Agribisnis

“Panen Raya di Banyuasin, Tikus, Tanggul & Taktik Nasional Menaklukkan Perut Negeri”

ist

PAGI kemarin, di Desa Maju Ria, angin bertiup pelan membelai pucuk-pucuk padi yang sudah masak. Petani-petani tampak sumringah, mereka tak cuma menanti bulir padi yang montok-montok seperti dompet saat baru gajian, tapi juga menanti kedatangan bintang tamu utama, bukan Sule atau Ayu Ting Ting, tapi Gubernur Sumsel, H. Herman Deru.

Untuk melaksanakan paner raya, tentu saja, panen raya kali ini bukan sekadar panen biasa, karena ini adalah IP 200 panen dua kali setahun!, sebuah prestasi pertanian yang kalau diibaratkan ujian nasional, nilainya sudah cumlaude, tinggal nunggu ijazah dari Menteri Pertanian.

Dengan panen raya itu, Sumatera Selatan kini bukan cuma jago soal nyanyian Gending Sriwijaya atau durian Palembang yang bisa bikin kerongkongan nyengir seminggu. Tapi juga jago soal produksi padi, Tahun 2024, Banyuasin menyumbang 948.089 ton GKG (Gabah Kering Giling), menempati peringkat ke-4 nasional, setingkat lagi, tinggal geser ke podium top 3 bersama Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Mungkin kalau Banyuasin ikut Liga Padi Nasional, pialanya sudah disimpan di rumah dinas bupati.

Tapi di balik kejayaan panen ini, ada cerita tikus yang tak bisa dianggap remeh, bukan tikus berdasi seperti di film-film KPK, tapi tikus sawah yang bikin petani garuk-garuk kepala sambil bersedih di pinggir pematang.

Belum lagi air asin yang nyelonong masuk ke sawah karena tanggul jebol, air asin ini lebih jahat dari mantan yang datang pas kita lagi bahagia.

Seperti kata pepatah, “Di mana ada kemauan, di situ ada jalan… dan di Banyuasin, jalan itu harus dibeton dulu biar traktor gak nyangkut”. Sukses pertanian bukanlah hasil dari cuaca cerah semata, tapi dari kedisiplinan petani yang bangun pagi sebelum alarm berbunyi, dari PPL yang rela blusukan ke sawah ketimbang duduk manis di kantor ber-AC, dan dari pemimpin daerah yang lebih doyan pakai sepatu boot ketimbang sepatu pantofel saat panen.

Gubernur Herman Deru mengingatkan “Disiplin itu kuncinya”, Nah, kalau ini sih cocok dijadikan slogan nasional, seperti “Bhinneka Tunggal Ika” versi sawah.

Bayangkan, kalau seluruh petani Indonesia disiplin tanam dan panen, negeri ini tak perlu impor beras dari negara yang lahannya saja kalah luas dari kebun tetangga kita di OKU Timur.

Menurut BPS Sumsel, produksi padi Sumatera Selatan tahun 2024 mencapai 2,73 juta ton GKG, menjadikannya salah satu provinsi dengan kontribusi signifikan terhadap ketahanan pangan nasional. Banyuasin, sebagai penyuplai utama, mengalahkan provinsi-provinsi lain di luar Jawa, dan nyaris menyalip prestasi petani-petani legendaris dari Karawang atau Ngawi.

Kalau kita bandingkan dengan provinsi lain Jawa Timur (No.1 Nasional): 9,6 juta ton, Jawa Tengah  9,1 juta ton, Jawa Barat 8,7 juta ton, Sumatera Selatan 2,73 juta ton dan Sulawesi Selatan  2,6 juta ton, artinya Sumsel berada di posisi ke-5 nasional, tinggal satu dorongan traktor lagi untuk naik podium.

Sumsel bisa belajar dari Thailand karena petaninya memakai aplikasi digital seperti “Smart Farmer” untuk prediksi cuaca dan jadwal tanam. Di Banyuwangi, pemerintah menyediakan drone pertanian dan marketplace gabah online. Kalau Banyuasin bisa adopsi itu, bukan cuma tikus yang kalah, tapi juga para tengkulak yang sering bikin harga panen ambyar kayak hati ditinggal waktu musim tanam.

Seperti kata Norman Borlaug, Bapak Revolusi Hijau “You can’t build a peaceful world on empty stomachs”. Maka dari itu, keberhasilan panen di Banyuasin bukan cuma soal beras di piring, tapi juga tentang stabilitas ekonomi, pendidikan anak petani, dan bahkan masa depan politik negeri ini.

Meski Sumsel panen berlimpah, tapi jangan anggap remeh nasi sepiring, di baliknya ada keringat, tikus, matahari, dan kadang air asin. Ada juga harapan dan hutang KUR yang belum lunas. Maka dari itu, panen raya harus disambut dengan strategi, bukan seremonial doang. Dibutuhkan kolaborasi dari PPL sampai Dinas, dari SPBU Alsintan sampai kebijakan pupuk.

Kalau semua bersinergi, jangan heran kalau nanti kita bisa ekspor beras ke Jepang, dan siapa tahu, nasi goreng Banyuasin bisa masuk menu sarapan di hotel Tokyo. Minimal, nasi uduk Maju Ria bisa dijual di kafe Jakarta Selatan.

Panen bukan akhir, tapi awal perjuangan baru, saat bulir padi dituai, masalah baru datang distribusi, harga, hama, infrastruktur, seperti petani yang tak pernah lelah membajak, negeri ini harus terus bekerja.

Banyuasin sudah membuktikan dengan disiplin, sinergi, dan sedikit semangat ngopi di pinggir sawah, Indonesia bisa jadi raksasa pangan dunia, kalau kata anak muda “Salam panen, jangan cuma viral, tapi juga stabil!”.[***]

Terpopuler

To Top