KALAU di Jawa ada peribahasa “air beriak tanda tak dalam”, di Musi Banyuasin (Muba) airnya bukan cuma beriak, tapi bisa meledak jadi minyak mentah. Sejak zaman kakek buyut, tanah Muba ini memang sudah kaya dengan sumur-sumur minyak tradisional. Bedanya, kalau dulu dikelola ala gotong royong kampung, sekarang nasibnya tersangkut di meja birokrat dan segelundung aturan pemerintah.
Legalitas sumur rakyat ini ibarat serial sinetron panjang, dari bupati satu ke bupati berikutnya, masalahnya nggak tuntas-tuntas. Gilirannya sekarang, muncul Permen ESDM No. 14/2025 yang katanya memberi jalan terang, agar sumur rakyat bisa dikelola secara sah. Tapi kalau diibaratkan lampu jalan, masih banyak bohlamnya yang kedap-kedip, bikin masyarakat bingung apakah jalan benar-benar terang atau malah setengah gelap.
Di Muba sendiri, ribuan masyarakat menggantungkan hidup dari minyak tradisional, dari sinilah dapur mereka berasap, anak sekolah dibayar, dan cicilan motor dibayar tiap bulan.
Nah, begitu aturan baru keluar, pemerintah kabupaten pun segera merapatkan barisan dengan Forkopimda. Bupati Muba, HM Toha, menegaskan bahwa kini dirinya harus berdiri sebagai kepala daerah yang berpihak pada kepentingan rakyat, bukan lagi sekadar bagian dari lingkaran bisnis minyak tradisional yang sering jadi bahan omongan warung kopi.
Masalahnya, legalitas ini bukan perkara sulap, dari segi regulasi, pemerintah pusat mensyaratkan kerja sama dengan BUMN migas. Artinya, rakyat Muba tak bisa lagi main angkat drum sendiri lalu dijual sembarangan. Harus ada skema bisnis resmi, ada standar keamanan, dan tentu ada pembagian hasil yang jelas. Kalau tidak hati-hati, rakyat bisa jadi penonton di tanah sendiri.
Di sinilah tantangannya. Pemerintah daerah dituntut jadi juru masak yang piawai, bisa mengolah bahan mentah (sumur rakyat) jadi masakan lezat (penerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat). Kalau salah bumbu, hasilnya bisa hambar atau malah bikin sakit perut. Apalagi kalau yang dapat kenyang cuma segelintir orang, sementara rakyat kebagian tulang ayam.
Dalam sejarah Muba, kita sudah sering dengar jargon “legalisasi sumur rakyat”. Tapi eksekusinya sering kayak kompor meleduk, rame di awal, asap mengepul, lalu hilang tanpa bekas.
Oleh karena itu, aturan baru ini sebaiknya jangan hanya jadi bahan pidato, melainkan benar-benar diturunkan dalam program yang konkret, mulai dari data jumlah sumur, siapa pengelolanya, sampai siapa yang berhak mendapat manfaat, dan transparansi itu adalah kuncinya.
Kalau mau adil, pemerintah bisa bikin pola koperasi rakyat, jadi para penambang minyak tradisional ini bergabung dalam wadah resmi, lalu bekerjasama dengan BUMN migas. Keuntungan bisa dibagi proporsional, ada untuk rakyat, ada untuk daerah, ada untuk pusat. Dengan begitu, rakyat tak hanya jadi pekerja kasar, tapi juga pemegang saham kesejahteraan.
Pepatah bilang, “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, maka di Muba, bumi yang dipijak itu penuh minyak, langit yang dijunjung haruslah kesejahteraan masyarakatnya, jangan sampai minyaknya disedot habis, tapi rakyatnya tetap miskin.
Legalitas migas rakyat di Muba adalah momentum penting, Pemerintah pusat sudah buka jalan lewat aturan, pemerintah daerah harus cepat menyusun mekanisme yang jelas, transparan, dan berpihak pada rakyat.
Jangan sampai aturan ini hanya jadi lembaran kertas di laci kantor, bupati dan jajarannya perlu menggandeng rakyat dalam setiap tahap. Kalau jalan ini benar ditempuh, maka Muba bisa jadi contoh nasional, daerah kaya minyak yang bukan hanya kaya di tanahnya, tapi juga makmur rakyatnya.[***]