BIASANYA orang ngopi sambil debat harga sawit di warung, kali ini kopi diseduh di tempat yang agak beda Guest House Griya Bumi Serasan Sekate.
Di sinilah Bupati Musi Banyuasin, H.M. Toha Tohet, duduk santai bareng para buruh perkebunan dari Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (FSBPI). Suasananya? campur antara serius, haru, dan lucu kayak sinetron tapi versi nyata, tanpa iklan sabun.
Para buruh datang dengan daftar panjang, mirip surat cinta tapi isinya keluhan semua. “Pak Bupati,” kata Efendi dari PT KMP, membuka suara, “kami ini bukan minta bonus mobil, cuma pengen upah sesuai standar, lembur dibayar, sama anak-anak bisa sekolah naik mobil, bukan naik harapan”.
Semua yang hadir ketawa kecil.
Bupati Toha ikut senyum, lalu nyeletuk, “Wah, naik harapan itu bahaya, Ndik, soalnya kalau harapannya gak nyampe, bisa -bisa jatuh sakit”.
Tawa pecah…. “Lho tapi serius, Pak,” sambung Efendi, “kami juga pengen ada ambulans di lokasi, kadang kalau ada yang pingsan, harus nunggu mobil tetangga lewat dulu”.
Bupati ngangguk, lalu menjawab ringan, “Kalau gitu nanti kita usahakan, jangan sampai buruh sakit malah tambah sakit karena nunggu ambulans datang dari kabupaten sebelah”.
Setelah suasana cair, Bupati Toha meletakkan cangkir kopinya pelan. “Saya paham betul apa yang kalian rasakan, dulu saya juga pernah kerja di kebun, tangan saya pernah kapalan, kulit gosong, tapi gaji gak ikut naik”.
Salah satu buruh di belakang langsung nyeletuk, “Berarti Bupati dulu juga pernah ngumpet kalau mandor datang, ya Pak?” .
Semua meledak ketawa ngakak…
Bupati ikut ngakak, “Iya, itu kebiasaan Nasional!, kalau udah dengar suara motor mandor, langsung pura-pura sibuk ngikat tali sepatu!”. Ruangan yang tadinya agak tegang mendadak jadi seperti pos ronda malam Jumat, penuh canda, tapi tetap ada arah pembicaraan.
Bupati kemudian melanjutkan dengan nada lebih serius tapi tetap hangat. “Yang penting, kita sampaikan aspirasi dengan kepala dingin. Kalau marah, kopi bisa tumpah, kalau tumpah, rugi belum tentu ada refill,” katanya disambut tawa lagi.
Ia meminta semua aspirasi ditulis resmi agar bisa ditindaklanjuti. “Selama gak bertentangan aturan, saya dan Forkopimda siap bantu. Tapi kalau semua pakai emosi, nanti kita malah salah paham”.
Seorang buruh lain berbisik ke sebelahnya, tapi cukup keras untuk didengar, “Kalau gaji naik, Pak, kopi saya nanti Arabica semua, gak campur jagung lagi”.
Bupati nyengir, Alhamdullilah…Amin, tapi ingat, kopi enak itu bukan karena mahal, tapi karena diminum bareng rasa syukur”.
Lagi-lagi ruangan meledak tawa, antara kagum dan geli mendengar gaya bicara Bupati yang blak-blakan tapi hangat.
Gak mau kalah, Ketua DPRD Muba, Afitni Junaidi Gumay, ikut buka suara sambil ikut nyeruput kopi.
“Buruh dan perusahaan itu ibarat kopi dan gula, jika kopi sendirian, pahit, tapi gula kebanyakan, bisa-bisa cepat kena diabetes, jadi harus pas takarannya,” ujarnya dengan gaya stand-up comedy.
Salah satu perwakilan buruh nyeletuk, “Kalau yang aduk siapa, Pak?”
Afitni jawab cepat, “ya pemerintah lah!, kalau nggak diaduk, diam di dasar, manisnya gak nyebar”.
Semuanya dalan suasana akrab sembari tertawa lagi, tapi dari banyolan itu, semua paham maknanya, yaitu keseimbangan itu penting. Oleh karena itu, buruh dan perusahaan gak boleh saling curiga, dua-duanya harus jalan bareng.
Afitni juga janji bakal gelar Rapat Dengar Pendapat (RDP), biar buruh dan perusahaan bisa curhat bareng tanpa harus debat kusir.
“Kalau ada pelanggaran, kasih bukti valid, jangan cuma katanya, kita siap bantu sampai tuntas”.
Seorang buruh nyeletuk lagi, “Kalau gak ada solusi juga, kami ngopi lagi ya Pak?”
Ketua DPRD ngakak abis, “boleh, asal kopinya bawa sendiri, kantor DPRD gak buka warung”.
Lalu, Bupati juga menutup dengan pesan bernas. “Investasi penting buat daerah, tapi kesejahteraan buruh juga harus jadi prioritas. Keduanya bukan musuh, tapi pasangan serasi, kayak kopi susu, kalau dicampur pas, enak, kalau kebanyakan salah satunya, ya mual”
Semua yang hadir manggut, yang tadinya datang bawa keluhan, pulang bawa harapan dan mungkin sedikit tawa.
Jadi, sebenarnya dalam hidup ini, kadang kita butuh ruang buat ngomong jujur tanpa takut dihakimi, audiensi hari itu membuktikan, kalau pemimpin mau mendengar dengan hati, buruh pun mau bicara dengan sopan.
Masalah memang gak langsung selesai, tapi setidaknya pintu komunikasi sudah terbuka, kata orang bijak Muba, “Kalau pintu udah terbuka, jangan malah sandaran masuk, duduk, dan ngobrol”.
Oleh sebab itu, audiensi antara buruh dan Bupati Muba ini bisa jadi contoh kecil tapi sangat berharga sebab, kadang, solusi gak lahir dari seminar, tapi dari secangkir kopi dan hati yang terbuka.
Pepatah lama bilang “Masalah itu kayak ampas kopi, jangan ditelan, disaring aja, biar tinggal rasa manisnya”.
Hari itu, di Griya Bumi Serasan Sekate, ampas masalah buruh mulai disaring, dengan tawa, harapan, dan tentu saja… aroma kopi yang tumpah karena kebanyakan ngakak.[***]