WARUNG kopi, kalender dinding biasanya hanya berfungsi dua, yakni jadi pengingat kapan bayar utang dan pajangan gambar artis dangdut lokal yang tersenyum manis sambil megang botol kecap. Tanggal merah dicoret buat janjian mancing atau arisan RT. Namun kini, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) mencoba mengubah peran kalender jadi lebih sakti. Bukan lagi sekadar pengingat “tanggal merah sama dengan tidur lebih lama”, melainkan senjata promosi wisata, dari cuti bersama, Kemenpar mau bikin “tanggal merah jadi tanggal emas”.
Sayangnya, di lapangan, wajah pariwisata Indonesia masih sering kayak tuan rumah hajatan yang panik, begitu tamu berdatangan, baru sadar kursi kurang, sound system mendadak serak, dan nasi uduk masih di kukusan. Dalam konteks wisata, begitu libur nasional datang, barulah panitia destinasi sibuk: hotel penuh, jalan macet, toilet umum antre kayak bagi-bagi sembako, dan promosi wisata malah baru nongol setelah wisatawan sudah pulang dengan muka kucel.
Sejatinya, libur nasional adalah “momok sekaligus berkah”. Momok, karena tanpa persiapan, ia bisa berubah jadi festival klakson massal di jalur mudik. Tapi ia juga berkah, karena data BPS menunjukkan libur nasional dan cuti bersama menyumbang lonjakan terbesar perjalanan wisatawan nusantara 1,02 miliar perjalanan pada 2024, naik drastis dari tahun sebelumnya.
Kalender sebenarnya bukan sekadar benda kertas yang ditempel di tembok, melainkan peta emas. Jepang sudah membuktikannya lewat Golden Week. Mereka menjadikan kalender libur sebagai panggung akbar wisata nasional. Transportasi disiapkan, promosi terintegrasi, hingga taman kota dijaga kapasitasnya. Sementara di Singapura, kalender Imlek tak hanya dirayakan dengan angpao, tapi jadi magnet wisata global jalanan Orchard Road dihias tematik, bandara dipoles dengan instalasi budaya.
Indonesia? Kalender libur masih sering dianggap kayak wangsit dadakan, padahal tanggal merah sudah ditetapkan jauh-jauh hari, tapi strategi promosi wisata sering lahir mepet. Istilahnya, esuk dele sore tempe, pagi bilang siap, sore masih bingung.
Lihat dampaknya, Ssaat libur sekolah 2025, kajian Kemenpar mencatat okupansi hotel naik 60 persen, kunjungan destinasi naik 73,1 persen, dan pendapatan destinasi melonjak 80,7 persen. Dari sisi sosial, 58,9 persen wisatawan berwisata bersama keluarga, bahkan 99,3 persen mengaku puas. Artinya, libur nasional benar-benar mesin ATM ekonomi daerah.
Sayangnya, ATM ini sering error, infrastruktur transportasi tidak menyesuaikan, promosi datang telat, sampah menumpuk di pantai, dan wisatawan akhirnya kapok. Yang rugi bukan hanya hotel atau pedagang cilok, tapi juga citra pariwisata Indonesia di mata publik. Ingat pepatah sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya, sekali wisatawan kecewa, bisa saja tahun depan mereka pindah liburan ke Penang atau Phuket.
Fenomena ini mirip hajatan desa, kalau ada tamu lebih banyak dari kursi, solusinya buru-buru pinjam ke tetangga. Begitu juga destinasi kita. Saat wisatawan membeludak, solusi daruratnya parkir dadakan, tarif dadakan, promosi dadakan. Semua serba “asal ada”. Padahal, wisata itu bisnis pengalaman. Kalau pengalaman pengunjung adalah macet, antre, dan bau got, jangankan balik lagi, review di media sosial pun jadi bumerang.
Barcelona, misalnya, sudah lama pusing dengan overtourism, alih-alih panik, mereka menetapkan kuota pengunjung di destinasi tertentu. Hasilnya? Wisatawan tetap nyaman, warga lokal tak merasa terganggu, dan reputasi kota tetap terjaga.
Seoul lain lagi, saat musim semi dengan festival bunga sakura, pemerintah menambah jalur transportasi, mempromosikan paket wisata khusus, dan menata ruang publik agar tak jadi sesak. Mereka sadar, kalender adalah senjata, bukan sekadar penanda hari.
Saatnya Indonesia naik kelas
Indonesia punya peluang sama, bahkan lebih besar, karena kalender kita penuh libur: dari Tahun Baru, Imlek, Nyepi, Lebaran, Natal, sampai libur sekolah, kalau semua ini diolah dengan strategi, bukan sekadar dihadapi dengan doa dan spanduk dadakan, maka pariwisata kita bisa naik kelas.
Yang perlu dilakukan jelas promosi berbasis kalender, bukan promosi pas wisatawan sudah pulang, tapi jauh sebelum liburan datang, manajemen kapasitas destinasi, belajar dari Barcelona, atur kuota kalau perlu. Infrastruktur darurat permanen, jalan, toilet, dan parkir harus siap, bukan sekadar tambal sulam dan kolaborasi lintas sektor, jangan cuma Kemenpar yang sibuk, tapi juga Pemda, Dishub, UMKM, bahkan warga lokal.
Kalender bukan cuma alat coret-coret di dapur, ia bisa jadi senjata strategis untuk pariwisata Indonesia. Kalau kita masih pakai mental dadakan, libur nasional hanya akan jadi sinonim macet nasional. Tapi kalau kita serius, libur nasional bisa jadi “mesin penggerak ekonomi daerah” yang adil hotel laku, UMKM panen, pedagang parkir tertib, dan wisatawan pulang dengan senyum.
Seperti pepatah, sedia payung sebelum hujan, sedia strategi sebelum liburan, jangan biarkan pariwisata kita terus jadi bahan meme. Sudah waktunya kalender Indonesia bertransformasi dari kalender warung jadi kalender emas, dari tanggal merah jadi momentum devisa.[***]