SELAMA ini, banyak orang nganggep santri itu hidupnya cuma muter-muter di antara sajadah, kitab kuning, dan warung Wak Iyem. Padahal, di balik sarung dan peci yang sering dicuci seminggu sekali itu, tersembunyi kekuatan magis yang nggak kalah dari tongkat sihir Hogwarts.
Ada santri dari pelosok Blitar atau Garut, tiba-tiba nongol di kampus Oxford, duduk manis di perpustakaan sambil baca “Ihya Ulumuddin” di samping mahasiswa Inggris yang masih struggling paham Shakespeare.
Gaya belajar pesantren yang tahan banting itu, Bro, diam-diam nyimpen potensi jadi Harry Potter versi syariah bukan karena bisa terbang, tapi karena bisa nyihir dunia dengan ilmu dan akhlaknya.
Coba misalnya, seorang santri lulusan pesantren di pelosok Jombang atau Martapura, dengan peci hitam dan logat medok, naik kereta di London sambil ngutip Al-Ghazali dan nulis makalah tentang etika Islam di era post-modern. Nggak cuma keren, itu juga namanya revolusi akhlak global.
Menteri Agama kita, Prof. Nasaruddin Umar, baru-baru ini kedatangan tamu bule, Dominic Jermey, Duta Besar Inggris. Mereka nggak bahas cara bikin fish and chips halal, tapi ngomongin hal yang lebih makjleb, gimana caranya santri bisa sekolah ke luar negeri, khususnya Inggris.
Menag bilang ada 30.000 pesantren di Indonesia dengan santri aktif 3,4–4,3 juta, tentu bukan angka kecil, ini potensi besar, kalau 1% saja dari mereka bisa kuliah ke luar negeri, itu sudah 34.000 santri calon profesor masa depan, sebanyak jumlah penduduk satu kota kecil di Eropa!.
Santri itu ibaratnya makhluk unik, lantaran mereka belajar nggak kenal jam, siang ngaji tafsir, sore diskusi fiqih, malam hafalan hadits, dini hari sholat tahajud.
Hidupnya kayak skrip film “Karate Kid”, tapi versi Islami dan tanpa jimat kungfu, coba bandingin dengan pelajar di beberapa negara maju yang kadang baru ngerjain PR kalau gurunya mulai ngejar pakai email.
Profesor Tariq Ramadan, cucu dari pendiri Ikhwanul Muslimin, pernah bilang “Spiritualitas Islam itu bukan hanya belajar, tapi hidup dalam pembelajaran”. Nah, santri sudah praktik itu sejak kecil!
Kenapa Inggris jadi incaran?, karena di sana bukan cuma cuacanya yang mendung-mendung syahdu, tapi juga sistem pendidikannya yang efisien, ramah, dan terbuka.
Santri berhijab nggak perlu takut disorot, disangka alien, atau dijadikan bahan TikTok iseng. Menag bilang, kampus-kampus di Inggris itu punya prinsip kesetaraan yang bikin adem. Apalagi dosennya dan mahasiswa dekat, ngobrolnya santai, kayak diskusi warung kopi tapi berlevel doktoral.
Jangan heran
Bahan jangan heran, banyak tokoh muslim dunia jebolan Inggris, sebut saja Hamza Yusuf, intelektual muslim dari AS yang lama belajar di Inggris dan sempat bikin quote yang cocok buat santri “Being faithful is not enough you must also be educated”. (Loyal sama agama itu penting, tapi pinter juga wajib, Bro!)
Bayangkan kalau ada program pertukaran pelajar santri, misalnya, Ahmad dari Pesantren Lirboyo kuliah di King’s College London, dan Oliver dari Oxford magang di pesantren Gontor, hasilnya bisa jadi film dokumenter Netflix “When Santri Met Shakespeare”
Atau jika pesantren punya native speaker bule ngajar grammar di mushola, sambil sesekali ikutan ronda malam dan makan nasi pecel. Ini bukan mimpi, ini masa depan yang bisa diwujudkan kalau kolaborasi jalan.
Inggris siap bantu visa, dukung pelatihan bahasa, bahkan tertarik ikut investasi di sektor keuangan syariah. Ini kalau dimanfaatkan betul, santri bisa ekspansi jadi duta intelektual global.
Lihat pelajar Korea, mereka ekspor budaya lewat K-Pop, Pelajar Jepang, bawa teknologi sambil tetap pegang budaya nenek moyang. Nah, santri punya potensi ekspor nilai seperti akhlak, etika Islam, budaya damai, jangan cuma bangga bisa ngaji, tapi harus berani tampil di forum dunia.
Sekarang bukan waktunya mikir sarung cuma buat tidur dan shalat, sarung bisa terbang ke luar negeri, asal otaknya ikut diisi ilmu, seperti kata pepatah Arab “Al-‘Ilmu fi as-sighar kan-naqsyi fi al-hajar” (Ilmu yang ditanam sejak kecil itu seperti ukiran di atas batu abadi!).
Santri harus percaya diri, dunia butuh suara Islam yang moderat, toleran, dan cerdas, kalau bukan dari pesantren, dari mana lagi? Jadi, ayo siapkan paspor, poles TOEFL, dan mulai belajar budaya global, karena masa depan santri bukan cuma di mimbar, tapi juga di mimbar Internasional.
Kalau kata Cak Nun “Ngaji terus, tapi jangan lupa ngisi dunia”, kalau kata saya “Santri, siapin koper, dunia menanti dengan segelas teh Inggris dan undangan diskusi!”.[***]