AKUasbak, benda kecil yang sering dianggap sepele, padahal tugasku mulia, kata orang, “besar pasak daripada tiang” itu bikin rumah bangkrut, tapi kalau “besar rokok daripada asbak” ya siap-siap rumah berantakan. Aku hadir bukan untuk gaya-gayaan, bukan pula buat pamer di meja tamu, tapi untuk menampung sisa rokok, abu, dan puntung biar hidupmu tetap rapi, aman, dan nggak kayak kebakaran hutan versi mini di ruang tamu.
Aku ini ibarat tempat curhat para perokok, puntung rokok yang sudah melewati perjalanan panjang dari korek api hingga hisapan terakhir, akhirnya rebah manis di pelukanku. Kadang aku merasa kayak “peristirahatan terakhir” bagi si rokok mirip TPU, cuma versi kecil dan nggak pake batu nisan.
Secara sederhana, fungsiku jelas menampung abu dan puntung rokok. Tapi jangan salah, aku juga punya fungsi sosial. Kalau ada aku di meja, tamu perokok jadi lega, tuan rumah pun aman. Bayangin kalau nggak ada aku, puntung rokok bisa dicemplungin ke gelas teh manis nah lho, langsung berubah jadi “es teh rasa Marlboro edition”.
Fungsi lainku adalah simbol kesopanan, orang yang merokok dan buang puntungnya sembarangan itu ibarat kucing makan di dapur terus kabur nggak cuci tangan. Kata pepatah, “di mana bumi dipijak, di situ asbak dijunjung.” Maksudnya, kalau merokok ya hargai tuan rumah dengan pake aku, bukan main jentik abu di lantai kayak mau bikin hujan abu versi mini.
Aku bukan cuma barang mati yang nunggu dipakai. Aku sering jadi bahan obrolan. Ada yang bentukku klasik bundar, ada yang artistik dari keramik, bahkan ada yang canggih pakai sensor. Aku ibarat fashion item untuk meja ruang tamu, nggak keren kalau asal pilih.
Selain itu, aku juga punya kegunaan filosofis, puntung yang terkumpul di perutku mengajarkan manusia soal “akhir dari perjalanan”. Rokok yang awalnya gagah berdiri, ujungnya cuma jadi abu. Nah, bukankah itu mengingatkan kita bahwa sehebat-hebatnya manusia, ujung-ujungnya ya kembali ke tanah? Ngopi dulu biar nggak tegang.
Kalau bicara manfaat, aku punya daftar panjang kayak skripsi yang belum kelar menjaga kebersihan, tanpa aku, meja bisa penuh abu, lantai jadi arena “salju buatan”. Mencegah kebakaran kecil maksudnya puntung sembarangan bisa nyulut bencana, aku jadi pahlawan yang nggak pernah masuk berita.
Meningkatkan sopan santun, orang yang pakai aku biasanya lebih dihargai ketimbang yang buang puntung sembarangan dan media kontemplasi, banyak orang menatapku sambil melamun, mencari inspirasi, bahkan nulis puisi.
Ada filosofi Jawa yang cocok buatku urip iku mung mampir ngombe, hidup itu cuma singgah sebentar. Nah, rokok pun begitu dari menyala sampai jadi abu, bedanya, aku yang jadi saksi bisu, bukan warung kopi.
Aku sering dipandang jijik karena isinya puntung, padahal, kalau mau mikir sedikit, aku adalah guru kehidupan. Puntung rokok itu mengingatkan “Semua yang indah pasti ada akhirnya” nikmat hisapan rokok akan pudar, meninggalkan jejak abu yang ditampung aku. Sama seperti cinta, awalnya manis, ujung-ujungnya kadang pahit… dan penuh asap.
Aku juga mengajarkan tentang tanggung jawab. Abu itu bukan salah siapa-siapa, tapi hasil pilihanmu sendiri. Jadi, jangan salahkan rokoknya, salahkan dirimu yang merokok tanpa siap buang sampah di tempatnya, asbak ada, dipakai dong.
Kata pepatah sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit, puntung yang sedikit lama-lama numpuk jadi bau. Itulah kenapa aku harus sering dibersihkan. Sama kayak masalah hidup, jangan dibiarkan menumpuk, nanti bikin sumpek.
Banyak orang menganggap aku remeh, padahal aku punya peran penting. Hidup ini kadang sama: yang kecil sering dianggap nggak penting, padahal justru menentukan. Ingat, semut bisa bikin gajah ribut kalau masuk kupingnya. Begitu pula aku, benda kecil yang bisa menjaga ketentraman rumah.
Jadi, kalau kamu perokok, gunakan aku dengan benar. Kalau kamu bukan perokok, tetap hargai keberadaanku aku cuma benda, nggak bisa milih siapa pemilikku. Tapi dari aku, kamu bisa belajar soal keteraturan, kebersihan, dan filosofi hidup.
Aku, si asbak kecil, mungkin terlihat sederhana. Tapi dari fungsiku yang menampung abu, kegunaan menjaga kebersihan, hingga manfaat filosofis soal kehidupan, aku sebenarnya punya pesan besar setiap akhir adalah permulaan untuk merenung.
Kalau puntung rokok bisa mengajarkan manusia tentang kefanaan, maka aku sebagai asbak cuma ingin bilang “Hargailah hal kecil, sebelum semuanya jadi abu”
Jadi lain kali lihat aku di meja, jangan cuma anggap aku wadah kotor. Anggaplah aku guru kehidupan berlapis keramik yang sabar menampung sisa-sisa duniawi. Ingat pepatah terakhir dari aku hidup tanpa tujuan ibarat rokok tanpa asbak, berantakan dan bikin orang lain sengsara.[***]