ZAMAN sekarang, anak muda pacaran cukup kirim emoji atau stiker kucing peluk bantal, dulu? Cinta itu dikirim lewat amplop, ditempel prangko, dilempar ke kotak surat, terus harap-harap cemas kayak nelayan nunggu umpan dimakan ikan.
Nah, siapa sangka, prangko, si kecil bergigi pinggir ini tiba-tiba comeback!, dan bukan comeback kaleng-kaleng, tapi dibuka langsung oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, Senin (20/10/2025).
“Filateli itu bukan sekadar hobi tempel-tempel prangko, tapi seni, sejarah, dan jati diri bangsa,” kata Fadli sambil menatap koleksi perangko para pendiri negara.
Nadanya khidmat, tapi kalau dipotong dikit, mirip kalimat motivasi orang patah hati yang lagi mau move on ‘Yang kecil belum tentu nggak berharga’.
Waktu dulu kita masih suka kirim surat, prangko itu kayak saksi bisu perjalanan cinta dan kenegaraan. Tapi begitu HP pintar masuk ke rumah, prangko mendadak kehilangan panggung. Ibarat mantan yang ditinggal, karena kita nemu yang lebih canggih, ternyata yang baru malah sering bikin drama sinyal hilang.
Fadli Zon bilang, “Hobi filateli sudah dikenal sejak lama sebagai king of hobby hobi para raja”.
Wah, pantes aja, yang suka ngoleksi perangko ini emang bukan orang sembarangan. Zaman dulu raja, zaman sekarang ya… bapak-bapak pensiunan yang punya album tebal dan waktu luang banyak.
Tapi jangan salah, di tangan kolektor, selembar prangko bisa lebih mahal dari gorengan harga minyak naik, pasalnya di balik kertas kecil itu, terselip potongan sejarah bangsa, yaitu dari BPUPK sampai PPKI, semua ada mukanya di situ.
Totalnya? 80 prangko khusus pendiri bangsa!, lengkap banget, tinggal cari mana yang cocok buat ditempel di hati rakyat.
Wali Kota Palembang, Ratu Dewa, ikut nyengir lebar waktu ngomongin ini, katanya, “Museum sekarang bukan lagi tempat nyimpan benda bersejarah, tapi ruang publik yang hidup dan kolaboratif”.
Wah, betul juga, dulu museum itu tempat paling angker kedua setelah ruang kepala sekolah. Sekarang? Jadi spot foto, tempat nonton Dulmuluk, bahkan lokasi paling pas buat cari inspirasi atau cari gebetan yang sama-sama suka sejarah.
Apalagi Jumpa Museum 2025 ini digelar barengan sama pameran perangko. Ada seni Tanjidor, Tari Kreasi, sampai pertunjukan Dulmuluk. Pokoknya kalau datang ke situ, rasanya kayak jalan-jalan ke masa lalu tapi sinyal tetap 5G.
Gubernur Sumsel Herman Deru juga ikut nimbrung, bilang kalau kehadiran Menteri ini jadi spirit tersendiri buat Palembang, kota tertua yang umurnya sudah 1342 tahun.
Bayangin, umur segitu tapi masih enerjik. Kalau manusia, udah bisa jadi buyutnya buyut. Tapi Palembang tetap lincah, tetap menari di antara arus Sungai Musi.
Menteri juga sempat muji Sungai Musi, katanya “Sungai Musi menyimpan jejak sejarah dan peradaban yang luar biasa”
emang betul sekali, Musi itu kayak timeline bangsa Indonesia karena kadang banjir informasi, kadang pasang surut peradaban, tapi tetap mengalir.
Bahkan Ratu Dewa juga ngumumin kabar manis, yaitu tiga Warisan Budaya Takbenda (WBTb) asal Palembang resmi diakui tahun ini, Aesan Paksangko, Rumah Rakit Palembang, dan Bubur Suro.
Nah loh, Palembang ini nggak cuma punya pempek, tapi juga budaya yang legit dan bergizi spiritual. Pepatah bilang, “Air Musi bisa surut, tapi adat Palembang takkan hanyut”.
Kepala Dinas Kebudayaan Palembang, Sulaiman Amin, nyengir waktu bilang, “Ini pertama kalinya pameran perangko bertema Pendiri Bangsa digelar di Indonesia, dan Palembang jadi kota pembuka”.
Dia juga bilang, target kunjungan Museum SMB II tahun ini 30 ribu orang, baru 12.500 yang datang, tapi kalau pameran ini viral, bisa jadi yang datang bukan cuma manusia, tapi juga kenangan masa kecil kita waktu nyium amplop sebelum dikirim pos.
Tiket masuknya murah Rp2.000 buat anak-anak, Rp5.000 buat dewasa, Rp20.000 buat bule.
Harga segitu, dapat pelajaran sejarah plus spot Instagramable, rugi kalau nggak datang.
Zaman boleh digital, tapi sejarah itu nggak bisa di-scroll begitu aja, prangko mungkin kecil, tapi jasanya besar. Ia mengajarkan bahwa sesuatu yang sederhana bisa membawa pesan besar, asal dikirim dengan niat tulus.
Kata pepatah Palembang, “Yang kecil jangan diremehkan, kadang dari setitik tinta bisa lahir secarik sejarah”.
Jadi, kalau nanti lihat prangko lagi, jangan cuma bilang lucu atau jadul. Ingatlah dari selembar kecil itu, kita bisa belajar soal cinta, perjuangan, dan jati diri bangsa.
Karena, seperti mantan yang dulu pernah dicinta, prangko cuma butuh satu hal buat dihargai lagi kesempatan kedua.
Olleh karena itu, pameran perangko di Palembang ini bukan sekadar acara nostalgia, tapi alarm kecil bahwa bangsa besar bukan cuma karena gedung tinggi dan teknologi canggih, tapi karena masih mau menghargai hal-hal kecil yang pernah jadi bagian sejarahnya.
Jadi, sebelum kirim chat Hai ke gebetan, coba kirim surat dulu. Siapa tahu cinta lama bersemi kembali bersama prangko yang kini sudah naik pangkat jadi ikon budaya.[***]
Tulisan ini hasil pengamatan, obrolan, dan bumbu banyolan dari peristiwa nyata Pameran Prangko “Para Pendiri Bangsa” di Museum SMB II Palembang, dibuka oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon bersama Gubernur Herman Deru, Wali Kota Ratu Dewa, dan Kepala Dinas Kebudayaan Sulaiman Amin. Ditulis tanpa bantuan robot, cuma ditemani secangkir kopi dan tumpukan amplop nostalgia.