ANAK muda zaman sekarang jika ditanya, “Mau ke luar negeri buat ngapain?”, biasanya jawabannya terbagi dua pertama, ingin kuliah tapi dompet bilang “tidak”, dan kedua, ingin kerja tapi visa bilang “belum tentu”. Nah, kabar baik baru-baru ini datang dari Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Austria buka pintu buat program magang vokasi, bukan magang yang disuruh fotokopi sama bikin kopi, tapi magang yang bisa bikin hidupmu lebih berbumbu dari sosis bratwurst khas Wina.
Dalam sebuah pertemuan antara Menteri Ketenagakerjaan Yassierli dan Duta Besar Austria H.E. Thomas Loidl, dibahas peluang kerja sama pelatihan vokasi dan pengembangan SDM. Bahasannya serius, tapi kita boleh menertawakannya dengan cara sehat akhirnya, BLK (Balai Latihan Kerja) kita bisa jadi jembatan ke Eropa, bukan cuma tempat nge-las dan belajar servis AC.
Menaker Yassierli nampaknya paham betul bahwa zaman sekarang, ijazah saja tak cukup. Kita butuh skill yang nempel di tangan, bukan hanya di lembaran kertas. Beliau menyebut sistem vokasi Austria sebagai model rujukan. Dan memang benar, sistem vokasi Austria itu bukan kaleng-kaleng. Menurut OECD, lebih dari 70% remaja Austria terlibat dalam pelatihan vokasi dual system, belajar di kelas dan kerja di industri. (Sumber: OECD, Education at a Glance 2023).
Bandingkan dengan kita banyak anak magang malah diminta beli nasi bungkus, bukan diajari bungkus nasi. Maka tak heran kalau Menaker tertarik dengan skema pemagangan 2–3 tahun di industri Austria. Kalau ini benar terwujud, maka anak-anak BLK kita bisa naik pangkat dari pelatihan lokal jadi lulusan global.
Perumpamaannya begini kalau kambing diajar berenang di laut, ya pasti lelah. Tapi kalau dia diajari makan rumput terbaik di padang yang luas, dia akan tumbuh gemuk dan kuat.
Begitu juga anak muda Indonesia, jangan ajari mereka rebutan lowongan di kota besar yang pengap dan penuh angkot. Arahkan mereka ke peluang yang bisa bikin mereka berkembang, meski harus menyeberang benua dulu.
Duta Besar Austria bahkan menyebut ada estimasi kuota 100–200 magang tiap tahun, khususnya di bidang hospitality. Ini bukan angka kecil. Ini peluang besar, ibarat undangan pesta dansa di balai kota Wina, kalau tak segera disambar, bisa diambil negara sebelah.
Negara-negara seperti Jerman, Swiss, dan Belanda sudah lebih dulu memetik hasil dari program magang internasional yang tertata rapi. Mereka sadar bahwa SDM yang terampil adalah tabungan negara yang tak tergerus inflasi.
Namun Menaker juga menegaskan, magang bukan sekadar penempatan kerja murah, tapi bagian dari penguatan kapasitas nasional. Artinya, anak-anak magang ke luar negeri itu bukanlah tenaga kerja yang dibuang, tapi dikirim dengan misi belajar dan kembali dengan ilmu.
Tapi kita harus tegas di sini perlindungan wajib hukumnya, jangan sampai anak magang dari Sumedang malah disuruh bersih-bersih kandang rusa di Tirol tanpa pelatihan, tanpa pengawasan, dan tanpa jaminan. Dalam bahasa yang lebih nyastra “Jangan kirim anak panah, kalau talinya putus dan busurnya copot”.
Kata pepatah, “Kalau tak bisa menanam padi di tanahmu, belajarlah ke tanah yang subur”. Program magang ke Austria inilah tanah subur itu. Tapi tanamnya tetap pakai bibit kita, anak-anak muda penuh semangat dari BLK di seluruh pelosok.
“Jangan jadi pemuda yang hanya bisa selfie di depan gedung pelatihan. Jadilah pemuda yang bisa mengubah gedung pelatihan jadi gerbang masa depan” – (Bijak dari warung kopi).
Kerja sama vokasi Indonesia-Austria ini bukan hal remeh. Ini bisa jadi roda baru dalam mesin penggerak ekonomi kita, bukan sekadar mengirim pekerja, tapi mengirim pembelajar yang akan pulang jadi pembaharu.
Kita tak bisa terus-menerus berharap pada tambang dan sawit. Sudah waktunya kita investasi ke otak dan keterampilan. Kalau Austria sudah membuka pintu, maka tugas kita adalah menyiapkan kunci SDM yang siap, sistem yang rapi, dan perlindungan yang pasti.
Karena seperti kata tukang servis motor “Yang penting bukan motornya mahal atau tidak, tapi apakah kita tahu cara merawat dan mengendarainya”. Maka mari kita rawat generasi muda ini lewat pelatihan, dan kita tuntun mereka mengendarai masa depan, meski jalannya melintasi Pegunungan Alpen.[***]