Inspirasi

“Surat-Surat Kartini &  PR Panjang Kesetaraan Gender Indonesia”

ist

ADA pepatah Jawa bilang, “urip iku sawang-sinawang” – hidup itu tergantung cara kita memandang, namun kalau bicara tentang perjuangan perempuan, jangan-jangan sampai sekarang kita masih memandang dengan kacamata buram. Padahal sudah lebih dari seratus tahun lalu, seorang perempuan muda dari Jepara bernama Raden Ajeng Kartini menulis surat-surat yang isinya bisa bikin kita meringis, tertawa getir, sekaligus terhenyak, kok masalahnya masih sama, ya?

Ya, surat-surat Kartini, yang kini resmi ditetapkan UNESCO sebagai “Memory of the World”, bukan sekadar arsip tua yang bau lemari kayu. Ia ibarat guru yang masih aktif mengajar. Bedanya, kalau dulu Kartini harus nulis pakai tinta dan menunggu balasan berbulan-bulan, sekarang kita bisa baca di layar ponsel sambil rebahan. Tapi substansi ajarannya, tetap segar, tetap nyelekit.

Dalam salah satu suratnya, Kartini menulis kepada sahabat penanya, Stella Zeehandelaar “Kami di sini minta kepada Tuhan, supaya perempuan juga memperoleh pendidikan yang sama dengan laki-laki. Hanya dengan pendidikan itulah kaum perempuan dapat memperbaiki nasibnya” (Surat Kartini, 25 Mei 1899, Habis Gelap Terbitlah Terang).

Lha, coba kita tengok Indonesia hari ini, katanya sudah merdeka hampir 80 tahun, tapi masih ada ribuan anak perempuan di pelosok yang putus sekolah karena dinikahkan dini. Pendidikan anak perempuan masih dianggap “opsional”, kayak menu tambahan di warteg kalau ada duit ya silakan, kalau enggak ya sudah, yang penting bisa masak dan momong anak.

Ironis, kan? Kartini sudah teriak sejak 1899, tapi 2025 kita masih ribut soal yang sama. Seakan-akan PR bangsa ini tebalnya kayak skripsi tujuh bab, tapi belum juga disetor ke dosen penguji.

Kartini memang hidup dalam pingitan, ia bahkan menyebut dirinya seperti “burung dalam sangkar”. Namun, burung itu tidak diam, ia berkicau dengan tinta, dan suaranya kini menggema sampai ruang-ruang sidang parlemen.

Pertanyaannya, sudahkah kita memberi ruang bagi perempuan untuk benar-benar berkicau di politik? Memang, ada kursi kuota 30 persen di DPR, tapi sering kali kursi itu hanya jadi hiasan, kayak pajangan vas bunga di ruang tamu bagus dilihat, tapi tidak ikut menentukan menu makan malam.

Padahal, representasi politik perempuan bukan sekadar simbol, kalau hanya sekadar hadir tapi tidak bersuara, itu sama saja seperti menonton wayang tapi dalangnya tetap lelaki semua.

Isu lain yang masih relevan, perkawinan anak. Kartini dulu protes karena perempuan dipaksa menikah di usia muda, tanpa kesempatan mengejar ilmu. Eh, 2025, datanya masih bikin geleng-geleng kepala. UNICEF mencatat, satu dari sembilan perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun.

Bayangkan, seratus tahun lebih setelah Kartini, kita masih sibuk dengan urusan yang sama. Rasanya kayak nonton sinetron 300 episode, tapi konfliknya tetap itu-itu saja rebutan warisan, kawin paksa, mertua galak.

Kalau boleh jujur, kita sebenarnya butuh “Kartini digital” di zaman sekarang, bukan sekadar foto hitam-putih dengan kebaya di dinding sekolah, tapi jiwa mudanya yang berani melawan arus. Bayangkan kalau Kartini hidup di era media sosial, mungkin dia sudah jadi seleb Twitter dengan thread edukasi viral soal kesetaraan gender, atau bikin kanal YouTube berjudul “Ngaji Emansipasi”.

Surat-suratnya mengajarkan kita bahwa suara perempuan bukan sekadar keluhan dapur, tapi gagasan besar untuk bangsa. Seperti yang ia tulis

“Kami ingin sekali membuat kaum perempuan mengerti, supaya mereka tahu apa yang mereka kehendaki, supaya mereka tahu pula bahwa mereka berhak akan kemerdekaan, berhak akan kemerdekaan berpikir dan berhak pula akan bekerja.” (Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899).

Nah, kalau itu bukan bahan kuliah gratis, lalu apa?

Pelajaran tak boleh diulang

Melihat kenyataan ini, jelaslah, Kartini masih mengajar kita, ia mengajarkan  pendidikan perempuan bukan tambahan, tapi pondasi. Ia mengingatkan bahwa perkawinan anak bukan tradisi mulia, melainkan jerat masa depan. Ia menegur bahwa kesetaraan gender bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang mesti terus dirawat.

Pepatah Jawa bilang, “jer basuki mawa bea”,  segala keberhasilan butuh pengorbanan, kartini sudah membayar mahal dengan pingitan, air mata, dan surat-surat penuh rindu akan kebebasan. Kini, pertanyaannya, apakah kita tega membiarkan muridnya gagal ujian, padahal gurunya sudah kasih contekan sejak 1899?. Kalau itu sampai terjadi, artinya kita bukan hanya malas belajar, tapi juga abai pada sejarah.

Penetapan surat-surat Kartini sebagai “Memory of the World” UNESCO seharusnya bukan seremoni sekali jadi. Ia adalah alarm semacam “peringatan WhatsApp” dari masa lalu.

Bila masih ada kesenjangan pendidikan, bila anak perempuan masih dinikahkan paksa, bila representasi politik perempuan hanya sekadar kosmetik, maka bangsa ini sebenarnya belum lulus dari kelas Kartini. Kita baru sekadar menghafal teori, belum pernah serius mengerjakan soal praktik.

Surat-surat Kartini jangan sampai hanya jadi benda pameran yang indah dipandang di etalase ANRI, tapi kehilangan nyawa di kehidupan nyata. Surat-surat itu bukan hiasan dinding, melainkan peta jalan. Ia bukan nostalgia masa lalu, melainkan GPS yang menuntun kita agar tidak tersesat di masa depan.

Mari kita baca, renungkan, lalu jalankan, jangan tunggu generasi cucu kita nanti masih menulis skripsi dengan judul, “Kesetaraan Gender: PR yang Tak Pernah Selesai Sejak Kartini”. Cukuplah kita yang kebagian PR itu, biarlah generasi berikutnya tinggal menikmati hasil belajar kita, bukan menanggung ulangan susulan karena kita malas belajar.

Sejatinya, Kartini masih duduk di depan kelas bangsa ini, dengan tatapan tajam khasnya, ia mengetuk meja kayu tua sambil berkata “Anak-anak, kapan kalian mau sungguh-sungguh belajar?”. Dan kalau kita masih pura-pura tidur di bangku belakang, jangan salahkan sejarah kalau kelak nilai rapor bangsa ini merah menyala.[***]

Terpopuler

To Top