Sumselterkini.co.id, -Kalau ada lomba nasional untuk kalimat paling sering diucapkan jamaah haji Indonesia saat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, maka “Alhamdulillah, lancar!” pasti jadi juaranya. Ya, tahun ini, Haji 2025 berjalan seperti supir truk yang hafal betul jalan tanjakan Sitinjau Lauik lurus, mantap, dan nggak banyak mogok.
Begitulah kira-kira laporan pulang kampung dari Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar, yang baru saja mendarat di Tanah Air bersama rombongan Amirul Hajj, dari Mekkah sampai Madinah, dari tenda Mina sampai pelataran Ka’bah, semua berjalan dengan koordinasi seperti dapur nasi padang ramai, panas, tapi teratur dan bikin kenyang iman.
“Alhamdulillah!” begitu kalimat pembuka sang Menteri, yang setara nilainya dengan “MasyaAllah lemak nian pindang tulang ini” kata wong Palembang. Kalimat ini yang menunjukkan kepuasan hati, rasa syukur, dan… lega luar biasa. Ibarat emak-emak yang habis nyuci tumpukan baju lebaran cucu-cucunya tanpa hujan di jemuran. Lunas, selesai dan bersih.
Kalau di Indonesia kita tahu seragam merah putih itu SD, seragam pramuka itu Jumat, dan seragam batik itu Kamis, maka di Saudi Arabia selama musim haji, ada dua warna seragam yang mendominasi pandangan mata baju cokelat dan baju biru.
Baju cokelat? Itu Polisi Arab Saudi, bos… tegas, gagah, dan kadang bikin merinding walau cuma lewat.
Tapi baju biru? Nah, petugas berjubah seragam dari Kementerian Agama RI, datang dengan semangat. Tidak membawa tongkat ajaib, tapi logistik, panduan, dan pelukan empati bagi jemaah yang kakinya pegal, hatinya was-was, dan kepalanya pening gara-gara lupa arah pulang dari Masjidil Haram.
“Jadi penolong, jadi pelindung, jadi penunjuk arah. Baju biru ini adalah GPS spiritual dan fisik bagi jemaah Indonesia,” kata Menag.
Kata Wakil Menteri Agama, Romo Syafi’i, para petugas haji ini bekerja bukan hanya dengan tenaga, tapi juga dengan hati yang gede kayak lapangan parkir Gontor, sampai ada yang rela nyuapin jemaah lansia, mandikan, bahkan… makaiin pampers!. Ini baru luar biasa, kalau tidak karena cinta, dan ihklas mana mungkin tega menyentuh zona rawan seperti itu.
Badan mereka kurus, kulit menghitam, tidur tidak tentu, makan sekenanya. Tapi satu yang tetap utuh ketulusan. Iya, ketulusan itu memang tahan banting. Tidak luntur oleh panasnya padang Arafah, tidak goyah oleh ramainya Mina, dan tidak pudar oleh kasarnya cuaca.
Menag juga memberi peringatan halus yang bunyinya kira-kira begini “Jangan umrah mulu, Bossque. Ini haji, bukan maraton ibadah”.
Karena apa? karena tubuh kita bukan robot, apalagi yang usianya sudah masuk klub lansia. Kalau di tanah air saja naik tangga rumah dua tingkat harus jeda di anak tangga ketiga, maka di Tanah Suci jangan terlalu memforsir diri. Ingat pepatah “Orang sabar bukan yang cepat berlari, tapi yang tahu kapan harus berhenti”.
Menag juga menyentil satu pesan penting yang sering kita lupakan setelah pulang haji menjaga kemabruran, karena kata beliau, belum tentu bisa haji dua kali, daftar tunggu 48 tahun itu sudah kayak daftar antre operasi gigi di Puskesmas yang cuma punya satu dokter.
Kemabruran itu bukan soal jubah putih dan air zam-zam satu galon, tapi tentang sikap yang membaik, hati yang bersih, dan kelakuan yang tidak menyakiti. Kalau pulang haji tapi masih hobi nggosip tetangga, ngutang pulsa belum dibayar, atau maki-maki orang di media sosial, ya itu bukan kemabruran. Itu kemaburan. “Haji itu bukan hanya perjalanan tubuh, tapi perjalanan jiwa. Kalau sudah kembali ke tanah air, mari bawa pulang ketenangan, bukan hanya koper dan kurma,” begitu kata bijak dari seorang kiai kampung yang biasanya disampaikan sambil ngopi di beranda mushola.
Simbol kasih sayang
Apa yang bisa kita pelajari dari haji tahun ini? bahwa kesungguhan, sinergi, dan banyolan ternyata bisa seiring sejalan. Tidak semua yang serius harus kaku, tidak semua yang lucu itu hampa makna. Kadang, justru dalam tawa ringan di sela-sela padatnya ibadah, kita menemukan wajah paling tulus dari kemanusiaan.
Penyelenggaraan Haji 2025 menunjukkan bahwa birokrasi tidak harus membosankan, bahwa seragam Kemenag bukan hanya baju dinas, tapi simbol kasih sayang lintas benua. Dan yang terpenting bahwa “Alhamdulillah” bukan sekadar ucapan, tapi pernyataan penuh syukur dari sebuah kerja keras, peluh yang luruh, dan dedikasi tanpa pamrih.
Kalau pulang haji, bawalah bukan cuma oleh-oleh, tapi oleh-hati, kalau sudah kemabruran, pertahankan seperti menjaga bunga anggrek, disiram dengan doa, dijemur dalam syukur, dan dijauhkan dari panasnya ego, sebab, seperti kata emak yang pernah berangkat haji “Yang mabrur tak perlu banyak bicara, sebab akhlaknya sudah berkata”.
Kata Pak Menteri, “Alhamdulillah lancar!”, dan kita sepakat ini bukan alhamdulillah yang basa-basi kayak “makasih” pas dikasih gorengan satu biji, tapi alhamdulillah yang penuh lega, semacam rasa pas buka sepatu setelah kondangan seharian.
Petugas haji kita? luar biasa!. Mereka bukan cuma kerja pakai tenaga, tapi juga pakai hati, pakai empati, dan sedikit banyak pakai ilmu gendong level nasional. Bayangkan, dari nyuapin jemaah sampai ngurusin pampers. Kalau kerjaan ini masuk SKP, bisa dapat pangkat luar biasa dalam dunia per-ibu-an dan per-bapak-an. Bahkan, saking totalnya, kulit mereka gosong bukan karena tanning di Bali, tapi karena panasnya Mina dan padatnya jadwal ibadah.
Kita perlu ingat, daftar tunggu haji sekarang lebih panjang dari utang warung yang belum lunas sejak lebaran dua tahun lalu, jangan sia-siakan kesempatan ini, jangan sampai begitu sampai rumah, perilaku balik ke mode default nyinyir, marah-marah di jalan, dan nyalip antrean sayur lodeh di warung padang.
Marilah kita pulang haji tidak hanya sebagai alumni Tanah Suci, tapi juga sebagai agen perubahan RT. Bukan hanya jadi bapak-bapak yang pamer peci haji di pengajian, tapi juga yang bantu angkat galon kalau tetangga butuh. Bukan cuma tukang nasihati, tapi juga yang bisa senyum duluan meskipun sandal masjidnya ilang sebelah.
Sejatinya, kalau haji itu adalah “tamu Allah”, maka setelah pulang, tugas kita adalah jadi tetangga yang lebih manusiawi. Yang kalau ngomong enak didengar, kalau bantu nggak banyak mikir, dan kalau ketawa ikhlas, bukan karena ngetawain orang jatuh dari sepeda.
Akhir kata, semoga seragam biru tetap jadi warna pertolongan, bukan cuma di Mekkah tapi juga di negeri kita sendiri, semoga kemabruran itu awet lebih awet dari stiker koper haji yang masih nempel sampe tahun depan. Oleh sebab itu mari doakan, semoga semua jemaah kita tahun ini pulang tidak hanya dengan kening menghitam, tapi juga hati yang bercahaya, dan petugas-petugas haji kita… semoga dapat pahala yang berat timbangan, lebih berat dari koper yang kelebihan muatan. Alhamdulillah, lancar. Tapi jangan lupa lancar bukan finish, itu baru star dalam kehidupan.[***]