Oleh : M. Nasir
(Sekretaris DKP PWI Sumsel)
KEHADIRAN ahli pers diharapkan bisa membuat persoalan terkait karya jurnalistik yang menimpa wartawan menjadi terang benderang. Kalau bukan delik pers, diselesaikan sesuai UU No 44 tahun 1999 tentang pers. Menjadi kontraproduktif, kalau rekomendasi yang dikeluarkan Dewan Pers berdasarkan keterangan ahli pers justru menjadikan wartawan penulis berita sebagai korban. Apalagi, kalau sampai meninggal dunia. Seperti yang menimpa M Yusuf, wartawan Kemajuanrakyat.co.id dan Berantasnews.com.
Muhammad Yusuf (42), ditahan setelah menulis laporan di media daring tempatnya bekerja Kemajuanrakyat.co.id dan Berantasnews.com. Berita yang ditulis koresponden di Kalimantan Selatan ini, tentang sengketa perebutan lahan antara perusahaan kelapa sawit raksasa, PT. Multi Sarana Agro Mandiri MSAM dengan masyarakat Pulau Laut, Kalimantan Selatan.
Oleh pemilik perusahaan MSAM (PT Multi Sarana Agro Mandiri) berita itu dinilai bermuatan provokasi, tidak berimbang, dan mencemarkan nama baik. Berdasarkan laporan pemilik perusahaan perkebunan sawit, Syamsudin Andi Arsyad (Haji Isam) di Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru, oleh Kepolisian dari Polres Kota Baru, M Yusuf dituntut dengan Pasal 45a UU RI No.19/Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No.11/Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik ITE. Dengan ancaman pidana penjara enam tahun dan denda maksimal satu miliar rupiah.
Pihak keluarga beberapa kali mengajukan penangguhan saat diproses di kepolisian. Namun tak dikabulkan dengan bberapa alasan. Pertama, khawatir Yusuf melarikan diri.Lalu, menghilangkan barang bukti. Dan, dikhawatirkan M Yusuf mengulangi perbuatannya. Begitu pun saat berkasnya di Kejaksaan. Sampai akhirnya, pada Juni lalu, M Yusuf diketahui menainggal di dalam tahanan.
Muhammad Yusuf meninggal 10 Juni lalu setelah ditahan selama lima minggu di rutan Polres Kotabaru dan kemudian di Lapas Kelas II-B Kotabaru, di Kalimantan Selatan, sambil menunggu sidang pengadilan atas tuduhan melanggar UU tentang ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.
Profil dan laporan hasil liputan Muhammad Yusuf saat ini masih menjadi perdebatan karena tidak sepenuhnya memenuhi kaidah kode etik jurnalistik. Hanya saja, soal kematiannya tetap tidak bisa dianggap remeh dan harus diungkap tuntas.
Atas kasus ini, pihak Persatuan Wartawan Indonesia PWI Pusat telah mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kemungkinan terjadinya kekerasan. Begitupun masyarakat pers lainnya yang berasal dari berbagai organisasi dan solidaritas wartawan.
PWI menilai, kematian Muhammad Yusuf mencoreng citra Indonesia di hadapan masyarakat dan dunia internasional. Dari kasus ini dapat menimbulkan persepsi bahwa perlindungan terhadap profesi wartawan di Indonesia lemah dan rentan.
Sejatinya, kematian M Yusuf bisa dihindari. Sedari awal, kasus yang terkait dengan sengketa pemberitaan tidak selayaknya masuk ranah pidana. Harusnya diselesaikan dengan UU Pers dan itu yang menjadi objek pemeriksaan adalah pimred ataupu penanggungjawab Kemajuanrakyat.co.id dan Berantasnews.com. Kalaupun termasuk delik pers, seyogyanya diselesaikan secara perdata.
Insiden tragis ini berawal dari pengaduan PT Multi Sarana Agro Mandiri, perusahaan kelapa sawit milik pengusaha Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, awal tahun lalu. Mereka menuding sejumlah berita yang ditulis Yusuf di dua portal beritanya telah mencemarkan nama mereka.
Sesuai dengan nota kesepahaman antara Kepolisian Republik Indonesia dan Dewan Pers, penyidik dalam kasus ini meminta pendapat Dewan Pers atas berita-berita Yusuf. Dalam pertemuan pertama pada akhir Maret lalu, Dewan Pers menilai bahwa dua berita itu mengandung opini dan tidak berimbang. Mereka minta perkara jurnalistik ini diselesaikan dengan menempuh hak jawab dan pemuatan permintaan maaf saja.
Artinya, meskipun tidak berimbang dan mengandung opini, tetap termasuk kategori karya jurnalistik. Karenanya penyelesaiannya pun harus mengacu ke UU No 40 tahun 1999 tentang pers.
Menerima rekomendasi Dewan Pers, tak sampai sebulan kemudian, pada April, polisi datang lagi ke Dewan Pers dengan menunjukkan 21 berita Yusuf lainnya yang dimuat di kemajuanrakyat.co.id dan berantasnews.com.
Atas laporan tersebut, Dewan Pers melalui ahli pers, Sabam Leo Batubara menyatakan berita-berita Yusuf yang dibawa polisi tersebut, tidak beriktikad baik karena dimuat berulang-ulang tanpa konfirmasi. Dewan Pers mempersilakan polisi memproses kasus ini di luar Undang-Undang Pers.
Rekomendasi Dewan Pers inilah yang kemudian digunakan polisi untuk menjerat Yusuf dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Yusuf dinilai melakukan pencemaran nama dan menyiarkan ujaran kebencian di dunia maya.
Di sini sepertinya Dewan Pers perlu dikritik. Sebagai lembaga yang diberi mandat melindungi kebebasan pers, mereka seharusnya mengarahkan kepada pelapor dan pihak kepolisian agar sengketa ini diselesaikan melalui jalur perdata saja.
Tapi, tentu saja, porsi terbesar kesalahan ada pada aparat penegak hukum. Begitu dinyatakan sebagai tersangka, Yusuf ditahan polisi sambil menunggu persidangan. Padahal pria 42 tahun ini punya riwayat penyakit yang cukup mencemaskan. Dia sempat mengeluh sesak napas dan menderita nyeri di dada disertai muntah-muntah. Pihak keluarga pun beberapa kali mengajukan penangguhan tahanan.
Ketika sidang berjalan, permintaan istri Yusuf agar penahanan suaminya ditangguhkan juga ditolak jaksa. Sejak itu, kesehatan Yusuf terus memburuk. Pertengahan Juni lalu, Yusuf kembali mengeluh sesak napas. Empat petugas Lembaga Pemasyarakatan Kotabaru, tempat dia ditahan, sempat melarikannya ke rumah sakit, sayangnya terlambat. M Yusuf keburu menghwmbuskan napas terakhir.
Tak ada pilihan lain: polisi harus membentuk tim khusus untuk menyelidiki penyebab kematian Yusuf. Jika polisi bertindak defensif, bahkan cenderung pasif, misalnya dengan tidak segera melakukan autopsi terhadap jenazah Yusuf, publik bakal menduga ada udang di balik batu. Apalagi kini beredar dokumen mirip salinan visum yang menunjukkan banyak memar pada badan Yusuf. Ada juga video yang memperlihatkan pundak lebam seorang pria yang diklaim sebagai Yusuf.
Riwayat kedekatan sejumlah polisi dengan perusahaan Haji Isam pun sudah luas diketahui. Keterbukaan dan kecepatan polisi menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi akan menentukan bagaimana reaksi publik.
Kebebasan pers merupakan syarat mutlak berkembangnya demokrasi dan penghormatan terhadap nilai hak asasi manusia di Indonesia. Jurnalis yang melaporkan berbagai skandal dan pelanggaran punya peran penting jadi anjing penjaga untuk kepentingan publik. Kematian Yusuf mencoreng kebebasan pers di negeri ini.
Kini, M Yusuf, telah meninggal dunia. Kasusnyatetap harus diungkap dan dituntaskan. Kalaupun terbukti ada kekerasan terhadapYusuf, pelaku dan institusi harus bertanggung jawab.
Yang disayangkan, mengapa dalam penanganan kasus sengketa pers, pihak Dewan Pers tidak memberikan rekomendasi agar yang dimintai pertanggungjawaban adalah penanggungjawab atau pimred media. Justru saat wartawan yang menulis berita dimintai keterangan dan diproses hukum, tidak diingatkan. Padahal mengacu ke UU No 40 tahun 1999, penanganan kasus terkait pemberitaan yang bertanggung jawab adalah pemimimpin redaksi atau penanggungjawab media. Selain itu, harusnya mengarahkan pengusutan dan tindakan hukum melalui ranah perdata,
Begitupun penegak hukum, perlu dipertanyakan bagaimana dalam pengusutan kasus tersebut. Padahal berdasarkan rekomendasi Dewan Pers, sebagian berita yang dijadikan barang bukti, termasuk karya jurnalistik. Walaupun ada beberapa berita yang termasuk delik pers. “Tetapi paling tidak, penyelesaian yang termasuk dalam kategori karya jurnalistik harus menggunakan hak jawab. Yang delik pers, mungkin bisa dijerat dengan UU ITE. Tetapi, perlu diperdebatkan juga, karena informasi tersebut disebarkan melalui media massa. Tentunya, penyebaran itu karena yang bersangkutan melaksanakan amanat undang-undang sesuai dengan fungsi media massa.
Kalaupun terjadi pelanggaran kode etik, maka yang bisa memprosesnya adalah Dewan Pers. Paling tidak, soal pelanggaran kode etik ini didahulukan. Setelah itu, bisa saja diproses secara perdata, pun tidak mesti secara pidana. Pelapor bisa saja menggugat medianya tempat bekerja atau bersama M Yusuf, secara perdata. Kalau diproses perdata, tentu M Yusuf tidak akan menemui kematian. Apalagi, karena berkaitan dengan pemberitaan, maka yang digugat adalah medianya, Kemajuanrakyat.co.id dan Berantasnews.com.
Ke depan, kasus yang menimpa M Yusuf ini harus menjadi pembelajaran bagi kita semua. Agar para pencari berita tidak perlu khawatir kehilangan nyawa sebagai imbalan atas kerja jurnalistiknya.
Dan yang jelas, penanggung jawab medialah yang harus menjadi pihak pertama yang berhadapan dengan hukum kalau termasuk delik pers, dan berhadpan dengan Dewan Pers kalau termasuk pelanggaran kode etik dan penyimpangan UU No 40 tahun 1999 tentang pers. Untuk menghindari tersandung masalah terkait karya jurnalistiknya, wartawan dan pihak media harus berupaya menjaga profesionalitas dan menghormatik etika pers. Niscaya, profesi wartawan akan semakin dihargai dan masyarakat pun mendapatkan sajian informasi yang benar, berimbang, dan menarik. Sementara, penegak hukum pun semakin piawai dalam menghukum mereka yang bersalah. Hukum tidak akan menyasar mereka yang tidak bersalah. Semoga!
PALEMBANG-Palangkaraya Juli 2018