– Dari Gizi Seimbang, Lahir Masa Depan Gemilang
TANGAN-tangan cekatan ibu-ibu di Musi Banyuasin tak hanya piawai menanak nasi atau menyulap ikan asin jadi sajian nikmat, tapi kini mulai akrab dengan istilah semacam karbohidrat kompleks dan protein hewani. Bukan karena ingin ikut audisi MasterChef, tapi karena satu hal, masa depan anak-anak mereka pantas diperjuangkan dari isi piring, bukan sekadar dari nilai rapor.
Ini bukan soal kudeta, apalagi sinetron rebutan warisan, Ini soal piring makan. Iya.. piring makan, benda bundar sederhana yang sering disepelekan, tapi sejatinya adalah arena gladi resik masa depan bangsa.
PT Tripatra, perusahaan rekayasa teknik yang biasanya berkutat dengan pipa, konstruksi, dan kilang, justru memilih menyalakan api perubahan dari tungku dapur warga Desa Macang Sakti dan Lubuk Bintialo di Kabupaten Musi Banyuasin.
Lewat program CSR bertajuk “Tripatra Peduli, Rumah Bergizi dan Sehat, Keluarga Hebat!”, mereka tak sekadar membawa spanduk dan kaos, tapi membawa ilmu yang bisa diwariskan lebih lama dari sekadar bantuan sesaat.
Kalau dulu nenek moyang kita percaya bahwa “isi panci menentukan isi hati keluarga”, sekarang isi piring pun ikut menentukan isi kepala anak-anak.
Menurut UNICEF, 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami gangguan pertumbuhan karena gizi buruk atau tidak seimbang. Tentunya hal ini bukan sekadar angka statistik, namun alarm peradaban, karena anak yang kekurangan gizi bukan cuma kurang berat badan, tapi juga bisa kurang ide, kurang fokus, dan nanti saat besar… bisa kurang sabar ngadepin hidup.
Dalam program ini, Tripatra menggandeng para ahli dan relawan lokal untuk memperkenalkan 10 prinsip Gizi Seimbang dari Kementerian Kesehatan, bukan dengan cara kuliah satu arah, tapi dalam format yang lebih hidup dari sinetron jam prime time.
Ada kuis seru, demo masak sehat ala ibu-ibu dapur legendaris, dan diskusi terbuka yang membuat peserta bisa bertanya bebas, seperti “Bu, kalau anak saya cuma doyan kerupuk, gimana cara masukin sayur ke hatinya?”
Jawabannya? Edukatif sekaligus membumi “Jangan langsung ubah makanannya, ubah dulu ceritanya. Sayur itu bukan musuh, dia cuma belum dikenalin dengan baik”.
Selain soal piring, Tripatra juga mengetuk kesadaran warga tentang PHBS (Pola Hidup Bersih dan Sehat). Tapi ini bukan kampanye sabun ala iklan, ini soal bagaimana jamban bisa jadi penjaga martabat keluarga, dan air bersih adalah modal awal revolusi dapur.
“Kalau airnya kotor, beras pun jadi susah ditanak, kalau tangannya kumanan, lauk pun jadi kehilangan kebaikan” ujar Sunarto, Kepala Desa Lubuk Bintialo, dalam sambutannya yang penuh tamsil lokal.
Seorang ibu bernama Bu Tari, peserta pelatihan, mengaku awalnya ia tak tahu bahwa gizi seimbang itu bukan berarti makan lima jenis gorengan sekaligus. Setelah ikut program, ia mulai membiasakan anaknya sarapan dengan lauk yang warnanya ceria dan isinya bermakna, seperti ikan, tempe, dan sayur bening.
Bangkitkan kesadaran
Tripatra tidak sedang menciptakan ibu-ibu bergelar ahli gizi, tapi membangkitkan kesadaran bahwa “Mendidik anak bukan cuma soal sekolah mahal, tapi juga menu harian yang masuk ke perutnya”.
Hal ini sejalan dengan ucapan Eleanor Roosevelt, mantan Ibu Negara AS itu mengungkapkan “The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams”.
Masa depan akan dimiliki oleh orang-orang yang berani bermimpi besar dan benar-benar percaya pada mimpi tersebut, bukan sekadar berkhayal, tapi mimpi yang diyakini, diperjuangkan, dan dijalani dengan penuh keyakinan dan semangat, dan di tangan ibu-ibu kampung inilah, mimpi itu dimulai dari dapur, bukan dari seminar berbayar.
Negeri ini terlalu lama berpikir bahwa pembangunan dimulai dari beton dan aspal, padahal, generasi unggul lahir bukan di gedung megah, tapi di rumah sederhana dengan piring makan yang bergizi dan tangan ibu yang mencuci dengan air bersih. “Jangan tunggu negara maju untuk makan sehat, makan sehatlah, maka negara akan maju”.
Tripatra membuktikan bahwa membangun bangsa bisa dimulai dari membangun dapur yang sehat dan berilmu. Tidak butuh palu godam, cukup dengan garpu, sendok, dan sepiring makanan yang disusun dengan kasih dan gizi yang pas.
Saat program usai, warga pulang dengan oleh-oleh yang tak bisa dibeli di minimarket ilmu, kesadaran, dan semangat baru untuk menyusun masa depan lewat isi piring.
Kata pepatah lama “Bukan besar kapal yang menentukan pelayaran, tapi arah angin dan ketangguhan nahkoda”, di desa-desa Musi Banyuasin, nahkodanya adalah para ibu yang mulai percaya, bahwa anak hebat lahir dari dapur hebat.[***]