Parade Bunyian di Palembang 2025, Lawang Borotan disulap jadi panggung kolosal! Musik, teater, rupa, sastra, hingga kuliner lokal bersatu dalam satu gebukan kreativitas. Yuk intip keseruannya!
DI Palembang, ada satu adagium lawas yang makin relevan “Kalau seni sudah bicara, yang waras jangan cuma diam di rumah”, dan benar saja, akhir Juli 2025 kemarin, kawasan heritage Lawang Borotan seperti habis disulap jadi studio raksasa Komunitas Musik Kawan Lamo dan Dewan Kesenian Palembang (DKP).
Nama acaranya Parade Bunyian, tapi jangan keliru, ini bukan cuma parade musik doang, seperti warung kopi yang isinya bukan cuma kopi, tapi juga obrolan panjang soal hidup, cinta, dan kenangan sama mantan.
Bunyian yang dimaksud di sini bukan cuma dari gitar atau drum, tapi juga dari suara kuas pelukis yang menggerus kanvas, dari hentakan kaki penari Tanggai, bahkan dari tawa penonton yang digodain MC Loedy & Rizma featuring Mamen duo yang kalau jadi petasan mungkin sudah meledak dari awal acara.
Kalau kata Ketua Panitia, Nandi, acara ini bukan sekadar show, tapi semacam open mic budaya. Musik, tari, teater, seni rupa, film, sastra, semuanya ikut antre di satu panggung. Bahkan, aroma bakso tetangga pun ikut masuk komposisi irama.
Ada momen ajaib saat para pelukis seperti Rudi, Don Tiger, Gede, dan Yan Komik menari dengan kuasnya. Imajinasi mereka membatik sejarah Kesultanan Palembang di atas kanvas, yang bikin mata berair bukan karena cat thinner, tapi, karena tiga lukisan langsung laku dilelang di akhir acara. Lelang dadakan ini seperti mie instan cepat, panas, dan bikin kenyang apresiasi.
Kata Martha Astra dari Komite Seni Rupa DKP, ini bisa jadi pola baru. “Seniman kerja on the spot, penonton ikut menikmati, dan di ujung acara… seni berpindah tangan, bukan cuma jadi kenangan”
Dari Bendenget Home Band yang menyapa malam pertama, hingga Tanjack Kultur yang membawa suara alam dan tradisi dalam bungkus modern, semuanya sah tampil.
Bahkan Ali Goik sempat membuat penonton bengong dengan lagunya yang satir, “Kami Bukan Hama”, lagu yang cocok dinyanyikan di DPR kalau mic-nya masih nyala.
Tak ketinggalan Don’t to Earth, Second Jumper, dan Orkes Penampilan Terakhir, meski tampil terakhir tetap tampil gagah seperti nasi goreng tengah malam masih nikmat walau waktu udah lewat.
UMKM kuliner pun tak kalah semangat. Ada yang jual kopi arang, ada yang goreng pempek sambil ikut joget. “Kami gak cuma dagang, tapi juga nonton,” kata salah satu pedagang sambil ngipas sate. Ini baru simbiosis mutualisme seniman perform, penonton kenyang, pedagang cuan.
Usai acara, Mpit dari Kawan Lamo, Asrul Indarwan, Firdaus Hizbulah, Iqbal Rudianto dari DKSS, sampai perwakilan Dinas dan BPK bergantian memberi apresiasi.
Kalimatnya hampir senada “Lanjutkan, jangan padamkan obor ini”. Bahkan Kabid Film dari Dinas Kebudayaan yang mengaku belum bisa bantu banyak pun tetap ngasih semangat, kayak mantan yang datang pas kita udah bahagia.
Parade Bunyian bukan cuma acara, ia semacam penegasan bahwa Palembang masih punya denyut seni yang bisa bikin jantung budaya berdetak lagi. Tak perlu menunggu gedung kesenian megah atau subsidi jumbo. Cukup semangat gotong royong, amplifikasi komunitas, dan kepercayaan bahwa bunyi itu harus dibunyikan, bukan disimpan.
Lawang Borotan tak hanya jadi tempat swafoto atau ngabuburit, namun telah menjelma jadi simpul kebudayaan baru. Tempat bunyi bertemu bunyi, rasa bertemu rasa, dan masyarakat bertemu cermin budaya mereka sendiri.
Kalau begini caranya, jangan heran kalau tahun depan, Parade Bunyian bukan cuma jadi agenda lokal, tapi masuk kalender wajib nasional, ingat pepatah “Yang tidak ikut berseni, bisa-bisa hidupnya jadi sepi”.[***]