DI LAPANGAN Graha Kemenpora, udara Senayan belum sempat ngopi, tapi emak-emak dari berbagai usia sudah tancap gas. Bukan buat rebutan diskonan, tapi buat satu kegiatan yang bisa dibilang senam berbalut budaya, dibumbui kebugaran, dibungkus kebersamaan.
Namanya aja udah lucu “Ikan Nae di Pante”, kalau dibaca cepat, kita bisa kebayang seekor ikan yang lompat-lompat riang di pantai sambil nyanyi dangdut remix. Tapi tunggu dulu, ini bukan cuma soal goyang lucu, namun ini tentang ngangkat budaya Nusa Tenggara Timur ke level nasional, bahkan (semoga) ke Internasional.
Senam ini disosialisasikan barengan sama peringatan 7 tahun Poco-Poco GWR (bukan GWR motor ya, tapi Guinness World Records). Kemenpora nggak tanggung-tanggung, kolaborasinya rame ada Dharma Wanita Persatuan (DWP), KORMI, dan Federasi Olahraga Kreasi Budaya Indonesia alias FOKBI, sebuah singkatan yang kalau dibaca sekilas, mirip nama snack ringan, tapi isinya berat urusan budaya dan kesehatan bangsa.
Ratusan peserta yang hadir mayoritas kaum ibu, jangan remehin mereka, meski lengan kanan biasa buat ngulek sambel dan tangan kiri gendong cucu, pas giliran senam, mereka luwesnya ngalahin instruktur Zumba, dari Poco-Poco ke “Ikan Nae di Pante”, gerakannya lincah, ekspresif, kadang nyenggol nostalgia, kadang bikin kita mikir ini olahraga atau parade budaya?
Menurut Sekretaris Kemenpora, Gunawan Suswantoro, senam ini potensial banget buat jadi ikon baru, saking kompaknya peserta, beliau sampai ngebayangin ini bisa digelar massal di GBK. Bisa jadi kita akan punya rekor dunia baru “Senam Budaya dengan Jumlah Emak Terbanyak tanpa Komando, tapi Kompak”.
Dalam hidup memang benar kata pepatah “Dimana ada emak-emak, di situ ada kekuatan nasional yang belum terukur.”
Senam “Ikan Nae di Pante” bukan sekadar olahraga, ia adalah bentuk cinta tanah air yang dikoreografi, setiap gerakannya menggambarkan kehidupan nelayan dan petani di NTT. Bayangkan, kita nggak perlu terbang ke Flores buat belajar soal budaya mereka, cukup ikut senam ini dapat cardio, dapat makna.
Menurut Analis Kebijakan Ahli Utama, Imam Gunawan, partisipasi olahraga memang makin tinggi. Tapi intensitasnya masih kurang greget. Banyak yang olahraganya cuma niat, abis itu cancel karena hujan, malas, atau belum gajian. Nah, kegiatan kaya gini bisa jadi jembatan. Kita nggak cuma digerakkan oleh beat musik, tapi juga oleh identitas bangsa.
Bener kata dia, olahraga dan budaya itu seperti sambal dan nasi, beda fungsi tapi kalau disatukan bisa bikin hidup lebih bermakna.
Acara ini juga bukan cuma soal goyang dan berkeringat, ada stan-stan UMKM buat cuci mata sambil nyari oleh-oleh. Ada doorprize juga yang bikin semangat makin membara, dari mulai rice cooker sampai setrika uap, semua jadi pemicu semangat emak-emak buat senam sambil ngintip hadiah.
Jangan salah, hadir pula para pejabat penting dari Kemenpora, termasuk Deputi Pembudayaan Olahraga Sri Wahyuni, Deputi Pengembangan Industri Olahraga Raden Isnanta, hingga Ibu Wamenpora Ami Gumelar. Kehadiran mereka bukan formalitas, tapi tanda bahwa budaya dan olahraga rakyat bukan sekadar kegiatan iseng, tapi agenda negara.
Kadang kita lupa, kalau olahraga bukan cuma buat bikin perut rata atau paha kencang, juga soal bagaimana kita bisa bersama, bergerak dalam satu irama, dari generasi muda sampai para sesepuh yang semangatnya tak pernah pensiun.
Senam “Ikan Nae di Pante” adalah pengingat kita punya harta karun dalam bentuk gerakan budaya, kita tinggal ngemas, viralin, dan bawa ke dunia, jangan kalah sama lagu-lagu TikTok yang kadang viral tanpa makna.
Ingat pepatah“Bangsa yang kuat bukan cuma yang punya senjata, tapi yang otot perut dan budaya lokalnya sama-sama terawat”
Ayo, kita gerak, sambil ketawa, sambil bangga, kalau ikan bisa naik ke pantai, masa kita nggak bisa naikkan budaya ke pentas dunia?.
Kalau kamu pagi-pagi masih rebahan sambil scroll IG, inget di luar sana emak-emak udah senam, budaya udah bergerak, dan bangsa ini nunggu kamu ikut goyang juga.
Yuk, kita senam dulu…
Ikan nae… di pantee… hoee hoee!.[***]