NEGARA ini kadang lebih lihai mengganti baliho tokoh ketimbang menambal jalan berlubang. Tapi ada satu kabupaten yang bikin kejutan tanpa drama, yakni Musi Banyuasin alias Muba.
Bukan bikin sensasi, tapi benar-benar bikin solusi, di bawah duet maut H M Toha SH dan Kyai Rohman, Muba berhasil menyulap urusan hukum jadi barang sehari-hari 100% desa dan kelurahan sekarang punya Pos Bantuan Hukum (Posbakum).
Bukan janji waktu kampanye, bukan sekadar tulisan di mading balai desa, ini betulan kejadian. Sebuah langkah waras di tengah negara yang kadang lebih doyan bikin seremoni daripada aksi.
Coba pikir aja di sebuah dusun terpencil yang sinyal HP-nya naik-turun kayak mood mantan, kini ada papan nama kecil bertuliskan “Posbakum”.
Di dalamnya, ada orang-orang yang siap membantu warga mencari keadilan, bukan cuma mencatat keluh kesah untuk arsip kelurahan.
Dahulu, untuk urusan hukum, warga desa harus menumpang truk ke kota, bawa amplop, dan berharap nasib baik. Sekarang? Warga tinggal datang ke Posbakum desa, tak perlu takut ditarik biaya konsultasi yang lebih mahal dari harga dua karung beras.
Pepatah lama bilang, “Jauh di mata, dekat di hukum” Nah, Muba membalik pepatah itu, sekarang, “Meski jauh di pelosok, hukum tetap dekat dan gratis.”
Penghargaan dari Menteri Hukum dan HAM RI pun mendarat manis ke pangkuan Muba. Tapi bukan itu intinya. Ini bukan soal piala dan piagam yang dipajang di lobi kantor bupati. Ini tentang bagaimana pemerintah hadir bukan hanya saat seremoni, tapi juga ketika rakyat ditindas karena ketidaktahuan hukum.
Bupati H M Toha dan Wakilnya Kyai Rohman ternyata tak cuma pandai senyum di baliho. Mereka ini ibaratnya bukan pemain sulap politik, tapi lebih mirip petani hukum.
Mereka menyemai Posbakum di setiap jengkal desa, lalu menyirami dengan pelatihan paralegal, dan memupuknya dengan kerja sama antar kampus hukum. Buahnya? Masyarakat yang lebih melek hukum, dan aparat desa yang tak lagi bingung saat warga tanya, “Pak, saya digugat, harus ke mana?”
Jangan kaget kalau nanti kamu bertemu tukang ojek yang juga tahu pasal perdata. Atau ibu PKK yang bisa bedain mana hukum waris Islam dan hukum waris adat.
Ini semua karena pelatihan paralegal yang digelar massal. 6.687 peserta dari seluruh penjuru Sumsel ikut belajar hukum baik luring maupun daring dan akan diberi gelar non-akademik dari Kemenkumham. Ini semacam universitas hukum rakyat, tapi tanpa utang kuliah.
Sumatera Selatan, yang dulunya lebih dikenal karena pempek dan Sriwijaya FC, kini bisa bangga karena membentuk 3.258 Posbakum di seluruh wilayahnya, 100% tuntas, dan dicatat oleh MURI. Tapi prestasi ini bukan untuk selfie di media sosial.
Gubernur Sumsel, Dr H Herman Deru, menyebutnya sebagai “kesadaran kolektif akan pentingnya akses hukum bagi rakyat kecil.” Kalimat itu memang berat, tapi maksudnya jelas keadilan tak boleh hanya milik orang kota dan orang kaya.
Fungsi utama Posbakum ini bukan cuma tempat konsultasi. Ia adalah benteng keadilan desa. Di sana, masyarakat bisa minta nasihat hukum tanpa perlu takut biaya. Di sana pula para advokat dan pengacara bisa mengabdi, bukan cuma mencari klien tebal dompet.
Memberikan Bantuan Hukum, dari urusan waris, utang piutang, hingga konflik tanah warisan yang lebih ribet dari sinetron.
Perlindungan Masyarakat Tak Mampu karena hukum tak boleh membeda-bedakan dompet.
Akses Mudah Tanpa harus naik travel ke kota dan ditolak karena pakai sandal jepit.
Wadah Konsultasi Aman dan Gratis karena warga tak selalu butuh pengacara, kadang cukup orang yang bisa menjelaskan hukum dengan sabar.
Kisah ini adalah pengingat bahwa hukum tak harus rumit. Ia harus hadir di tengah rakyat, menyapa dengan ramah, dan menjelaskan tanpa jargon. Dan Muba telah membuktikannya. Keadilan tidak harus punya gedung mewah, kadang cukup sepetak ruangan di kantor desa, tapi dengan hati besar dan niat mulia.
Masyarakat kita sering kali baru cari bantuan hukum setelah tertimpa masalah, seperti orang yang baru ingat dokter gigi saat giginya sudah copot. Posbakum harus mengubah budaya itu masyarakat berani bertanya sebelum masalah membesar, dan negara siap menjawabnya tanpa pamrih.
Jadi, kalau kamu masih berpikir hukum itu urusan orang kota, ingatlah Muba dan Posbakum-nya. Di sanalah keadilan bukan hanya janji pemilu, tapi sudah jadi kebiasaan.[***]