COBA bayangkan, seorang kakek, sebut saja Mbah Sahroni, pagi-pagi sudah berdandan rapi, semprot minyak rambut sampai wangi semeja, tujuannya bukan ngapel, bukan juga nyalon buat ngurus BPJS, namun tujuan sederhana mau ke masjid. Sayangnya, begitu sampai di halaman, tangga masjid menyambut seperti ninja tinggi, curam, dan tak ada pegangannya. Mau salat, tapi berasa ikut uji nyali.
Beginilah nasib lansia dan penyandang disabilitas di sebagian besar masjid kita, semangatnya sudah di surga, tapi fisiknya tertahan di pelataran. Padahal, dalam agama, semua umat punya hak yang sama untuk mendekat ke Tuhan, entah yang jalannya pakai tongkat, kursi roda, atau cuma kuat duduk di kursi plastik warung kopi.
Program “Gerakan Majelis Fasholatan” dan “1.000 Masjid Inklusif” dari Kementerian Agama itu bisa dibilang, seperti es degan di tengah padang pasir, segar dan sangat dibutuhkan. Alih-alih cuma bangun masjid gede buat kontes arsitektur, kini negara mulai mikir, “Eh, kita ini punya warga yang butuh masjid bukan cuma buat selfie, tapi juga buat sujud tanpa harus manjat dulu”.
Gerakan Fasholatan misalnya, bukan nama aliran musik Arab dangdut, tapi majelis yang ngajarin cara salat dengan baik dan benar, sasarannya? para lansia yang sering salat pakai feeling. Bacaan salatnya kadang kayak ngucapin password Wi-Fi tetangga, nggak jelas tapi penuh harapan, mereka malu nanya, takut dikira pikun. Padahal bukan pikun, cuma ingin memastikan bahwa sujudnya benar-benar menuju Tuhan, bukan sekadar olahraga ringan.
Lalu datanglah para penyuluh dan penghulu dari KUA, bersatu dengan pengurus masjid dan pesantren, mereka bikin pengajian khusus, ngajarin ulang gerakan dan bacaan salat dengan lembut. Tidak ada kata “telat” dalam memperbaiki ibadah. Kata orang tua, “Lebih baik belajar salat di usia senja daripada pamer ibadah tapi belum tentu lulus revisi malaikat”.
Sementara itu, program 1.000 Masjid Inklusif lebih keren lagi. Ini bukan proyek bangun masjid pakai Wi-Fi dan lampu disko, tapi masjid yang benar-benar mikirin umat, ada kursi salat buat lansia, tempat wudu rendah buat yang pakai kursi roda, sampai juru bahasa isyarat buat jamaah tuli, baru namanya ibadah tanpa diskriminasi.
Bayangkan betapa nikmatnya jadi jamaah yang disambut dengan fasilitas, bukan ditantang dengan rintangan. Masjid yang benar-benar mengamalkan Islam sebagai rahmat bagi semesta, bukan hanya tempat hafalan khutbah yang isinya tiap Jumat itu-itu saja, seperti kata pepatah “Masjid yang mulia bukan yang besar bangunannya, tapi yang luas hatinya”.
Jangan salah, program ini bukan cuma soal fisik bangunan, soal bagaimana agama hadir untuk semua, Staf Khusus Menteri Agama, Ismail Cawidu, sampai bilang masjid itu jangan cuma jadi tempat salat, tapi juga pusat layanan umat, dari ilmu sampai ekonomi, kalau bisa, masjid jadi seperti miniatur dunia yang penuh kasih, bukan cuma tempat ceramah, tapi juga tempat curhat rohani dan urusan duniawi.
Coba pikirkan masjid jadi tempat cek tensi, cek keimanan, dan cek harga sembako. Ada bimbingan lansia, pelatihan keterampilan difabel, sampai kursus “cara jadi menantu idaman versi ustaz”. Wah…., lengkap sudah!
Kalau masjid hanya ramah bagi yang muda dan sehat, maka itu bukan masjid, itu klub yoga. Tapi kalau masjid bisa menyambut Mbah Sahroni yang jalan pelan-pelan sambil bawa bekal roti sobek, atau Ibu Salamah yang datang naik kursi roda sambil senyum malu-malu, maka di situlah keimanan tumbuh subur, seperti daun singkong yang tak butuh pupuk mahal tapi tetap hijau.
Program ini seolah berkata “Surga itu bukan buat yang paling cepat ke masjid, tapi buat yang paling tulus niatnya, meski datangnya sambil digandeng cucu”. Bantu mereka, karena siapa tahu… kelak kitalah yang jalan ke masjid sambil dicolek tongkat.
Bantu juga masjid jadi tempat yang bukan cuma ramah bagi para ustaz viral, tapi juga bagi yang lututnya sudah bunyi krek tiap sujud, karena dalam Islam, “tidak sempurna iman seseorang sampai ia memudahkan jalan bagi saudaranya meski cuma dari tempat wudu ke sajadah”.
Jangan sampai rumah ibadah jadi rumah rintangan, biarlah Mbah Sahroni bisa salat dengan tenang, tanpa harus jungkir balik kayak atlit senam lantai, karena yang kita cari bukan sekadar sajadah empuk, tapi ridha Allah SWT, bisa dimulai dari masjid yang punya akses untuk semua.
Aamiin, dan salam dari jamaah saf belakang….[***]