DI Kampung Sempol Makmur Sentosa, hidup seorang petani nyentrik bernama Rodi bin Mat Kurai, yang bukan cuma bisa nanam padi, tapi juga nanam ide-ide gila di otaknya. Ia percaya, petani itu bukan profesi kuno, tapi pekerjaan masa depan, asal dibumbui teknologi, sedikit wifi, dan banyak ngopi.
Oleh sebab itu untuk memaksimalkan produksi,Rodi menciptakan dua senjata andalannya Robot Tani “Si Ladun 3000” (Ladang Untung, Duit Numpuk). Robot ini bisa bajak sawah otomatis, tanam benih via GPS, panen sambil muter sholawat, dan malamnya bisa nemenin emak nonton sinetron.
Aplikasi “Panen-in-Aja”, mirip GoFood, tapi buat nyangkul, petani tinggal isi data jenis tanah, cuaca, jenis bibit, dan jumlah mantan. Maka sistem kasih saran tanam ubi kayu, pakai pupuk kandang, dan hindari drama.
“Teknologi itu kayak cabe rawit, kecil tapi pedes manfaatnya,” ujar Rodi sambil ngelas solar panel pakai kacamata renang.
Ketika pemerintah bikin program Food Estate di beberapa provinsi, Rodi juga bikin versi lokal “Food Esek-Esek”, singkatan dari “Efisiensi Sistem Ekonomi Kampung Etek”.
Tujuannya sama buka lahan tidur, tanam komoditas strategis seperti singkong, jagung, dan mimpi-mimpi besar.
Bedanya, kalau yang nasional butuh triliunan, versi Rodi cukup pakai gotong royong, bekas tenda nikahan, dan sepeda listrik bekas ojek online. Tapi hasilnya? Lumbung pangan kampung bisa nyetok sampai Lebaran tahun depan.
“Food estate itu bagus, asal jangan cuma di PowerPoint. Yang penting tanahnya bisa ditanami, bukan ditanami janji”
Rodi juga aktif menggaet anak muda lewat program “Petani Zaman Now”, mirip regenerasi petani dari Kementerian Pertanian. Ia bikin komunitas dengan tagline “Pilihlah pacar seperti lahan pertanian subur, luas, dan tidak terikat sengketa.”
Ia ajari anak muda pakai IoT untuk sensor kelembaban tanah, pakai drones untuk semprot pupuk cair, dan ngajak bikin konten “Petani Vibes Only” di TikTok.
Bahkan, Rodi bikin pelatihan bertema “Diversifikasi Pangan untuk Milenial Dari Ganyong ke Granola”
Di sana, mereka belajar tanam sagu, talas, sorgum, sampai keladi hias buat ekspor. Karena menurut Rodi “Nasi itu penting, tapi negeri ini nggak boleh tergantung pada satu karbo aja. Kita harus punya ‘bubur cadangan nasional’!”
Waktu diundang ke forum pertanian ASEAN, Rodi tampil bareng negara-negara maju Jepang presentasi robot panen tomat dengan lengan 3D printing, Korea demo aplikasi Smart Rice Farming berbasis satelit, dan Belanda bicara soal vertical farming yang bisa tumbuhin wortel di langit-langit.
Rodi? Muncul pakai baju batik dan sandal jepit, lalu bilang “Robot saya bisa tanam singkong sambil muter rebana. Nggak secanggih punya Jepang, tapi bisa nyuapin ayam dan nyaut salam dari ustaz juga. Teknologi itu harus nyambung sama budaya. Masa robot bisa ngitung suhu, tapi nggak ngerti hati petani?”
Semua standing ovation. Walau sebagian berdiri karena tempat duduknya kepanasan.
“Petani pintar bukan yang panennya banyak, tapi yang nggak stres pas harga anjlok.”
“Teknologi pangan itu bukan buat gaya-gayaan, tapi buat ngurangin derita emak saat cabe mahal.”
“Bertani tanpa data ibarat nonton sinetron tanpa subtitle: bingung siapa jahat siapa baik.”
“Sawah itu nggak akan digital, tapi manajemennya harus pintar kayak anak startup!”
Kini, berkat teknologi, gotong royong, dan semangat petani muda, Sempol Makmur jadi ikon pertanian berbasis dagelan. Bahkan Menteri Pertanian sempat datang dan bilang “Saya kira ini program swasta, ternyata ini murni gotong royong kampung. Robotnya lucu, tapi hasilnya serius!”
Rodi hanya tersenyum dan berkata “Saya bukan lulusan luar negeri, tapi saya lulusan sawah basah yang penuh harapan. Teknologi itu bukan soal gelar, tapi soal niat dan jaringan wifi yang stabil”.[***]
Kisah Rodi ini mungkin fiksi, tapi banyak kenyataan yang lebih lucu dari cerita. Teknologi boleh canggih, tapi kalau petaninya ditinggal, ya panennya cuma PowerPoint.