Agribisnis

“Kalau Udang Bisa Disiplin, Kenapa Kita Masih Kena Tolak Visa?”

ist

Belajar dari Udang Ekspor yang Lebih Lengkap Dokumennya dari Kita Sendiri

DI NEGERI yang setiap musim liburan ramai antrean bikin paspor, ada ironi yang tak bisa disapu pel, seekor udang black tiger beku asal Sumatera Selatan bisa mendarat mulus di Tokyo, padahal dia nggak pernah ikut kursus IELTS, nggak pernah bikin janji temu di VFS, dan bahkan nggak ngerti “arigatou” itu artinya apa.

Lha kita aja mau liburan ke Jepang, baru sampai loket udah disuruh pulang gara-gara pas foto miring dan slip gaji pakai editan.

Iya, bro!. Udang sekarang lebih punya masa depan global daripada kita, udang nggak cuma berenang di tambak, dia juga berenang dalam sistem dokumentasi ekspor yang disiplin, steril, dan rapi jali. Mulai dari uji laboratorium, sertifikat bebas virus, penerapan standar HACCP, sampai dokumen ekspor karantina, semuanya dicek bahkan  lengkap dan akurat, gak ada yang pakai alasan “Ketinggalan di rumah tadi, Bu”.

Udang itu tahu cara kerja dunia, Kita? kadang baru sadar paspor mati setelah duduk di ruang tunggu.

Coba bandingkan proses ekspor udang ke Jepang dengan kita yang mau ambil visa Schengen.
Udang dicek lab, ebas virus, sertifikat lengkap, packing vakum dan tanggal pengiriman presisi

Sementara kita surat kerja pakai kop surat warnanya pudar, hotel booking fiktif dari situs gratisan, tiket pulang belum beli, nunggu diskonan. Tujuan nginep di “rumah saudara”, padahal kenal juga baru di Facebook.

Kalau pakai perumpamaan, ini kayak udang datang ke pesta pakai jas, dasi kupu-kupu, dan parfumnya Armani. Sementara kita datang pakai kaos “I Love Bali” dan celana bolong, terus protes kenapa gak dibolehin masuk ballroom.

Apalagi, Jepang itu bukan cuma pencinta sushi dan Shinkansen, mereka juga negara yang sistemnya udah kayak mesin fotokopi presisi, berisik, tapi jarang rusak.

Mereka bukan cuma lihat udangnya gede, tapi udangnya sehat?, bebas white spot virus?, ada sertifikat?, rantai dinginnya konsisten?, sudah HACCP atau cuma HAPE PANAS?.

Jepang itu punya sistem, begitu dokumen lengkap, barang datang, dicek cepat, lalu boom  masuk restoran bintang lima.
Coba bandingkan dengan kita, mau kirim barang lewat kurir aja, alamat rumah salah, nomor HP gak aktif, ditanya “rumah warna apa?” jawabnya “dekat warung Bu Siti”.

Oleh karena itu, udang black tiger itu gak bisa ngomong, gak bisa buka Google Translate, tapi bisa tembus pasar global. Kenapa? karena dia punya track record bersih, sertifikasi lengkap, dan sistem dukungannya jalan. Petambak, laboratorium, hingga petugas karantina kerjanya padu kayak boyband Korea kompak dan rutin uji kesehatan.

Kita sering kalah sebelum berangkat karena merasa cukup dengan niat. Padahal dunia ini bukan lomba niat. Dunia ini lomba siapa yang paling siap dokumen dan gak pakai alasan “laptop rusak semalam”.

Nah, kalau sistem ekspor udang bisa seteliti itu, kenapa kita gak bisa bikin sistem pelayanan visa dan dokumen publik yang serapi itu juga? Kadang justru yang lebih kompleks (kayak urusan ekspor pangan) bisa selesai dengan baik, karena SOP-nya dijalankan. Sementara kita ngurus KK aja, kadang harus lewat jalur “temen yang kerja di kelurahan”.

Belajar yuk, dari udang, ia itu tak bersuara, tapi tindakannya tegas.
Ia tak punya KTP, tapi berkasnya lengkap.
Ia tak bisa wawancara, tapi hasil lab-nya bersinar.
Ia tak kenal calo, tapi bisa mendarat di Haneda.

Kadang hidup ini memang keras, bro. Tapi bukan berarti kita kalah dari crustacea.

Udang itu bukan sekadar lauk, dia simbol, bahkan jadi  simbol bahwa yang sederhana pun bisa mendunia kalau tertib, bersih, dan didukung sistem yang solid. Jadi, sebelum marah-marah kenapa visa kamu ditolak, coba cek dulu jangan-jangan kamu kalah lengkap sama dokumennya udang.

Ingat pepatah lama dari tambak “Siapa yang serius soal sertifikat, dialah yang akan disajikan di meja dunia”

Kalau udang bisa Go Internasional, masa kamu masih stuck di grup WhatsApp alumni?.[***]

Terpopuler

To Top