Musik & Film

“Rapa’i & Distorsi, Saat Metalcore & Tradisi Duduk Semeja, Anak-Anak pun Ikut Joget dalam Doa”

ekraf

“Loh, itu suara apa, Mak?”
“Itu… suara kemarahan yang teratur, Nak. Tapi pakai irama Aceh. Makanya tetap sopan.”
“Kenapa orang marah malah bikin lagu?”
“Karena kalau marah cuma diem, bisa meledak jadi jerawat, Nak.”

BEGITULAH kira-kira dialog imajiner antara anak dan ibunya saat mendengarkan lagu Hitam, kolaborasi mencengangkan antara band metalcore Killa The Pia dan komunitas musik tradisi Rapai Pasee Raja Buwah, yang baru saja diluncurkan lewat program AKTIF Musik Kementerian Ekonomi Kreatif.

Lagu itu bukan sembarang lagu, bukan cuma gebukan drum dan pekikan distorsi gitar yang membuat kuping berdansa ala ninja ngamuk, tapi juga mengandung pukulan-pukulan Rapa’i yang seolah bilang, “Kami dari Aceh masih punya cara elegan untuk melawan kekerasan tanpa harus lempar sendal”

Ibarat mie instan dan durian, duet ini terasa janggal tapi justru nikmat kalau tahu cara masaknya. Rapa’i itu tradisi tua, sakral, dan penuh ritme spiritual. Sedangkan metalcore?, adalah musik untuk orang-orang yang mungkin pernah tersesat di toko gitar, terus nggak bisa pulang karena keasyikan scream-scream-an.

Tapi di tangan program AKTIF Musik Kemenekraf, keduanya tidak dipaksa kawin paksa, justru dipertemukan secara estetik, kayak mantan yang akhirnya sadar mereka lebih cocok jadi band daripada pasangan.

Kita harus akui, ini langkah cerdas. Kenapa? Karena “Tak ada rotan, akar pun jadi. Tapi kalau ada Rapa’i dan distorsi, kenapa nggak sekalian bikin gebrakan budaya?”

Lagu “Hitam” dirilis pas Hari Anak Nasional, 23 Juli 2025, bukan kebetulan karena lagu ini bukan cuma tentang musik keras, tapi tentang keberanian menyuarakan yang tak terdengar khususnya suara anak-anak.

“Kami ingin suara mereka tidak dikubur dalam diam,” kata Madon, vokalis Killa The Pia, dengan nada serius tapi rambut masih acak-acakan ala pahlawan dalam komik Jepang.

Dan benar saja, lagu ini bukan untuk disetel sambil makan bubur kacang hijau, lagu ini buat direnungkan. Untuk ditarik ke dalam, disaring, lalu diubah jadi komitmen.

Komitmen untuk tidak memukul anak hanya karena dia pecahin piring, atau marahin anak hanya karena dia tanya, “Ayah, kenapa ayah galak padahal kata mama ayah baik?”

Program AKTIF Musik bukan cuma ngajak rekaman lalu ditinggal begitu saja. Kemenekraf juga memastikan semua hal teknis dari kekayaan intelektual hingga urusan lisensi beres. Ini penting karena kadang, bakat anak muda itu seperti nasi goreng tengah malam: nikmat, tapi rawan disabotase tetangga.

Yang lebih penting adalah negara hadir, bukan sekadar numpang nampang di peluncuran, tapi hadir lewat fasilitasi, advokasi, dan publikasi. Anak-anak butuh ruang aman. Musik bisa jadi tameng, bahkan bisa jadi pelindung mental.

Pepatah lama bilang “Kalau tak sanggup jadi pohon rindang, jadilah gitar yang menyuarakan kebenaran”

Lagu ini mungkin berjudul Hitam, tapi bukan berarti gelap. Justru di situlah sinarnya. Lagu ini bicara soal tekanan, ketakutan, dan perjuangan, tapi dalam bentuk seni. Dalam bentuk tarikan napas keras yang tidak memukul, melainkan mengajak berdialog.

Bahkan mungkin, 10 tahun lagi, anak-anak yang sekarang mendengarkan Hitam sambil makan mie rebus akan bilang “Lagu itu yang bikin aku sadar… bahwa marah harus punya nada. Dan suara kita layak didengar.”

Lagu Hitam adalah bukti bahwa musik bukan cuma buat joget TikTok atau dijadikan backsound patah hati. Musik bisa jadi gerakan, perlawanan, dan bahkan pelukan bagi anak-anak yang tak pernah punya panggung untuk bicara.

Dari Rapa’i yang mistik hingga scream metalcore yang epik, inilah duet yang lahir bukan dari algoritma, tapi dari keresahan. Aceh tak cuma mengirim kopi dan tsunami ke sejarah, tapi juga mengirim sinyal bahwa masa depan kreatif bisa dimulai dari tabuhan.

Sambil menggulung kabel setelah konser perdana Hitam, Madon nyeletuk ke salah satu anak kecil penonton

“Nak, kamu suka musik keras kayak om?”

Anak itu jawab polos,
“Iya om… Tapi aku lebih suka kalau Ayah nggak keras lagi.”

Dan di situlah semua suara jadi hening, karena ternyata, anak-anak tak butuh banyak hal, mereka cuma butuh didengarkan.

“Loh, itu suara apa, Mak?”
“Itu… suara kemarahan yang teratur, Nak. Tapi pakai irama Aceh. Makanya tetap sopan.”
“Kenapa orang marah malah bikin lagu?”
“Karena kalau marah cuma diem, bisa meledak jadi jerawat, Nak.”

Begitulah kira-kira dialog imajiner antara anak dan ibunya saat mendengarkan lagu Hitam, kolaborasi mencengangkan antara band metalcore Killa The Pia dan komunitas musik tradisi Rapai Pasee Raja Buwah, yang baru saja diluncurkan lewat program AKTIF Musik Kementerian Ekonomi Kreatif.

Dan ini bukan sembarang lagu. Ini bukan cuma gebukan drum dan pekikan distorsi gitar yang membuat kuping berdansa ala ninja ngamuk, tapi juga mengandung pukulan-pukulan Rapa’i yang seolah bilang, “Kami dari Aceh masih punya cara elegan untuk melawan kekerasan tanpa harus lempar sendal.”

Ibarat mie instan dan durian, duet ini terasa janggal tapi justru nikmat kalau tahu cara masaknya. Rapa’i itu tradisi tua, sakral, dan penuh ritme spiritual.

Sedangkan metalcore?, itu adalah musik untuk orang-orang yang mungkin pernah tersesat di toko gitar, terus nggak bisa pulang karena keasyikan scream-scream-an.

Tapi di tangan program AKTIF Musik Kemenekraf, keduanya tidak dipaksa kawin paksa. Justru dipertemukan secara estetik, kayak mantan yang akhirnya sadar mereka lebih cocok jadi band daripada pasangan.

Kita harus akui, ini langkah cerdas. Kenapa?, karena “Tak ada rotan, akar pun jadi. Tapi kalau ada Rapa’i dan distorsi, kenapa nggak sekalian bikin gebrakan budaya?”

Lagu “Hitam” dirilis pas Hari Anak Nasional, 23 Juli 2025, bukan kebetulan karena lagu ini bukan cuma tentang musik keras, tapi tentang keberanian menyuarakan yang tak terdengar khususnya suara anak-anak.

“Kami ingin suara mereka tidak dikubur dalam diam,” kata Madon, vokalis Killa The Pia, dengan nada serius tapi rambut masih acak-acakan ala pahlawan dalam komik Jepang.

Dibuat untuk direnungkan

Dan benar saja, lagu ini bukan untuk disetel sambil makan bubur kacang hijau. Lagu ini buat direnungkan. Untuk ditarik ke dalam, disaring, lalu diubah jadi komitmen.

Komitmen untuk tidak memukul anak hanya karena dia pecahin piring, atau marahin anak hanya karena dia tanya, “Ayah, kenapa ayah galak padahal kata mama ayah baik?”

Program AKTIF Musik bukan cuma ngajak rekaman lalu ditinggal begitu saja. Kemenekraf juga memastikan semua hal teknis dari kekayaan intelektual hingga urusan lisensi beres. Ini penting. Karena kadang, bakat anak muda itu seperti nasi goreng tengah malam: nikmat, tapi rawan disabotase tetangga.

Dan yang lebih penting: negara hadir. Bukan sekadar numpang nampang di peluncuran, tapi hadir lewat fasilitasi, advokasi, dan publikasi. Anak-anak butuh ruang aman. Musik bisa jadi tameng, bahkan bisa jadi pelindung mental.

Pepatah lama bilang “Kalau tak sanggup jadi pohon rindang, jadilah gitar yang menyuarakan kebenaran.”

Lagu ini mungkin berjudul Hitam, tapi bukan berarti gelap. Justru di situlah sinarnya. Lagu ini bicara soal tekanan, ketakutan, dan perjuangan, tapi dalam bentuk seni. Dalam bentuk tarikan napas keras yang tidak memukul, melainkan mengajak berdialog.

Bahkan mungkin, 10 tahun lagi, anak-anak yang sekarang mendengarkan Hitam sambil makan mie rebus akan bilang “Lagu itu yang bikin aku sadar… bahwa marah harus punya nada. Dan suara kita layak didengar.”

Lagu Hitam adalah bukti bahwa musik bukan cuma buat joget TikTok atau dijadikan backsound patah hati. Musik bisa jadi gerakan, perlawanan, dan bahkan pelukan bagi anak-anak yang tak pernah punya panggung untuk bicara.

Dari Rapa’i yang mistik hingga scream metalcore yang epik, inilah duet yang lahir bukan dari algoritma, tapi dari keresahan. Aceh tak cuma mengirim kopi dan tsunami ke sejarah, tapi juga mengirim sinyal bahwa masa depan kreatif bisa dimulai dari tabuhan.

Sambil menggulung kabel setelah konser perdana Hitam, Madon nyeletuk ke salah satu anak kecil penonton “Nak, kamu suka musik keras kayak om?”

Anak itu jawab polos…, “Iya om… Tapi aku lebih suka kalau Ayah nggak keras lagi”

Di situlah semua suara jadi hening. Karena ternyata, anak-anak tak butuh banyak hal. Mereka cuma butuh didengarkan.

Yuk, dengarkan “Hitam” bukan hanya dengan telinga, tapi juga dengan hati, karena kadang, yang terdengar keras… justru sedang berjuang paling dalam.[***]

Terpopuler

To Top