Properti

Rumah Bukan Sekadar Tempat Tinggal, Tapi Tempat Jiwa Berteduh

ist

PEPATAH lama  bilang, “Rumahku adalah surgaku”. tapi bagi sebagian orang, rumah bukan surga, melainkan “kolam renang darurat” karena atapnya bocor dan lantainya retak. Kalau hujan deras, yang turun bukan cuma berkah, tapi juga tetesan air dari langit-langit yang seperti kran rusak. Itulah yang pernah dialami Pak Djasmadi, warga Demang Lebar Daun, Palembang.

Beliau tinggal di rumah yang nyaris roboh, atap bocor, dinding keropos, lantai pecah, kalau ada ayam lewat, bukan cuma meninggalkan kotoran, tapi juga ikut mengintip lewat celah lantai. Anak cucu yang datang pun geleng-geleng kepala, takut rumahnya ambruk lebih dulu sebelum sempat minum teh.

Tapi hidup memang penuh plot twist, berkat program Bedah Rumah dari TP PKK dan Baznas Kota Palembang, rumah Pak Djasmadi kini berubah wajah. Dari rumah reyot jadi hunian kokoh, dari tempat bertahan hidup jadi tempat yang benar-benar layak disebut rumah.

Bahkan Ketua PKK, Dewi Sastrani, sampai mewanti-wanti, “Jangan dijual, Pak. Rumah ini sudah lebih tinggi, tidak banjir, tidak bocor.” Singkatnya, sudah “naik kasta”.

Nah, di sinilah letak menariknya, banyak media menulis soal rumah baru Djasmadi sebatas “serah terima kunci”, “bantuan sosial”, atau “tugas pemerintah sudah selesai”. Padahal, rumah bukan cuma urusan fisik. Rumah juga punya dampak psikologis, sosial, bahkan spiritual.

Coba bayangkan bagaimana rasanya tinggal di rumah yang hampir roboh. Itu bukan sekadar rasa tidak nyaman, tapi juga memengaruhi harga diri. Tamu jarang mau mampir, keluarga minder, dan kadang pemilik rumah merasa hidupnya selalu di bawah garis hujan.

Rumah baru membawa perubahan besar. Begitu Djasmadi menerima kunci, senyum haru tak lagi bisa disembunyikan. Ini bukan cuma soal dinding baru, tapi juga soal rasa percaya diri yang ikut dibangun. Seolah-olah rumah itu ikut berkata “Hei, hidupmu layak, jangan minder lagi”

Rumah bocor itu seperti kepala penuh masalah tiap hujan, beban baru muncul, sebaliknya, rumah yang kokoh membuat pikiran lebih adem. Ada penelitian psikologi yang bilang lingkungan tempat tinggal memengaruhi mood, kesehatan mental, bahkan produktivitas. Bayangkan, bagaimana bisa orang semangat kerja kalau tiap malam tidur harus ditemani ember penadah air?

Dengan rumah baru, keluarga bisa tidur tanpa rasa waswas, bangun dengan lebih segar, dan tentu saja lebih tenang menerima tamu. Kalau dulu tamu disambut dengan wajah kikuk, sekarang bisa sambil pamer “Silakan duduk, lantainya sudah kinclong, tidak ada lagi jebakan ayam”.

Rumah juga bagian dari identitas sosial, orang sering menilai kita dari “pintu depan” rumah. Pepatah bilang, “Tamu menilai tuan rumah dari berandanya”.  Maka karena itu,  punya rumah layak bukan cuma soal nyaman, tapi juga soal posisi di mata masyarakat. Djasmadi kini tidak lagi sekadar warga yang “kasihan rumahnya hampir roboh”, tapi jadi simbol bahwa kepedulian sosial benar-benar nyata.

Bahkan, bantuan rumah ini lahir dari zakat masyarakat yang disalurkan Baznas. Artinya, setiap rupiah zakat itu kini menjelma jadi bata, semen, dan atap yang menaungi sebuah keluarga. Dari zakat jadi rumah, dari rumah jadi harapan.

Ada kalanya manusia lebih cepat sembuh bukan karena obat dokter, tapi karena suasana hati yang lega. Djasmadi sendiri bilang, rumah baru ini adalah titik balik hidupnya. Sebuah ruang untuk menata ulang masa depan. Dengan dinding kokoh, semangat pun ikut menguat. Dengan atap baru, doa-doa bisa lebih khusyuk, karena tak lagi terganggu bunyi tetesan air.

Rumah baru ini juga menjadi obat luka lama, luka karena merasa tertinggal, luka karena hidup tak layak, kini perlahan sembuh. “Alhamdulillah, sekarang saya bisa tinggal di rumah yang bagus dan nyaman,” ujarnya penuh haru.

Dalam kehidupan, rumah bukan sekadar tempat tidur, makan, dan berteduh. Rumah adalah ruang untuk membesarkan mimpi, tempat anak-anak belajar jatuh cinta pada dunia, tempat suami-istri menyulam harapan, dan tempat doa-doa dinaikkan.

Pepatah Jawa bilang, “Omah iku dudu mung tembok, nanging papan kang ndadekake ati tentrem” (Rumah itu bukan sekadar tembok, tapi tempat hati merasa tentram). Jadi ketika pemerintah, PKK, dan Baznas bahu-membahu menghadirkan rumah layak bagi warga, sesungguhnya mereka sedang membangun jiwa, bukan hanya fisik bangunan.

Kisah Djasmadi memberi kita cermin bahwa rumah bukan sekadar urusan genteng dan cat tembok, tapi urusan martabat dan masa depan. Dengan rumah yang layak, lahir semangat baru, dengan rumah yang kokoh, lahir jiwa yang lebih kuat.

Oleh sebab itu, jangan pernah remehkan makna sebuah rumah, sebab di balik dindingnya ada harga diri, di balik atapnya ada doa yang menetes, dan di dalamnya tersimpan jiwa-jiwa yang ingin terus hidup dengan bermartabat.[***]

Terpopuler

To Top