Tekno

Digital Bukan Cuma Soal Sinyal, Tapi Soal “Isi Kepala”

Komdigi

KALAU ngomong soal digitalisasi, yang kebayang di kepala banyak orang biasanya cuma dua sinyal kenceng dan kuota murah.
Padahal, kata Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, transformasi digital sejati itu bukan cuma urusan tower yang menjulang tinggi atau sinyal 5G yang bikin kita bisa nonton drakor tanpa buffering.
Digitalisasi, katanya, soal manusia. Soal akal sehat dan kesempatan yang adil dari kota sampai pelosok.

Ya, benar juga sih. Buat apa sinyal 5G kalau manusianya masih berpikir 2G?
Sama aja kayak punya iPhone 16 tapi isinya cuma buka TikTok buat nonton kucing joget.

Selama ini pemerintah kita kayak lomba marathon bangun tower. Tiap tahun, ada aja program baru, satelit naik, BTS berdiri, fiber optik nembus gunung. Tapi Meutya bilang, yang nggak kalah penting justru infrastruktur manusianya.

Manusia digital itu bukan yang tangannya cepat scroll Instagram, tapi yang paham gimana teknologi bisa bantu hidupnya lebih baik.
Makanya Kemkomdigi bikin program seperti Digital Talent Scholarship dan AI Talent Factory, biar masyarakat nggak cuma jadi penonton kemajuan, tapi juga pemainnya.

Karena, kalau kata pepatah lama, “sebaik-baiknya sinyal adalah yang menguatkan pikiran, bukan sekadar bar di pojok layar”

Meutya juga menegaskan digitalisasi harus adil.
Jangan sampai orang di Jakarta sibuk belajar machine learning, sementara di Papua masih sibuk nyari sinyal naik ke atap.
Sekarang memang sudah mulai berubah. Katanya, lewat Satelit SATRIA I dan Satelit Nusantara V, sudah ada lebih dari 27.865 titik layanan publik yang tersambung internet, termasuk 1.631 titik di Papua.

Artinya, sekarang guru di pedalaman pun bisa ngajar pakai video call, dan anak kampung bisa belajar coding tanpa harus ke kota.
Karena dalam dunia digital, kecepatan sinyal seharusnya tidak menentukan kecepatan masa depan.

Biar nggak kelihatan kayak “katanya doang”, coba lihat contoh negara lain yang sukses bikin digitalisasi jadi urusan manusia, bukan cuma mesin, misalnya di Estonia,  negara mungil di Eropa ini jadi kampiun digital government.

Hampir semua urusan warganya online, dari bikin KTP, bayar pajak, sampai milih presiden. Tapi rahasianya bukan cuma internet cepat, melainkan pendidikan digital yang dimulai sejak SD.

Anak TK di sana bukan cuma main lego, tapi juga belajar keamanan data!

Selain itu di Finlandia, pemerintahnya gratisin kursus AI for Everyone. Jadi, bukan cuma programmer yang belajar AI, tapi juga ibu rumah tangga dan petani.

Hasilnya? Masyarakatnya melek teknologi tapi tetap “berperasaan”. Digital tapi manusiawi.

Korea Selatan juga, bukan cuma jago bikin K-pop dan drama, tapi juga mendidik masyarakatnya jadi pengguna digital yang cerdas. Pemerintahnya punya “Digital Inclusion Policy”, supaya lansia pun bisa pakai aplikasi tanpa panik tombol mana yang ditekan.

Bahkan India gak ketinggalan  karena  program digital India, bukan hanya bikin jaringan internet luas, tapi juga mendorong masyarakat kecil pakai teknologi buat usaha. Sekarang pedagang sayur di New Delhi sudah bisa nerima pembayaran lewat QR code, mirip kayak gerobak bakso di Palembang.

Lihat kan? Mereka nggak cuma bangun jaringan, tapi juga bangun akal sehat digital.

Meutya Hafid benar, transformasi digital bukan proyek sekali jadi. Ini marathon panjang  dari membangun infrastruktur sampai menyiapkan manusianya.

Karena kalau manusia nggak siap, teknologi justru bisa balik nyenggol kita.

Contohnya, AI bisa bantu kerja cepat, tapi kalau pengguna nggak paham etika digital, yang muncul malah hoaks, plagiarisme, dan toxic comment yang bikin dunia maya mirip pasar becek.

Makanya, penting banget edukasi digital itu disebar luas. Mulai dari anak sekolah sampai bapak-bapak grup WA RT yang masih hobi share berita aneh jam dua pagi.

Pepatah bilang “Sinyal boleh hilang, tapi akal jangan ikut hilang”. Artinya, secanggih apapun teknologi, manusia tetap yang pegang kendali.

Karena teknologi tanpa nilai kemanusiaan cuma bikin hidup cepat, tapi nggak bikin hidup bermakna. Jadi, kalau mau benar-benar “maju digital”, jangan cuma bangun tower dan server. Bangun juga empati, literasi, dan kemampuan berpikir kritis.

Digitalisasi Indonesia sedang ngebut, tapi jangan sampai kehilangan arah.
Karena sejatinya, kemajuan digital bukan diukur dari kecepatan download, tapi dari kedalaman pemahaman.

Kalau manusia Indonesia bisa jadi bagian dari perubahan, bukan cuma penikmatnya, maka digitalisasi akan membawa keadilan, bukan kesenjangan.

Seperti kata Bu Menteri, “transformasi digital bukan soal teknologi, tapi soal kesempatan yang lebih adil bagi semua”.

Dan itu, teman-teman, adalah sinyal yang paling kuat dari semuanya.[***]

Terpopuler

To Top