Hiburan

Benteng Kuto Besak Menukar Dentum Meriam dengan Sorak Penonton

ist

“Festival Perahu Bidar 2025 yang Bikin Palembang Riuh”

BENTENG Kuto Besak (BKB), yang berdiri megah di tepi Sungai Musi, dulunya saksi dentum meriam, kini berubah menjadi panggung rakyat. Festival Perahu Bidar 2025 menyulap benteng tua itu menjadi arena tawa, budaya, dan persaingan sehat yang membuat Palembang riuh.

Dari pagi hingga sore, suara dayung, tepuk tangan, teriakan penonton, dan aroma kopi serta jagung bakar bercampur menjadi musik kota yang riang. Setiap sudut BKB kini dipenuhi warna-warni bendera, perahu panjang bergelombang, dan wajah-wajah gembira.

Kembali ke abad ke-18, Sultan Mahmud Badaruddin I, memulai pembangunan BKB pada 1780 dan rampung 1797. Benteng ini dirancang sebagai pusat pertahanan Kesultanan Palembang Darussalam. Di sini, para prajurit berlatih disiplin tinggi, meriam ditembakkan untuk latihan, dan komandan memantau seluruh kegiatan, memastikan rakyat dan kerajaan aman dari ancaman Belanda.

BKB bukan sekadar tembok bata, ia adalah simbol kekuatan, strategi, dan kebanggaan lokal. Bayangkan prajurit berlari-lari di halaman benteng, mengangkat meriam berat, sementara kadang ular sungai membuat mereka terloncat kaget, adegan heroik yang nyaris seperti drama komedi!.

Kini, benteng itu tetap megah, tapi dentum meriam diganti tepuk tangan, asap mesiu diganti aroma kopi dan kue lapis, menandakan perubahan zaman dari perang ke festival.

Perahu bidar yang dulu alat transportasi dan pertahanan kini menjadi “bintang utama” festival. Panjangnya bisa sampai puluhan meter, digerakkan oleh puluhan peserta yang berusaha sinkron setiap dayungnya.

Penonton, dari anak-anak hingga orang tua, ikut menikmati momen ini. Kadang perahu oleng ringan karena arus sungai atau salah koordinasi, dan itu justru menambah gelak tawa penonton. Festival ini menjadi panggung hiburan yang juga mengajarkan kerja sama, kesabaran, dan semangat kebersamaan.

Sungai Musi seolah ikut berperan arusnya berubah-ubah, kadang menolong perahu, kadang membuat peserta berpikir cepat. Sungai itu seperti karakter tersendiri setia menemani, memberi tantangan, tapi selalu indah untuk disaksikan.

Lomba perahu bidar menyajikan kombinasi kompetisi dan komedi ringan. Ada tim yang serius latihan selama sebulan, ada yang ikut karena ingin bersenang-senang, ada pula yang dayungnya tidak sinkron tapi tetap semangat.

Tiap peserta punya cerita unik, seorang kakek ikut lomba karena ingin mengenang masa muda, selain anak-anak yang ikut lomba mini belajar kerja sama, tertawa ketika perahu oleng, tapi tetap semangat dan warga yang menonton memberi semangat, tepuk tangan, dan kadang sorak-sorai seru.

Festival ini menunjukkan bahwa persaingan sehat bisa menghibur, bukan memecah belah, dan semua orang tetap merasa menjadi bagian dari kebersamaan.

Tak hanya lomba perahu, festival ini menjadi magnet ekonomi kreatif, pedagang kuliner menjual jagung bakar, kue lapis, kopi panas, dan jajanan tradisional lainnya. Souvenir dan cendera mata khas Palembang pun laris manis.

Pengunjung yang datang dari dalam dan luar kota ikut berkontribusi pada pendapatan asli daerah (PAD), sekaligus merasakan budaya lokal secara langsung. Festival ini membuktikan bahwa budaya bisa menjadi sumber rezeki, dan kebahagiaan bisa bersatu dengan ekonomi kreatif.

Bayangkan suasana aroma kue lapis, suara gelak tawa, riuh tepuk tangan, dan aroma kopi hitam semua bercampur menjadi musik kehidupan yang hangat dan menyenangkan.

Ratusan petugas berjaga, polisi, Satpol PP, tim kesehatan, serta sukarelawan. Ambulans darat dan sungai siap sedia, tetapi insiden serius jarang terjadi, kebanyakan hanya menambah cerita lucu bagi penonton.

Parkir resmi disediakan di bawah Jembatan Ampera dan di sekitar Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, sehingga arus kendaraan tetap tertata rapi, tidak mengganggu festival. Semua pihak bekerja sama memastikan keselamatan, kenyamanan, dan kelancaran acara.

Karakter tak tergantikan

Sungai Musi bukan hanya lokasi lomba, tapi karakter tersendiri, ia mengajarkan fleksibilitas arusnya mengalir, kadang cepat, kadang lambat mirip hidup.

Perahu yang bergerak harmonis selaras dengan arus menunjukkan kerja sama dan keselarasan, sementara yang oleng mengingatkan untuk tetap waspada dan belajar dari pengalaman.

Sungai juga menjadi saksi interaksi manusia pedagang, penonton, peserta, semuanya saling terhubung. Tanpa Musi, festival ini tak akan sehidup itu, tak akan seindah itu.

Festival Perahu Bidar 2025 di Benteng Kuto Besak mengajarkan banyak hal, pertama kerja sama itu penting, seperti dayung yang harus sinkron agar perahu bergerak lancar, ke dua, sejarah bisa dirayakan, karena Benteng yang dulunya medan perang kini menjadi panggung tawa dan persaudaraan, ke tiga budaya dan ekonomi bisa bersatu, sebab hiburan, kuliner, dan kerajinan lokal menjadi sumber rezeki sekaligus pelestarian budaya, dan hidup jangan terlalu serius, tapi jangan hilang arah, artinya  fleksibilitas, seperti arus Sungai Musi, tawa dan kerja keras harus seimbang.

Dari dentum meriam ke sorak penonton, dari aroma mesiu ke aroma kue lapis dan kopi, BKB mengajarkan bahwa masa lalu dan masa kini bisa bersatu dalam harmoni. Festival ini bukan hanya hiburan, ia adalah pelajaran hidup yang dibungkus budaya, humor, dan kegembiraan rakyat.

Selamat merayakan kemerdekaan RI ke-80, Palembang!. Semoga semangatnya mengalir seperti Sungai Musi yang tak pernah surut, membawa tawa, kerja sama, dan budaya ke generasi berikutnya.[***]

Terpopuler

To Top