AKU mangkok, ya, mangkok yang sering kamu pakai buat makan, tapi jarang kamu dengar suaraku. Aku sudah lama di dapur ini, jadi aku punya banyak cerita kadang lucu, kadang bikin kamu mikir, tapi selalu penuh hikmah.
Setiap hari aku menampung makananmu, bubur hangat yang bikin senyum, soto panas yang bikin kamu berjoget karena kepedasan, nasi sisa semalam yang bikin kamu meringis, tapi aku sabar, aku tahu, hidup itu kadang manis, kadang pahit, kadang basi, tapi tugasku cuma menampung, nggak pernah mengeluh. Kalau aku manusia, mungkin aku sudah protes “Eh, jangan masukin sisa nasi basi itu dong!” Tapi aku mangkok, aku ikhlas.
Orang sering menganggap aku cuma benda, tapi percayalah, aku ini guru kehidupan. Aku mengajarkan tentang kesabaran menampung segala rasa, dari manis sampai getir, tanpa mengeluh.
Aku juga guru rendah hati aku tahu, mangkok lain mungkin putih bersih, tanpa lecet, tapi aku punya pengalaman aku sudah jadi saksi tawa dan air mata di rumah ini. Mangkok baru? Cantik, tapi belum tentu tahu rasanya diledek kucing karena tercebur sup panas.
Kadang aku iri sama mangkok-mangkok baru yang dipajang di etalase berkilau, rapi, sempurna. Tapi kemudian aku sadar, hidup bukan soal penampilan, tapi isi. Seberapa banyak hati yang bisa ditampung, seberapa banyak cinta yang bisa dibagi. Aku mangkok, dan aku menampung bukan cuma makanan, tapi cerita, rasa, dan kadang rahasia kecil manusia yang lupa mencuci tangan sebelum makan.
Aku punya pepatah sendiri “Jangan menilai mangkok dari luarnya, tapi dari apa yang bisa ditampungnya.” Aku menatap diri sendiri, lecet di pinggir, cat memudar, tapi aku tahu, setiap bekas itu adalah bukti bahwa aku berguna, bahwa aku pernah jadi bagian kebahagiaan seseorang.
Aku juga ingin bilang satu hal penting: jangan remehkan hal kecil. Aku mangkok, aku sederhana, tapi aku punya pelajaran besar. Kadang kamu terlalu sibuk melihat orang lain yang lebih sempurna, lebih baru, lebih kinclong. Tapi aku mengajarkanmu, kebahagiaan itu sederhana menerima, menampung, dan memberi dengan ikhlas.
Jadi, lain kali ketika kamu memegang aku, ingatlah aku bukan sekadar wadah. Aku teman setia di meja makan, guru kesabaran di dapur, dan cermin kecil yang bikin kamu sadar hidup, seperti aku, bukan soal sempurna atau cantik, tapi soal seberapa luas hati dan seberapa ikhlas kamu menampung segala rasa.
Aku mangkok, dan aku bangga jadi aku.[***]