Ekonomi

EKONOMI HIJAU : Kopi, Bambu & Cuan, Hutan Juga Bisa Bikin Startup!

ist

DI tengah hawa Majalengka, Jawa Barat yang masih ngantuk, sekelompok petani hutan mendadak tampil kayak peserta MasterChef bukan karena mereka masak, tapi karena sama-sama gugup di depan juri.

Bedanya, jurinya di sini memang bukan chef Gordon Ramsay, tapi para offtaker yang dompetnya bisa menentukan masa depan madu, kopi, dan bambu hasil pelukan hutan.

Nama acaranya kerennya Foresta Showbiz, tapi jangan salah kira dulu, ini bukan konser pohon bernyanyi atau fashion show ranting berdaun. Ini ajang temu usaha  alias tempat petani dan pembeli ketemu tanpa drama sinetron. Kalau mau disederhanakan yaitu  kayak Tinder, cuma yang di-swipe bukan wajah, tapi produk hasil hutan.

Bahkan, biasanya tangan mereka cuma akrab sama cangkul dan parang, eh… sekarang mulai belajar pegang mikrofon. Biasanya ngomongnya “Panen e kapan, Mang?”, sekarang jadi, “Produk kami memiliki nilai tambah berbasis HHBK yang berorientasi ekspor”
Wah…., bisa-bisa besok mereka minta dibuatkan LinkedIn profile.

Tapi ya….. begitulah kalau hutan mulai bicara dengan bahasa pasar. Aneh bukan?!. sebab petani hutan belajar tampil, bukan sekadar menjual.

Mereka belajar branding, bukan brenang (berenang), belajar marketing, bukan markiran (markir mobil). Dan lucunya, meski mereka kadang salah ucap istilah, semangatnya nggak pernah salah arah.

“Dulu saya jual madu ke tetangga,” kata salah satu peserta, “sekarang mau coba jual ke luar negeri. Tapi masih bingung cara ngirimnya, soalnya lebahnya belum punya paspor”. Nah, itu baru mindset growth yang sesungguhnya ngakak tapi visioner.

Hajatan akbar

Acara ini nyatu sama Pasar Pasisian Leuweung, semacam hajatan akbar di pinggir hutan yang suasananya campur antara seminar bisnis, piknik keluarga, dan reunian alumni SD. Yang satu bawa proposal, yang lain bawa termos kopi, namun ajaibnya, di antara asap tungku dan aroma daun, kesepakatan bisnis justru lahir.

Kalau di kota, orang bangun networking lewat webinar, kalau di hutan, cukup lewat wedangan bahkan satu cangkir kopi bisa lebih efektif dari seribu kata motivato, wow sangat mantappp!!.

Ada pepatah baru di sana mau tahu? “Siapa cepat menanam, dia yang duluan panen. Siapa cepat nyeduh kopi, dia yang duluan dapat kontrak”.

Oleh karena itu, hutan itu bukan sekadar tempat pepohonan numpang hidup, tapi sekolah paling tua di dunia. Dia mengajarkan sabar lewat pertumbuhan pohon yang pelan tapi pasti. Dia mengajarkan berbagi lewat akar yang saling kirim nutrisi. Dia bahkan mengajarkan etika: siapa menebang berlebihan, siap-siap diterjang banjir.

Petani hutan itu muridnya…..
Dan kini mereka naik kelas karena bukan cuma menjaga hutan, tapi juga menafsirkan ulang artinya berdaya, nah, keren juga kreatif
Karena itu, bagi mereka ini, bisnis bukan saja soal laba semata, namun bagaimana bisa membuat hutan tetap bernyawa sambil dapur tetap ngebul, istri bisa lega dan tersenyum simpul, anak tetap bersekolah dengan perut kenyang.

Nah, intinya, jika pingin belajar bisnis sehat, lihat aja misalnya lebah, karena lebah nggak pernah rakus, tapi hasilnya manis, lebah bisa kerja bareng tanpa rebutan kursi direktur. Dan kalau diganggu, baru deh dia menyengat, itu pun demi melindungi koloninya.

Petani hutan di Majalengka juga bisa begitu, mereka nggak pamer, nggak ngaku-ngaku pengusaha hijau berkelanjutan, tapi kerja nyata.
Yang di kota sibuk posting #SustainabilityGoals, mereka sibuk nyemprot hama dan menanam bibit.

Kadang  dunia memang terbalik, yang banyak bicara justru jarang menanam, yang banyak menanam malah jarang didengar.

Heri Suheri dari Kementerian Kehutanan ngomong bijak banget waktu itu “Kami ingin kemitraan yang adil dan berkelanjutan”.

Kalimatnya ini formal banget, tapi kalau diterjemahkan ke logat warung kopi, artinya “Kalau bisa kerja bareng, ya jangan saling jegal, apalagi saling ngibul”.

Dan ini penting banget.
Soalnya banyak yang ngaku cinta lingkungan, tapi kalau dapat tender, pohon pun ikut stres.
Sementara petani hutan justru ngerti keseimbangan itu bukan sekadar jargon itu cara hidup.

Jad, duit itu memang penting, tapi kalau semua daun dijual, nanti siapa yang kasih oksigen?. Kata orang tua, “Makan boleh kenyang, tapi jangan sampe kekenyangan sampe lupa napas”.

Foresta Showbiz ini mungkin cuma dua hari, tapi bekasnya bisa panjang.
Ia kayak cermin kecil yang memantulkan wajah masa depan Indonesia, yaitu masa depan yang seimbang antara ekonomi dan ekologi.

Dan pada akhirnya Majalengka mengajarkan bahwa bisnis tak harus di gedung tinggi, tapi bisa di bawah pohon rindang.
Bahwa petani bisa bicara tentang value chain tanpa harus pindah ke kota, apalagi masa depan hijau itu nggak dimulai dari pidato pejabat, tapi dari cangkul dan niat tulus di tangan petani.

Jadi, kalau nanti kamu stres kerja di kantor dan pengen healing, jangan buru-buru ke Bali. Coba datang ke Pasar Pasisian Leuweung.
Di sana, kopi diseduh pakai ketulusan, dan bisnis disepakati pakai jabat tangan yang masih bergetar oleh lumpur.

Karena dari leuweung, kita belajar satu hal tentang hidup yang  kayak hutan, makin dalam kamu masuk, makin banyak pelajaran yang nggak kamu sangka. Janganlah remehkan orang yang tangannya penuh tanah, karena seringkali, dari tangan itulah masa depan yang bersih tumbuh.[***]

Terpopuler

To Top