DI SAAT banyak bisnis megap-megap karena harga bahan pokok naik, cuaca nggak jelas, dan tagihan listrik bikin jantung jedag-jedug, ada satu aroma yang tetap bikin orang betah, ialah aroma kopi.
Ya, kopi itu, si biji ajaib yang bisa bikin orang dari yang galau jadi produktif, dari yang ngantuk jadi ceramahin dunia.
Dan, ajaibnya lagi, justru di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini, kedai kopi di Palembang malah tumbuh subur macam jamur di musim hujan, cuma bedanya, yang ini beraroma arabika. Salah satunya Coffe J, yang baru aja buka cabang kedua di Jalan Yayasan II.
Waktu peresmian cabang kedua Coffe J ini, suasana makin meriah, ada musik, ada tawa, dan tentu saja ada Wali Kota Palembang, H. Ratu Dewa, yang datang langsung motong pita sambil nyeruput kopi.
Beliau sempat nyeletuk. “Nuansa barunya lebih ke anak muda generasi Z, luar biasa keren, di sisi lain, ini pertanda bahwa pertumbuhan ekonomi di Palembang menjanjikan”.
Kalimatnya formal, tapi kalau diterjemahin ke bahasa kedai kopi kira-kira artinya gini “anak muda Palembang ini nggak cuma jago selfie, tapi juga jago nyari cuan”.
Ada benarnya juga, karena di balik aroma kopi itu, ada aroma semangat wirausaha, kedai kayak Coffe J bukan cuma tempat nongkrong, tapi juga tempat ekonomi lokal belajar cara bertahan, santai, tapi tetap jalan.
Wali Kota Palembang Ratu Dewa pun bilang lagi lengkap sudah, yakni kopi, keceriaan, dan harapan.
Kisah Coffe J inilah sebenarnya sederhana, karena berawal dari hobi ngopi bareng keluarga, Iin sang pemilik, dan pelan-pelan ia sadar, “Lah, ngapain kita ngopi doang kalau bisa sekalian jual kopi?”, dari situ berdirilah Coffe J di tahun 2018, dan sekarang, cabangnya sudah dua.
Tapi jangan salah, yang dijual bukan cuma kopi, di sana ada vibes, suasana nongkrong yang homey tapi tetap estetik, menunya pun nyenggol nostalgia, ada Kopi Jadul, pisang goreng, dan makanan rumahan yang dikemas manis, tapi harganya masih manusiawi.
Kalau kata pepatah itu, “Sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukit”.
Nah, Coffe J ini contohnya dari ngopi iseng jadi bisnis serius, dari hobi jadi penggerak ekonomi lokal, sekarang, mari kita lihat dari kacamata ekonomi (jangan panik dulu, ini ekonominya santai).
Sektor kuliner dan kopi adalah bagian dari ekonomi kreatif alias bisnis yang bahan bakunya bukan cuma tepung dan gula, tapi juga ide, dan di Palembang, ide itu lagi berlimpah.
Pasalnya anak muda sekarang nggak cuma mikir kerja di kantor tapi juga buka kedai sendiri, bisa nongkrong, bisa cuan, betul juga….
Mereka sadar, kopi bukan cuma minuman, tapi simbol kemandirian finansial yang beraroma robusta.
Ketika pemerintah kota ikut dukung, kayak yang dilakukan Wali Kota Ratu Dewa, itu artinya sektor ini dianggap penting,
Kalimat beliau waktu peresmian pun mengandung sinyal optimisme “Nuansanya anak muda banget, luar biasa keren, ini pertanda pertumbuhan ekonomi di Palembang menjanjikan”. Dalam bahasa awamnya yakni “Waduh, anak muda Palembang udah makin jago cari peluang!”.
Konsep kekinian
Yang menarik, konsep kedai kekinian ini bukan cuma soal bisnis, tapi juga gaya hidup baru, karena kedai kopi menjadi ruang sosial tempat curhat, rapat, bahkan skripsi (plus drama percintaan tipis-tipis).
Tapi di sisi lain, tempat kayak Coffe J juga menciptakan lapangan kerja, mulai dari barista, staf dapur, sampai vendor bahan baku.
Artinya, setiap cangkir kopi yang diseduh, punya efek domino ke ekonomi lokal.
Lucunya, banyak orang mikir buka kedai kopi itu gampang.
Padahal, salah satu ujian terberatnya bukan bikin kopi, tapi bikin pelanggan balik lagi meski saldo e-wallet mereka menipis, disinilah nilai tambah Coffe J, yakni kualitas dijaga, harga bersahabat, dan rasa tetap rumahan”, mantap!.
Kopi yang bisa diterima semua kalangan, dari anak kampus sampai bapak-bapak yang baru gajian tapi udah mikir cicilan.
Selama ini Palembang dikenal dengan pempeknya, tekwan, dan model (ya, makanan model, bukan model catwalk).
Tapi sekarang, kota ini mulai punya ikon baru, “kota ngopi”.
Bukan berarti pempek tersingkir, tapi artinya selera masyarakat berkembang dari “ayo makan” jadi “ayo ngobrol sambil ngopi”.
Dan ini sehat untuk ekonomi karena semakin banyak tempat yang menghidupkan interaksi sosial, makin besar pula perputaran uang di sektor kecil dan menengah.
UMKM kuliner seperti Coffe J inilah yang sebenarnya menjaga ekonomi tetap hidup di tingkat akar rumput.
Kalau diibaratkan tubuh manusia, bisnis besar itu otot, sementara UMKM kayak gini adalah darahnya, kalau darahnya ngalir lancar, ya tubuh ekonominya segar.
Nah, di sinilah kita bisa belajar sesuatu, sebab kopi ternyata bukan cuma urusan kafein dan kehangatan, kopi adalah simbol kerja keras, ketekunan, dan inovasi. Setiap kedai yang berdiri berarti ada keberanian untuk memulai, ada niat untuk bertahan, dan ada semangat untuk berbagi rezeki dengan orang lain.
Kopi memang pahit, tapi perjuangan di baliknya manis, kalau semua anak muda Palembang punya semangat kayak Iin dan memulai dari hobi, mengembangkan ide, dan menjaga kualitas, maka ekonomi kota ini nggak cuma tumbuh, tapi berkembang dengan karakter.
Oleh karena itu, ngopi itu bukan sekadar gaya hidup, itu latihan kesabaran, nunggu air panas, nunggu seduhan pas, nunggu rasa keluar sempurna. Mirip ekonomi kreatif yang perlu waktu, konsistensi, dan sedikit humor biar nggak stres.
Maka itu, kalau kamu lagi duduk di kedai kopi sambil ngetik atau merenung, ingatlah dibalik satu cangkir itu, ada rantai ekonomi yang bergerak, ada impian yang diseduh perlahan, dan ada pula asa yang tak pernah dingin, seperti kata barista bijak yang entah siapa namanya, “Hidup ini kayak kopi, pahitnya sementara, tapi aromanya bisa bikin nagih”.[***]