zaman sekarang, mungkin beliau sudah punya akun TikTok dengan jutaan pengikut.
Kontennya? Bukan review skincare atau haul songket, tapi tips kepemimpinan dan tutorial “Cara Mempertahankan Martabat Bangsa dengan Elegan”.
Dan mungkin setiap postingannya ditutup dengan kalimat legendaris. “Ingat, Nak, kalau mau jadi pemimpin, jangan cuma bisa tampil di panggung, tapi juga kuat di balik layar”.
Lewat Sepekan Seni 2025, Ratu Sinuhun memang lahir kembali, bukan dalam wujud raja-rajaan, tapi dalam semangat para seniman yang tak pernah lelah menenun identitas Palembang dengan benang sejarah dan cat warna-warni kreativitas.
Dan saat malam penutupan nanti, ketika lampu panggung padam dan tepuk tangan menggema, mungkin di antara sorot lampu itu, ada bayangan lembut sang Ratu yang tersenyum
Bangga melihat anak-anak Palembangnya masih setia menjaga warisan, sambil tetap tahu caranya bercanda dengan sejarah.[***]