Ekonomi

PINGGIR JALAN : “Bendera Dijemur Seperti Sarung, Parjo Tetap Kibarkan Semangat 17-an!”

ist

PAGI minggu pukul 07.00 di Jalan RE Marthadinata, Palembang, udara masih adem. Pohon-pohon tua berdiri tenang, daunnya bergoyang pelan, seolah menyambut tamu bulanan pedagang bendera musiman. Dari ujung Jalan May Zen sampai Sei Selayur, suasana mirip lomba fashion show, tapi pesertanya bukan model, melainkan bendera merah putih yang dijemur di tali plastik.

Iya, betul… dijemur…..
Bukan karena habis dicuci, tapi karena sedang dijual.

Para pedagang ada empat titik sepanjang jalan itu memasang bendera di tali tambang plastik yang diikat dari pohon ke pohon, tiap sepuluh meter jaraknya. Mirip teknik menjemur sarung lebar, cuma kali ini yang dijemur bukan buat shalat, tapi buat semangat kemerdekaan.

Salah satu penjemur bendera profesional adalah Parjo. Pria tangguh berumur 37 tahun ini, kalau disuruh milih antara hujan deras atau dagangan gak laku, dia bakal pilih… dua-duanya udah sering.

“Udah dari akhir Juli kemarin mulai narik tali dari pohon ke pohon. Benderanya dipajang kayak jemuran biar pembeli bisa lihat jelas. Ada yang ukuran kecil buat motor, ada yang gede buat gapura RT Harga dari Rp15 ribu sampe Rp350 ribu, tinggal pilih,” ujar Parjo, sambil memperbaiki posisi bendera yang nyangkut di ranting.

Setiap hari, Parjo gelar dagangannya pagi-pagi. Hasilnya? Kadang satu terjual. Kadang dua. Kadang sepuluh kalau semesta sedang baik hati. Tapi di hari lain, ya zonk. Cuma bendera yang berkibar, sementara dompet Parjo malah makin lemas.

Sepanjang RE Marthadinata, pemandangan jemuran bendera ini jadi atraksi gratis. Orang lewat pelan, sebagian nanya harga, sebagian besar cuma nanya doang, terus kabur.

Parjo tahu, jualan menjelang Agustusan itu bukan dagang biasa. Ini dagang rasa nasionalis dan musiman. “Yang kita jual bukan cuma kain. Ini simbol perjuangan. Tapi kadang ya, semangat orang-orang lebih tinggi dari niat beli,” katanya sambil ketawa kecil.

Suatu kali, seorang pembeli menawar bendera Garuda ukuran jumbo. “Berapa Bang?”
“350 ribu, Bu.”
“Wah… bisa cicilan gak?”

Parjo cuma nyengir. Dalam hati dia tahu, kalau semangat cinta tanah air bisa dicicil, mungkin Indonesia sudah lunas dari “utang” sejak zaman Belanda.

Tali-tali yang dibentangkan dari pohon ke pohon itu bukan cuma pengganti etalase, tapi jadi simbol perlawanan pedagang kecil terhadap kerasnya hidup. Benderanya berkibar bukan karena angin saja, tapi karena ada usaha, keringat, dan harapan.

Di antara bendera yang dijemur itu, ada cerita-cerita kecil tentang anak Parjo yang butuh uang sekolah, tentang istri Parjo yang udah bosan makan tahu goreng terus, dan tentang cicilan motor yang mendekati tenggat.

Namun meski semua itu membebani, tiap pagi Parjo tetap datang, memasang tali, menggantung bendera, dan menggantung harapan.

Menjelang HUT RI ke-80 ini, Jalan RE Marthadinata bukan cuma jalur kendaraan, tapi juga jalur perayaan. Lewat deretan bendera yang dijemur di pohon-pohon, para pedagang kecil seperti Parjo mengibarkan semangat dari sisi jalan.

Jadi kalau kamu lewat sana, jangan cuma ngeluh macet atau nyalip dari kiri. Lihatlah ke pinggir jalan, lihat bendera yang dijemur, dan sadari nasionalisme itu tak selalu megah. Kadang, dia hadir dari tali tambang, sebatang pohon, dan seorang Parjo yang terus berjuang.

Karena cinta tanah air bisa dimulai dari beli bendera Rp15 ribu. Bukan status di Instagram, tapi bendera di pagar rumah.[***]

 

Terpopuler

To Top