NEGERI ini, punya rumah itu ibarat mencari jodoh, butuh perjuangan, doa, dan kadang harus pasrah kalau akhirnya dapatnya kos-kosan petak tiga kali tiga meter. Backlog perumahan di Indonesia memang masih seabrek, jutaan kepala keluarga masih ngontrak, nebeng di rumah mertua, atau jadi pelanggan setia aplikasi pencari kos.
Tapi, kabar baik datang dari arah tak terduga, Qatar, negeri yang sedang riweuh dengan urusan dalam negerinya, ternyata masih sempat melirik Indonesia. Lewat Al Qilaa, mereka gandeng PT KAI dan Danantara buat bikin hunian vertikal berbasis Transit Oriented Development (TOD) di Jakarta, lokasinya di Kampung Bandan, Kemayoran, bukan di padang pasir ya, biar nggak salah paham.
Bayangin, pada tahap awal aja sudah dicanangkan 50.000 unit smart towers, nggak cuma sekadar tumpukan beton, tapi dilengkapi sekolah, taman bermain, ruang komunal, dan teknologi pintar. Pokoknya, bukan apartemen gaya “sarden dalam kaleng”, tapi konsep hunian yang bikin hidup terasa lega, meski tinggal di tengah kota yang padatnya kayak jalur mudik pas H-1 Lebaran.
Kata pepatah Jawa, “Omah iku dudu mung papan teduh, nanging papan kanggo nggayuh urip sing luwih becik”- rumah itu bukan sekadar tempat berteduh, tapi tempat mengejar hidup yang lebih baik.
Fahri Hamzah sampai bilang, Presiden sudah setuju konsep social housing ini. Pemerintah siap pakai tanah negara dan lahan tidur buat rumah rakyat. “Perumnas bakal jadi satpam logistik perumahan” katanya. Lah, akhirnya tanah nganggur bisa kerja, nggak cuma jadi tempat kambing angon atau lapangan dadakan buat main layangan.
PT KAI, yang biasanya ngurusin kereta, kali ini ikut ngurusin perumahan. Direktur Utama Bobby Rasyidin bilang, KAI membuka akses lahan untuk hunian terjangkau berbasis TOD. Cocok banget, soalnya tinggal deket stasiun berarti bisa langsung lari ke kereta tanpa drama macet. Tinggal di apartemen TOD itu kayak punya cheat code dalam game skip macet, langsung sampai kantor.
Hashim S. Djojohadikusumo dari Satgas Perumahan nyeletuk, masih ada puluhan juta orang yang belum punya rumah. Itu artinya, backlog bukan cuma istilah ekonomi, tapi juga bisa bikin galau anak muda. Coba pikirkan sudah capek kerja seharian, pulang malah masih nebeng di rumah mertua. Bisa-bisa rumah tangga jadi kayak kontrak kos setahun sekali deg-degan, diperpanjang apa nggak.
Makanya, program ini jadi harapan baru, generasi muda yang biasanya lebih akrab sama aplikasi pesan makanan ketimbang agen properti, jadi punya kesempatan buat dapat hunian layak di pusat kota.
Chairman Al Qilaa, Abdulaziz Al Thani, menegaskan proyek ini dukung Program 3 Juta Rumah Presiden Prabowo. “Bukan sekadar bikin tempat tinggal, tapi menciptakan ekosistem hunian berkelanjutan”, katanya.
Bahasa sederhananya rumah bukan cuma ada dinding dan atap, tapi juga ada kehidupan sosial yang sehat di dalamnya.
Kalau biasanya Qatar terkenal dengan gas alam, kali ini mereka nyumbang gas semangat buat rakyat Indonesia, pepatah Arab bilang, “Al-bayt jannat al-insan” – rumah itu surganya manusia, jadi, kalau surga bisa dicicil dengan KPR, kenapa harus lama-lama di neraka macet dan kontrakan sumpek?
Secara analitis, konsep hunian vertikal TOD memang solusi cerdas, pertama, efisien, karena lahan KAI yang biasanya nganggur bisa disulap jadi rumah. Kedua, terjangkau, karena masyarakat berpenghasilan rendah bisa punya akses ke hunian modern. Ketiga, ramah kota, yakni TOD bikin transportasi publik lebih hidup, mobilitas lancar, dan polusi berkurang.
Ibaratnya, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, atau dalam konteks urban, sekali bangun tower, tiga masalah teratasi, backlog, kemacetan, dan kualitas hidup. Oleh sebab itu, jangan salah, rumah bukan cuma investasi harta, tapi juga investasi rasa.
Apalagi, di rumah itu orang bisa belajar sabar, belajar kompromi, bahkan belajar masak mi instan dengan cara berbeda-beda. Tanpa rumah, hidup terasa kayak jalan tol tanpa rest area, bikin lelah tapi nggak tahu berhenti di mana.
Jadi, kalau proyek Qatar–KAI ini berhasil, mungkin di masa depan kita nggak lagi mendengar keluhan rumah makin mahal, gaji segini mana bisa. Sebaliknya, orang bisa bilang, “akhirnya aku punya rumah, nggak perlu lagi numpang mertua”.
Pepatah bilang, “Rumah tanpa tawa ibarat taman tanpa bunga”. Nah, dengan adanya hunian vertikal TOD ini, semoga bukan cuma tawa yang terdengar di ruang komunal, tapi juga doa-doa syukur dari keluarga yang akhirnya punya tempat tinggal layak, karena ujung-ujungnya, properti bukan soal beton, tapi soal kehidupan yang lebih manusiawi.[***]