“Gajah Modern vs Ayam Kampung yang Kelelahan”
DI Palembang, belanja itu bukan cuma soal perut kenyang, tapi juga urusan gaya hidup dan gengsi. Dulu, pergi ke pasar rakyat sudah cukup bikin hati senang ketemu pedagang sayur yang hafal utang kita, salaman sama penjual ikan yang senyumnya lebih manis dari gula pasir, dan pulang bawa kantong plastik aroma campuran daun pisang, cabai, dan sedikit peluh perjuangan tawar-menawar.
Sekarang, cerita berubah, troli beroda, pendingin ruangan, dan rak-rak barang yang tersusun rapi bak parade upacara mulai menggeser pemandangan lama. Belanja jadi mirip rekreasi sambil dorong keranjang, sambil selfie, sambil pura-pura ngitung belanja padahal ngincar promo “beli dua gratis satu” yang sering bikin orang lupa niat awalnya cuma beli kecap.
Kamis, 14 Agustus 2025 kemarin, Jalan Merdeka di Talang Semut agak riuh, bukan karena ada lomba panjat pinang atau pawai obor, tapi karena Super Indo resmi membuka gerai barunya. Wali Kota Palembang, Ratu Dewa, hadir langsung. Pidatonya rapi ini akan memudahkan belanja warga, membuka lapangan kerja, dan mendorong roda ekonomi kota.
Kalau kata pepatah, “Air deras memang menyegarkan, tapi juga bisa menghanyutkan”, sebab kehadiran ritel modern memang membawa kenyamanan, tapi arusnya bisa menyeret warung kecil di kampung yang modalnya cuma sekarung mie instan dan setengah sak gula pasir.
Warung kecil di kampung itu ibarat ayam kampung yang diminta adu lari sama gajah modern bersepatu roda. Jalannya pelan, napasnya pendek, tapi lawannya bisa muter kampung sambil nyanyi jingle promo dan bagi-bagi voucher.
Dulu, warung jadi jantung kehidupan kampung, butuh kopi?. Tinggal bilang “Bu, utang dulu.” Mau beli telur? Bisa beli tiga butir, dibungkus koran bekas halaman iklan. Tapi sekarang, pembeli lebih tergoda sama telur di rak dingin yang dibungkus rapi tray plastik, padahal harganya selisihnya cuma segelas teh manis.
Apalagi ritel modern lain yang warnanya biru-merah atau kuning, hijau sudah merambah kampung-kampung. Ada cerita getir di pinggiran kota, Indomaret berdiri di seberang Alfamart, dan di tengahnya ada satu warung kecil. Warung itu seperti anak ayam diapit dua sapi perah nggak mati sih, tapi menciut tiap hari.
Kalau Palembang tampaknya masih membuka pintu lebar untuk ritel modern, beberapa daerah justru pasang pagar tinggi.
Contohnya Padang terkenal steril dari minimarket waralaba nasional, bukan anti-modern, tapi Pemkot membatasi supaya toko kelontong dan minimarket lokal tetap hidup. Hasilnya? warga belanja di “Minimarket Ajo” yang logonya mirip minimarket nasional tapi rasa pelayanannya Minang banget.
Aceh Besar punya Qanun Nomor 8 Tahun 2022 yang mengatur jarak ritel modern dari pasar tradisional. Nggak bisa asal buka di samping warung Pak Udin.
Pati, Jawa Tengah, punya Perda Nomor 2 Tahun 2019 yang melarang minimarket berdiri terlalu dekat dengan pasar rakyat. Filosofinya ayam kampung tetap harus punya halaman sendiri, bukan numpang di teras rumah gajah.
Secara nasional, sebenarnya ada Perpres 112/2007 dan Permendag 70/2013 yang mengatur zonasi pasar modern. Tapi, seperti pepatah, “Pagar bambu pun bisa dilompati kalau niatnya kuat”
Kembali ke Talang Semut, suasana di dalam gerai Super Indo memang bikin betah. AC dinginnya pas, rak tersusun seperti pasukan parade, kasir menyapa dengan senyum seputih iklan pasta gigi. Warga berbondong-bondong, ada yang belanja, ada yang cuma lihat-lihat, ada yang ikutan antre karena mengira bagi-bagi sembako gratis.
Di ujung gang, pemilik warung kecil, hanya manyun bahkan cuma bisa geleng kepala. “Kalau orang sudah belanja di sana, siapa yang mau beli di sini?”, ketika membaca kabar ini.
Fenomena ini seperti dua sisi mata uang, satu sisi, ritel modern memberi efisiensi dan peluang kerja. Sisi lain, ia jadi palu godam bagi ekonomi mikro di kampung. Kalau dibiarkan, warung-warung kecil akan tinggal cerita, seperti kenangan warung Bu Ani yang dulu terkenal jual kopi panas sambil nyelipin gosip tetangga.
Ritel modern itu memang memanjakan, belanja bisa sambil cuci mata, nyium aroma roti panggang, atau sekadar numpang dingin. Tapi kota yang sehat itu ibarat sayur lodeh enak kalau isinya beragam ada labu, kacang panjang, tempe, dan santan. Kalau isinya cuma tahu putih raksasa, cepat bikin enek.
Pepatah Palembang bilang, “Jangan sampai karena nak makan ketan, kelupaan makan nasi”. Dalam konteks ini, jangan sampai demi memajukan ekonomi lewat ritel modern, kita kehilangan denyut ekonomi kampung yang jadi pondasi keseharian.
Warung kecil juga perlu beradaptasi. Bisa lewat pelayanan personal, barang unik, atau sistem “bayar nanti” yang jadi andalan sejak zaman nenek buyut. Tapi tanpa aturan main yang tegas, mereka akan terus jadi ayam kampung yang dikejar gajah di arena aspal.
Kalau Palembang mau meniru keberanian Padang, Aceh Besar, atau Pati, bukan mustahil ritel modern dan warung kecil bisa hidup berdampingan. Gajah modern tetap bisa muter kampung bawa diskon, tapi ayam kampung masih bisa berkokok di halamannya sendiri.
Selamat datang, Super Indo Talang Semut, bawa kenyamanan belanja, dorong ekonomi kota, tapi jangan sampai meredupkan lampu bohlam kuning warung kampung di malam hari.
Karena kota yang benar-benar maju bukan cuma punya mall megah, tapi juga punya warung kecil yang tetap tersenyum meski kadang nafasnya ngos-ngosan melawan gajah bersepatu roda.[***]