ADA yang bilang reuni itu cuma ajang pamer cincin akik dan nostalgia zaman ngaji sambil cuci piring, sepertinya perlu ikut Silatnas Alumni Al Ihya Ulumaddin edisi Sungai Lilin kemarin.
Di situ, bukan cuma kisah jaman santri yang dibuka kembali, tapi juga niat besar untuk menjahit masa depan umat dengan benang ukhuwah yang makin kokoh, pakai mesin jahit industri, bukan tangan kosong.
Wakil Bupati Muba, yang biasa dipanggil Kiayi Rohman, hadir bukan sekadar formalitas, beliau datang dengan gaya santri tulen peci hitam, baju koko putih, celana hitam, kayak mau jadi imam salat Id, tapi niatnya ternyata jauh lebih besar.
Ia datang sebagai simbol pemerintah yang tak mau sekadar duduk di kursi empuk kantor kabupaten, tapi mau duduk bersila bareng alumni pesantren yang hatinya sejuk meski kipas angin cuma satu.
Dalam sambutannya, Pak Wabup nggak bicara pakai bahasa protokoler yang bikin ngantuk, tapi pakai bahasa hati yang bikin santri mengangguk. Ia menyebut bahwa reuni ini bukan cuma ajang nostalgia, tapi ajang “kumpul-kumpul yang berfaedah”. Ibarat ketupat, di luar kelihatannya biasa, tapi di dalamnya padat makna dan bikin kenyang.
“Kalau ingin rezeki lancar dan umur panjang, ya rajin-rajin silaturahmi,” kata beliau, mengutip sabda Rasulullah SAW. Dan betul juga, silaturahmi itu ibarat oli mesin, kalau sering dicek, hubungan antarsesama bisa tetap mulus tanpa macet emosional.
Pak Rohman juga mengingatkan pesantren bukan sekadar tempat orang belajar ngaji dan tidur berjejer kayak sarden.
Pesantren itu semacam pabrik karakter, tempat anak muda ditempa jadi manusia yang tahan banting, ikhlas ngangkat ember air, dan jago ngatur hidup meski tanpa Google Calendar.
Alumni pesantren itu punya modal besar ilmu agama, plus soft skill seperti sabar menghadapi antrean kamar mandi dan taktik rebutan gorengan saat buka puasa. Itu bekal penting buat jadi pemimpin masa depan kalau perlu, jadi menteri yang ngerti hukum fikih sekaligus bisa baca laporan keuangan tanpa manggil konsultan.
Yang menarik, Wabup ngajak alumni buat nggak berhenti di nostalgia ajang buat kolaborasi, alumni pesantren bisa jadi penjahit sosial menyambung yang retak, menambal yang bolong, dan menjahit harapan umat dengan benang keberanian dan jarum niat baik.
Kalau selama ini alumni cuma ngisi pengajian tujuh bulanan, sekarang saatnya ikut rapat pembangunan daerah syukur-syukur duduk di kursi DPR, tapi tetap bawa sajadah.
Pepatah bilang, “Di mana bumi dipijak, di situ surau didirikan”. Alumni pesantren punya tanggung jawab moral untuk jadi matahari kecil di lingkungannya, menyinari tanpa membakar, menghangatkan tanpa mengeringkan harapan orang kecil.
Pihak Forum Alumni juga sumringah bukan main, bukan karena acara sukses dapat sponsor atau konsumsi lancar, tapi karena ada kehadiran pemimpin daerah yang benar-benar hadir secara ruhani, bukan sekadar titip salam. Kehadiran Wabup dianggap seperti datangnya air sumur di tengah kemarau panjang, menyejukkan dan membangkitkan semangat.
Karena mari kita jujur, tak semua pemimpin mau turun ke acara begini, banyak yang sibuk meresmikan proyek atau foto di taman kota. Tapi Kiayi Rohman datang dan itu bukan cuma datang secara jasad, tapi juga hati, dan seperti kata pepatah Betawi, “Orang dateng bawa niat, bukan bawa syarat”
Silatnas ini bukan sekadar reuni, tapi semacam lokomotif kecil yang mulai menggerakkan gerbong-gerbong perubahan. Pesantren, yang dulu dianggap kuno dan hanya cocok buat belajar kitab kuning, kini mulai bangkit sebagai pusat kaderisasi umat dan agen perubahan sosial. Alumni yang dulu takut bicara di depan umum, sekarang bisa jadi moderator diskusi kebangsaan.
Kalau boleh saya simpulkan dengan perumpamaan alumni pesantren itu seperti biji kopi. Ia perlu disangrai, digiling, dan diseduh, baru bisa jadi secangkir kebijaksanaan yang menghangatkan negeri ini.
Dukung, agar Silatnas ke depan tidak hanya jadi agenda tahunan, tapi gerakan panjang, karena negeri ini butuh lebih banyak santri yang tak cuma pintar mengaji, tapi juga bisa mengelola negeri.
Toh, kalau yang lain sibuk rebutan jabatan, santri bisa datang dengan ketenangan dan niat tulus, mereka “ingin berbuat baik. Titik”.[***]