SUDAH jadi rahasia umum, Bali itu ibarat mi instan rasa soto, kalau belum nyeruput ke sana, katanya belum sah jadi warga +62. Tapi yang sering luput dari kamera ponsel turis adalah sisi gelap pariwisata kita. Banyak vila ilegal, macet bukan main, dan turis-turis nyentrik yang lebih banyak melanggar adat daripada menyerap budaya.
Untungnya, hari-hari ngambek sendiri sudah lewat, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) akhirnya ngeluarin jurus sinergi pamungkas datang langsung, ngobrol santai tapi padat isi sama Gubernur Bali, Pak Wayan Koster. Lokasinya di Gedung Kertha Saba, tapi suasananya lebih mirip rapat akbar antara penyelamat pariwisata dan pengasuh vila yang lagi galau.
Ibarat pasangan LDR yang akhirnya ketemu, Kemenpar dan Pemprov Bali kayaknya sudah capek lempar-lempar bola. Sekarang mereka pilih duduk bareng, ngopi, dan mulai nyusun strategi jangka panjang. Bukan 5 tahun, bukan 10 tahun. Tapi 100 tahun! Panjang nian, dek!
Seperti pepatah lama, “Jika ingin panen damai, cabut dulu rumput liar di ladang” Nah, rumput liarnya Bali itu vila-vila ilegal. Banyak bangunan berdiri tanpa izin, tanpa pajak, tapi hasil cuan dari wisatawan disedot terus kayak sedotan bubble tea.
Deputi Kemenpar, Rizki Handayani, bilang sudah pegang data lengkap vila tak berizin. Tapi ini bukan drama sinetron yang dibiarkan bersambung. Rizki dan timnya lagi sibuk nyusun strategi bareng dinas-dinas daerah biar bisa ‘gulung tikar’ bisnis gelap yang merugikan Bali secara ekonomi dan citra.
Belum lagi soal perilaku wisatawan, banyak turis ke Bali seperti sedang liburan di planet sendiri. Yang satu numpang bawa anjing ke pura, yang lain nyelonong masuk sawah sambil jogging. Kemenpar pun mulai gandeng KBRI dan maskapai untuk kampanye Dos and Don’ts, biar Bali nggak disamakan sama tempat yoga dan ganja legal.
Masalah klasik kayak kemacetan dan sampah juga masih setia nangkring di daftar PR. Kalau sudah musim liburan, jalanan Bali macetnya bisa bikin orang insaf dan tobat bersamaan. Sampah pun numpuk seperti niat baik yang tak tersampaikan.
Tata ruang? Wah ini lebih kompleks. Sebagian investor ingin bangun hotel atau beach club sampai ke tengah sawah. Padahal, sawah itu warisan leluhur, bukan halaman belakang hotel.
Kemenpar akhirnya mendukung penuh tata ruang yang adil pariwisata boleh tumbuh, tapi jangan jadi monster pemakan lahan produktif.
Ni Made Ayu Marthini, Deputi Bidang Pemasaran Kemenpar, bilang bahwa Bali meskipun sudah top of mind, tetap harus didorong promosinya. “Top of mind” itu kayak mantan paling dikenang tetap butuh komunikasi, biar nggak dilupakan.
Makanya mereka sudah siapkan Calendar of Promotion Wonderful Indonesia 2026, dari sekarang! Ini bukan promosi asal tempel brosur di bandara, tapi koordinasi terencana dengan airlines, kementerian lain, sampai bikin video edukatif di layar pesawat. Jadi pas turis lagi nyetel sandaran kursi, mereka juga belajar kalau di Bali, buka baju di tempat umum itu bukan tren, tapi cari masalah.
Dengan kondisi saat ini setidak kedepan bikin sistem sertifikasi digital akomodasi , pakai QR Code yang bisa di-scan turis. Kalau vila-nya legal, muncul logo resmi Kemenpar. Kalau nggak, muncul gambar Pak Koster lagi manyun.
Bali Utara dan Barat Harus Jadi Kembarannya Selatan Promosi jangan cuma Kuta dan Uluwatu, Tegalalang dan Gilimanuk pun punya hak trending.
Kampanye Edukasi “Ngerti Bali” Lewat Influencer Lokal , biar turis belajar dari Pak Made bukan dari TikTok yang ngajak nyolong kelapa. Transportasi Ramah Lingkungan & Terintegrasi, jangan cuma ramai motor sewaan, tapi transportasi umum antardesa yang nyaman dan terjadwal, lebih ramah, lebih Bali.
Bali bukan destinasi liburan. Bali itu nyawa budaya, taman ekonomi, dan pusaka leluhur yang dibungkus dalam panorama ciamik. Tapi kalau terus-menerus ditekan oleh turisme liar, tanpa aturan, maka yang tersisa nanti cuma bangunan tanpa jiwa dan budaya yang tenggelam oleh selfie.
Kemenpar dan Pemprov Bali, lewat pertemuan ini, akhirnya menyadari bahwa Bali tak bisa ditangani setengah hati. Harus totalitas kayak orang tua waktu hajatan anak tunggal semua dikerahkan, semua disiapkan, biar hasilnya berkah.
Kalau sinergi ini terus dijaga dan dijalankan dengan tuntas, maka Bali tak cuma jadi magnet turis, tapi juga role model dunia pariwisata yang ramah budaya, adil bagi warga, dan lestari bagi anak cucu.
Siap-siap ya, turis bandel, vila ilegal, dan konsep pariwisata kaleng-kaleng. Bali akan jadi rumah yang lebih beraturan. Karena kalau rumahmu dijaga, tamunya pun akan lebih sopan. Bali, akan tetap indah bukan karena sunrise-nya, tapi karena manusia yang menjaganya.[***]