Sumselterkini.co.id, – Sudah seminggu aku tinggal di Karmelia, dalam satu minggu itu pula, aku belum pernah lihat ada warga yang ngedumel, ngeluh, apalagi misuh-misuh, iri, di jalan raya, semua orang senyum kayak baru dapet warisan dari paman kaya yang tak dikenal. Bahkan tukang parkirnya bukan minta duit, tapi malah mendoakan aku cepat naik jabatan. “Semoga ente betah rip!, semoga cepat naik jabatan,”kata tukang parkir itu.
Di halte, orang-orang saling nawarin tempat duduk kayak sales asuransi rebutan nasabah. Tadi pagi, aku sempat lihat dua ibu-ibu berantem di pasar. Tapi jangan salah!. Bukan karena rebutan parkiran motor atau cabe rawit diskon. Mereka adu panci karena sama-sama ngotot mau bayarin belanjaan satu sama lain.“Biar saya aja, Bu!”. “Jangan, Bu, saya duluan bahagia hari ini!”
Lho? Aku jadi mikir keras, ini planet atau syuting sinetron Ramadhan 24 jam?
Di kampungku, ibu-ibu kalau adu panci biasanya karena anaknya direbutin masuk sekolah unggulan atau rebutan sisa gorengan di arisan RT. Tapi di sini? rebutan kebaikan kayak lomba dermawan nasional. Mulailah aku curiga, jangan-jangan mereka semua disuntik vaksin bahagia? atau bisa jadi… AC kota ini disetting nyemprot gas tawa versi soft aromatik?.
Kecurigaan makin tebal kayak kerak wajan, ketika aku mampir ke minimarket buat beli sabun. Di kasir, mbaknya nawarin dua varian sabun aroma kelapa muda dari Kalimantan Timur dan aroma pelukan nenek saat lebaran.
Sabun rasa pelukan nenek?. aku gak tahu ini sabun atau mesin waktu, tapi demi riset budaya dan pencarian jati diri, aku beli dua-duanya.
Baru mau bayar, seorang kakek di belakangku nyeletuk, “Nak Sarip, kalau mau sabun yang bisa bikin air mata masa kecil keluar sambil nyanyi lagu TK, cobain yang ini…”
Beliau nyodorin sabun batangan warna ungu pastel dengan label. “Aroma kenangan naik sepeda tanpa rem”.
Tanpa babibu, aku borong juga, ini bukan belanja, ini nostalgia dikemas ekonomis.
Hari Minggu, aku iseng ke taman kota, duduk di bawah pohon holografik..ya, pohon dari cahaya buatan yang daunnya bisa ganti warna tergantung mood kita. Aku makan es krim rasa tape ketan sambil ngobrol sama semut soal cinta yang kandas tahun 2015.
Anehnya, es krimnya gak mencair. Udah 15 menit lebih, tetap kaku, ini es krim atau kontrak kerja pegawai tetap?
Tiba-tiba, datang bocah kecil, rambutnya kriwil, kriwilnya itu lho… kayak mie ayam yang belum disiram kuah. Dia nanya polos. “Om, kenapa orang bumi suka bingung liat kami bahagia?”
Lho? Bocah ini ngomongnya udah kayak pembicara TEDx. “Nak, di bumi, bahagia itu langka, kadang dicicil, kadang ditunda, bahkan sering dikredit lima tahun dengan bunga dua digit dan bonus sedih”.
Si bocah nyengir. “Di Karmelia, bahagia itu hak dasar warga. Kalau ada yang sedih lebih dari tiga hari, langsung dijemput ambulans tertawa, dikasih terapi pelukan, disuruh nyanyi lagu Rhoma Irama versi jazz sambil ditapok pake bantal empuk”. Aku mulai merinding, bukan takut… tapi iri.
Dulu di kampung, waktu aku putus cinta gara-gara cewekku kabur sama tukang servis pompa air, aku cuma diajak main gaple sama Pak RT sambil dikatain.“Loyo amat, Rip. Cewek ilang doang, bukan kambing kurban!”
Di sini? Sedih dikit aja langsung ditolong kayak HP masuk air. Bahkan ada hotline nasional bernama “Telepon Teman Curhat”. Bebas pulsa, 24 jam. Bisa nyambung ke ustaz, psikolog, atau nenek-nenek bijak yang kerjanya bacain pantun penyemangat dan resep jamu awet muda.
Aku coba iseng nelepon. Terdengar suara lembut “Hallo, Nak Sarip? Ini Nenek Rinta, cucumu dari planet Zeta. Jangan sedih ya, nanti panel surya kamu bisa kedinginan…”
Aku terdiam. Air mataku hampir netes, tapi kucegah. Gengsi. Lagi pula, aku sedang minum teh rasa “Kenangan Mantan”. Rasanya getir, tapi ada aftertaste manis kayak senyum palsu waktu mantan undang kita ke nikahannya.
Satu hal lagi yang bikin aku makin kagum campur syok di Karmelia gak ada utang-piutang. Gak ada pegadaian, gak ada debt collector, gak ada SMS tipu-tipu yang bilang aku menang motor padahal aku cuma punya sepeda hasil ngumpulin stamp warung.
Aku nanya ke satpam kompleks panel surya. “Bang, kok di sini gak ada yang ngutang, ya?”
Dia jawab tenang sambil nyemil roti rasa ketulusan. “Ngapain ngutang, Mas? Di sini hidup kayak disponsori langsung sama Tuhan”
Aku tertegun. Di kampung, aku pernah ngutang pulsa cuma buat beli kuota… biar bisa ngutang pulsa lagi. Itu bukan siklus ekonomi, itu lingkaran setan digital.
Malamnya aku duduk di balkon rumah dinas, ngeteh lagi. Angin malam semilir, bintang-bintang bersinar kayak lampu kelap-kelip di diskotik nostalgia. Kupikir-pikir, mungkin Karmelia ini bukan sekadar negara. Ini semacam laboratorium sosial. Atau, mungkin… ini versi upgrade dunia, kalau manusia niat hidup waras.
Tapi tetap aja… aku belum tenang.
Kenapa mereka bahagia semua? Kok bisa?
Apa iya ini semua tulus?
Jangan-jangan… ada yang disembunyikan di balik senyum mereka?
Dan ketika aku mau masuk kamar…
Terdengar suara pelan dari pojokan dinding. “Ssst… Pak Sarip. Besok datang ke tempat cuci pakaian umum. Ada yang harus Bapak tahu… Tentang Program Bahagia Nasional…”
Aku menoleh cepat.
Kosong.
Tak ada siapa-siapa.
Hanya semilir angin dan aroma sabun rasa pelukan nenek… yang entah kenapa sekarang jadi aroma rasa penasaran.[***] /bersambung bab4